Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang serdadu infanteri AS terduduk lunglai di bunkernya yang lembap. Ia masih mengenakan rompi antipeluru. Tangan kanannya terangkat mengusap dahi. Di tangan kirinya tergenggam erat helm tempur gurun warna khaki. Tatapan matanya hampa, terasa benar keletihannya. Pertempuran antara peletonnya dan milisi Taliban yang kerap menyatroni bunker perlindungan mereka di lembah Korengal, Afganistan Timur, baru saja selesai, untuk sementara.
Imaji dramatis yang dipotret Tim Hetherington pada pertengahan September 2007 itu adalah satu imaji hasil reportase panjang pewarta foto Inggris yang tinggal selama lima setengah bulan di bunker bernama Restrepo bersama seorang rekannya, Sebastian Junger, seorang reporter. Reportase yang penuh risiko tersebut kemudian ditampilkan dalam majalah fashion, budaya, dan politik Vanity Fair edisi Januari 2008 dengan judul Into the Valley of Death.
Dalam suatu wawancara untuk video yang dikutip Time.com, Hetherington mencatat, setidaknya terjadi 450 kontak senjata yang meletus antara pasukan Batalion 2 Linud AS yang bermarkas di bunker Restrepo itu dengan gerilyawan Taliban dan Al-Qaidah selama dia bergabung di bunker maut yang diberi nama yang diambil dari nama seorang prajurit medis (Juan Restrepo) yang tewas akibat serangan mortir Taliban pada Juni 2007.
Junger, rekan Hetherington, menyebutkan bahwa lembah Korengal, tempat bunker Restrepo berada, sesungguhnya adalah titik api yang paling mengerikan bagi serdadu-serdadu AS yang bertugas di Afganistan. Di neraka itu, pada 2005, tiga anggota SEAL AS tewas dalam suatu serangan gerilya Taliban, sementara satu helikopter Chinook berisi regu penyelamat yang dikirim untuk menolong mereka malah tertembak jatuh, menewaskan semua awak dan 16 anggota komando elite Angkatan Laut AS.
Dewan juri kontes World Press Photo 2008 yang diketuai Gary Knight, pewarta foto Inggris dari agensi foto VII, menetapkan image dari bunker Restrepo tersebut sebagai karya foto terbaik (Photo of the Year) dalam penyelenggaraan ke-51 penghargaan foto jurnalistik internasional paling prestisius itu di Amsterdam, markas besar mereka, akhir pekan lalu. Karya Hetherington tersebut memperoleh penghargaan kedua dalam kategori General News (Stories). Foto itu menjadi simbol antiperang, sekaligus sebagai abstraksi atas peristiwa yang terjadi di planet bumi sepanjang 2007.
Komposisi dewan juri tahun ini terdiri dari 13 editor dan pewarta foto (6 dari agensi dan kantor berita, 2 dari harian, 2 majalah, 2 fotografer lepas, dan satu juri berlatar kurator independen). Mereka memilih 59 pewarta foto dari 23 negara sebagai pemenang kontes yang melombakan 10 kategori dari 80.536 karya foto jurnalistik dari 5.019 pewarta foto di 125 negara. Terjadi peningkatan kuantitas entri sebesar 12,5 persen ketimbang tahun lalu karena penyelenggaraan lomba sekarang mengizinkan pengiriman entri foto secara online.
Dalam kategori General News yang diikuti Hetherington itu, pemenang pertamanya adalah Balazs Gardi, seorang pewarta foto Hungaria (kelahiran Budapest 1975). Ia memotret kisah dan subyek fotografi yang praktis hampir serupa baik berdasarkan periode waktu maupun lokasi dengan liputan Hetherington. Bedanya, medium yang digunakan Gardi adalah film hitam-putih.
Meskipun karya Hetherington tersebut hanya memperoleh penghargaan kedua dalam kategori General News (Stories), dewan juri tampaknya menemukan pilihan yang representatif dengan tema besar yang mereka usung, mungkin sebagai jawaban atas kemuakan global warga dunia terhadap kebijakan perang AS dan kekerasan politik yang cenderung menggejala secara universal dalam dekade pertama milenium kedua ini.
Kisah yang dituturkan Hetherington dalam Into the Valley of Death sesungguhnya bukanlah reportase visual yang menyiratkan pesan antiperang seperti yang diinginkan dewan juri. Namun, secara jitu mereka mencuplikkan foto bunker Restrepo tersebut sebagai citra pelambang perlawanan terhadap perang. ”Foto Hetherington ini mengesankan keletihan yang sangat dari seorang anak manusia, sekaligus keletihan suatu negara,” komentar Gary Knight mewakili dewan juri.
Tragedi kekerasan yang cuma menyisakan puing kesengsaraan bagi manusia dan peradabannya seperti yang ditafsirkan dari karya pewarta foto kelahiran 1970 di Liverpool itu pada hakikatnya hanya meneruskan tradisi pemilihan foto terbaik tahunan yang kerap dikutip dari kubangan tempur yang penuh darah, air mata, dan aroma mesiu. Berselang-seling dengan cuplikan visual dari tragedi kemanusiaan, baik yang datang dari alam maupun yang diciptakan oleh manusia, setidaknya dalam 10 tahun belakangan.
Dewan juri kontes World Press Photo memilih karya pewarta foto AS, Dayna Smith, yang mengabadikan peristiwa genosida di Kosovo sebagai foto terbaik 1998. Selanjutnya foto Claus Bjorn Larsen, Denmark, yang meliput pengungsian besar-besaran di Albania yang khaos pada 1999. Kemudian pewarta foto Denmark, Erik Refner, di kamp pengungsi Jalozai, Pakistan, 2001. Jean Marc-Bouju, Prancis, di pusat tawanan perang Irak di Najaf, 2003. Serta pewarta foto AS, Spencer Platt, yang meliput agresi Israel di Libanon Selatan pada 2006.
Pewarta foto AS keturunan Armenia, Eric Grigorian, merekam nestapa orang-orang Iran yang mengalami gempa dahsyat pada 2002, dan tentu tragedi tsunami, penggalan katastrofik di bumi, yang citranya direpresentasikan oleh pewarta foto India, Arko Datta, di Tamil Nadu, pada 2004. Finbarr O’Reilly, fotografer Kanada, menyelinginya dengan tragedi kelaparan di Tahova, Nigeria, pada 2005.
Wajah dunia sepanjang 2007 adalah wajah nestapa yang suram dan letih, seperti kesan yang tertangkap dari foto Hetherington tadi. Tengoklah foto-foto yang menang dalam kategori Spot News, baik foto tunggal ataupun foto seri, isinya melulu darah. Termasuk pembunuhan Benazir Bhutto pada 27 Desember 2007, yang diabadikan pewarta foto AS, John Moore dari Getty Images—menyabet dua kategori sekaligus, foto tunggal dan foto seri, sekaligus menandai ujung perjalanan retrospeksi maut dinasti Bhutto.
Meski tak satu pun peristiwa bencana alam yang meraih penghargaan dalam kontes tahun ini, tema lingkungan pun ikut bermuram durja. Ada evakuasi mayat gorila gunung di taman nasional Nivunga, Kongo Timur, yang mengenaskan (pewarta foto Afrika Selatan Brent Stirton), dan rangkaian perburuan satwa-satwa langka di laut Arktika yang ganas (diborong fotografer Paul Nicklen dari Kanada untuk majalah National Geographic).
Sementara itu, kategori Contemporary Issues yang baru dilombakan beberapa tahun belakangan juga menampilkan dengan miris dua foto seri yang mengungkapkan kehidupan eksterior (karya fotografer Swiss, Jean Revillard) dan interior (fotografer Prancis, Olivier Cullmann) kaum imigran di Prancis setelah meletusnya rangkaian kerusuhan rasial yang melanda ibu kota mode nan semerbak itu.
Kontes tahunan World Press Photo, agaknya, adalah medium peringatan global para pewarta foto dunia.
Oscar Motuloh (Galeri Foto Jurnalistik Antara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo