Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kalangan pelaku pasar modal, kelompok usaha Bakrie pernah dikenal sebagai perusahaan yang gemar bermain teka-teki. Tapi julukan itu tak berlaku lagi sekarang. Berbeda dengan dulu, setiap aksi korporasi yang dilakukan Grup Bakrie kini mudah diterka: manuvernya pasti tak jauh dari urusan melunasi utang.
Begitu pula dengan rencana divestasi saham PT Intermedia Capital Tbk, salah satu anak usaha Bakrie. Dipaparkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) di Hotel Mandarin Oriental, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat dua pekan lalu, Bakrie berencana melego 15 persen saham Intermedia, perusahaan yang mengelola stasiun televisi ANTV.
Presiden Direktur VIVA Anindya Bakrie, dalam pemaparan publik seusai RUPS, bahkan terang-terangan menyebutkan penjualan saham kali ini khusus digunakan untuk membayar utang VIVA ke sembilan kreditor asing yang dipimpin lembaga keuangan internasional Credit Suisse. Dengan aksi korporasi ini, kepemilikan saham VIVA di Intermedia bakal tersisa 75 persen.
Seorang ahli keuangan yang mengetahui rencana itu mengatakan divestasi saham terpaksa dilakukan karena semua kewajiban VIVA ke Credit Suisse akan jatuh tempo pada akhir 2017. "Mereka tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya," ujarnya. Dua tahun lalu, Bakrie juga membayar utang ke Credit Suisse dari hasil divestasi 2,5 persen saham Intermedia senilai Rp 130,2 miliar.
VIVA terbelit utang sejak mengambil alih Lativi tujuh tahun lalu. Saat itu, Lativi, yang kemudian berganti nama menjadi TV One, gagal bayar Rp 1 triliun di Bank Mandiri. Bakrie membayar kredit macet di Mandiri setelah memperoleh pinjaman dari Deutsche Bank AG cabang Hong Kong.
Tiga tahun lalu, VIVA melakukan refinancing dari konsorsium Credit Suisse senilai US$ 230 juta. Pinjaman dari sindikasi Credit Suisse ini bertenor empat tahun dengan bunga 20-an persen per tahun. "VIVA saat itu menggadaikan sahamnya," kata ahli keuangan itu.
Perjanjian transaksi itu mengatur kesepakatan mengenai premi tebusan (redemption premium). Divestasi saham Intermedia menjadi tebusan atas bunga kredit yang ditunda pembayarannya. Nilai tebusan itu, menurut sumber tadi, mencapai Rp 700-an miliar.
TAK cuma dengan divestasi saham, VIVA juga berencana melunasi sisa utang dengan mencari pinjaman berdenominasi rupiah ke konsorsium bank lokal. Seorang pejabat di Kementerian Badan Usaha Milik Negara menyebutkan VIVA sudah mengajukan proposal kredit Rp 2,3 triliun ke PT Bank Negara Indonesia Tbk sejak akhir tahun lalu.
Pejabat BNI membenarkan soal proposal tersebut. Menurut dia, bank pelat merah ini bahkan telah bersedia mengambil alih beban utang VIVA dari Credit Suisse. "Sudah disetujui dewan direksi. Tinggal urusan administrasi," kata pejabat BNI itu.
Dimintai konfirmasi mengenai proposal tersebut, Anindya membenarkan rencana Bakrie melakukan refinancing. "Tapi saya tidak mau mendahului pengumuman bank," ujarnya.
BNI kemudian membentuk sindikasi dengan menggandeng BRI dan bank daerah, antara lain BPD Sumatera Selatan dan BPD Bangka Belitung. Kreditor lama, Credit Suisse, juga masih bergabung dalam sindikasi ini. Credit Suisse mengambil porsi pendanaan sebesar Rp 600-an miliar dari total proposal kredit Rp 2,3 triliun. Sekretaris Perusahaan BRI Hari Siaga Amijarso mengakui bank pelat merah ini ikut sindikasi dengan menyediakan dana Rp 500 miliar. Adapun pendanaan terbesar datang dari BNI, hampir Rp 1 triliun.
Direktur Utama BNI Achmad Baiquni membenarkan adanya proposal yang diajukan kelompok usaha Bakrie tersebut. Tapi, "Ini sifatnya refinancing, bukan pembiayaan baru," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Menurut Baiquni, BNI menyetujui proposal Bakrie karena rekam jejak VIVA tidak mengecewakan. Ia menilai prospek bisnis VIVA Group cukup baik. "VIVA anak usaha paling sehat di Grup Bakrie," ujarnya.
Baiquni menambahkan, persetujuan proposal itu keluar setelah tim internal masing-masing bank melakukan studi risiko dan kelayakan. Hal yang sama dilakukan konsultan ternama Ernst and Young. Untuk menilai valuasi aset VIVA, bank yang terlibat dalam sindikasi bekerja sama dengan akuntan publik Deloitte and Touche.
Baiquni menilai keuangan VIVA Group—yang terdiri atas ANTV, TV One, dan Viva.co.id—akan lebih sehat di masa depan karena utangnya akan dikonversi dalam bentuk rupiah. Hal yang sama disampaikan Hari Siaga. "Analisis kami Insya Allah bagus. Arus kas Viva akan lebih lancar," katanya.
Meski mendapat lampu hijau, proposal itu sempat mendapat penolakan. Seorang pejabat lain di lingkup internal BNI menuturkan, tim analis kredit BNI sebenarnya merekomendasikan menolak permintaan kredit kelompok usaha Bakrie. Sambil mengutip kajian internal BNI, ia mengatakan pembiayaan kepada Bakrie tergolong berisiko. Alasannya, reputasi Bakrie yang terbiasa merestrukturisasi utang dinilai kurang baik. "Mereka ini terus saja gali lubang tutup lubang," ujarnya.
Alasan kedua, prospek bisnis televisi ke depan—yang akan bergeser ke televisi digital—akan berdampak kurang baik bagi pendapatan VIVA Group. Di era TV digital, jumlah pemain akan meningkat sehingga kue iklan akan diperebutkan banyak pihak. Tim analis BNI tak yakin pendapatan VIVA akan selalu sebesar sekarang. Nilai aset tetap yang dijaminkan, seperti kamera dan parabola, hanya Rp 400-an miliar. "Alat-alat itu di era digital tidak dipakai semua nanti," kata pejabat BNI itu.
Tim analis ini mengajukan syarat. Proposal bisa disetujui bila dua dari tiga petinggi VIVA—termasuk Anindya—memberikan garansi personal. Syarat ini dimasukkan ke hasil kajian tim analis yang diserahkan ke dewan direksi BNI. Namun, menurut pejabat tadi, rekomendasi dari hasil kajian tim analis tak digubris direksi BNI.
Khawatir bakal bermasalah, tim analis mengadu ke dewan komisaris. Namun komisaris tak bisa mencegah karena keputusan tetap ada di dewan direksi. "Saya tahu, tapi tidak boleh berkomentar. Itu urusan internal manajemen," ujar Komisaris Independen BNI Revrisond Baswir.
Baiquni mengakui ada perbedaan pendapat di komite kredit. Namun keputusan akhir ada di tangan semua anggota dewan direksi. "Kami punya hitungan (tim analis), tapi juga mendengar second opinion dari konsultan Ernst and Young," katanya. Baiquni memastikan tidak mendapat tekanan untuk meloloskan proposal Bakrie ini.
Sebelumnya, kelompok usaha Bakrie mengajukan pinjaman ke BNI sebesar Rp 1,35 triliun. Dana itu digunakan untuk membangun ruas jalan tol Kanci-Pejagan sepanjang 35 kilometer. Untuk melunasi tunggakan, Bakrie melego aset lima ruas jalan tol ke Grup MNC milik pengusaha Hary Tanoesoedibjo senilai Rp 2 triliun. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk menutup utang ke BNI. "Piutang itu sudah selesai," ujar Baiquni.
Sebagai putra mahkota, Anindya berjuang keras agar Bakrie terlepas dari jerat utang. Sebelum sindikasi BNI memberi lampu hijau, Bakrie sempat menjajaki peluang mendapatkan kredit dari Bank Mandiri. Masalahnya, kata pejabat Bank Mandiri, Grup Bakrie masih punya tunggakan di bank nasional terbesar itu.
Kredit macet itu merupakan sisa limpahan utang Domba Mas Group yang diambil alih anak usaha Grup Bakrie, PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk (UNSP), sebesar Rp 1,3 triliun. "Tunggakan itu jadi senjata berkilah setiap kali Bakrie hendak mengajukan utang ke Mandiri," ujar seorang pengusaha yang dekat dengan manajemen Bank Mandiri.
Ditanyai mengenai hal itu, Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo menolak berkomentar. Adapun Anindya membantah kabar ditolak Mandiri. "Saya tidak dengar sampai segitunya," katanya. Dia—bersama pengusaha Erick Thohir—justru mengaku punya rekam jejak baik di Bank Mandiri saat menyelesaikan utang macet Lativi.
BAKRIE & Brothers, induk semua usaha Bakrie, juga sudah mulai membersihkan tunggakan. Pada Juli lalu, Rapat Umum Pemegang Saham Bakrie & Brothers menyetujui penerbitan obligasi untuk membayar utang kepada lima kreditor. Bakrie juga menawarkan restrukturisasi utang dengan mengkonversi utang menjadi saham, antara lain kepada China Investment Corporation, Casterfold, dan Credit Suisse. "Utang yang tidak sustainable kami negosiasikan. Syukur-syukur kreditor mau konversi saham," kata Anindya. "Ketika sahamnya naik, kreditor bisa menjual kembali."
Kewajiban Grup Bakrie kian menumpuk. Berdasarkan laporan keuangan 31 Desember 2015, total kewajiban jangka pendek dan jangka panjang Bakrie & Brothers, misalnya, menembus Rp 13,2 triliun.
Utang terbesar berasal dari anak usaha di sektor pertambangan serta minyak dan gas. Mengacu pada laporan keuangan tiap perusahaan, total utang PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Darma Henwa Tbk (DEWA), dan Energi Mega Persada Tbk (ENRG) mencapai Rp 111,8 triliun. Utang Bakrie itu beranak-pinak sejak kelompok usaha yang dirintis Achmad Bakrie pada 1942 ini terempas utang akibat krisis moneter 1998.
Lalu Mara Satriawangsa, juru bicara Aburizal Bakrie, mengatakan setiap perusahaan pasti memiliki utang. Besarnya utang itu justru menunjukkan tingkat kepercayaan kreditor yang tinggi kepada perusahaan. "Semakin besar berarti orang semakin percaya sama kita," ujarnya Kamis pekan lalu.
Kepada Riset Danareksa Securities Lucky Bayu Purnomo mengatakan timbunan utang itu membuat saham-saham perusahaan yang terafiliasi dengan Bakrie "hidup di ruang hampa". Harga sembilan saham dari sebelas emiten Grup Bakrie hanya Rp 50 per lembar. Ia menyarankan Bakrie tidak melulu merestrukturisasi utang, tapi berani merestrukturisasi bidang usaha. "Yang bisa dilepas, ya, dilepas saja ke mitra strategis," ucap Lucky.
Dalam beberapa tahun terakhir, Bakrie melakukan beragam akrobat agar tak sampai gagal bayar. Proposal kredit ke sindikasi BNI adalah salah satu caranya merestrukturisasi utang. "Setelah restrukturisasi, cost capital turun karena utang berkurang," kata Anindya. Dengan pendapatan sebelum pajak dan depresiasi amortisasi (EBITDA) US$ 75-80 juta per tahun, Anindya yakin VIVA bisa melunasi seluruh utang tiga-lima tahun ke depan.
Akrobat lain dilakukan dengan melego sejumlah aset. Grup MNC dan Sinar Mas paling banyak "menampung" aset Bakrie, antara lain perkebunan, jalan tol, dan properti di Rasuna Epicentrum.
Pada akhir bulan lalu, Bakrie telah menjual kepemilikan sahamnya di Newmont Nusa Tenggara kepada Grup Medco. Di tambang Batu Hijau, Sumbawa, itu Bakrie mengantongi 18 persen saham Newmont, melalui PT Multi Daerah Bersaing. Saham yang dikuasai Bakrie itu dibeli pada kisaran US$ 500 juta. "Kami lega karena saham berpindah ke pengusaha nasional," ujar Anindya.
Hasil penjualan saham itu digunakan untuk melunasi utang karena Bakrie pernah menjaminkan sahamnya kepada Credit Suisse untuk memperoleh pinjaman US$ 200 juta. Beberapa kali memperoleh perpanjangan tenggat pembayaran, utang ini menggelembung hingga dua kali lipat.
Agus Supriyanto, Ali Ahmad Noor Hidayat, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo