Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKIT utang yang menindih kelompok bisnisnya tak membuat Aburizal Bakrie terpental dari daftar orang terkaya di Indonesia tahun ini. Majalah Globe Asia menempatkan politikus Partai Golkar itu di posisi kedelapan dengan total kepemilikan aset US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 32,74 triliun.
Laporan yang terbit pada Juni lalu itu menyebutkan kekayaan Aburizal mengungguli Sukanto Tanoto, pemilik Grup Royal Golden Eagle, yang bertengger di urutan kesembilan dengan kekayaan US$ 2,45 miliar. Aburizal juga mengalahkan Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo, yang berada di urutan kesebelas.
Benarkah Grup Bakrie masih begitu berjaya? Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman menduga ukuran orang terkaya versi Globe Asia tidak memasukkan komponen utang, termasuk dari kreditor ataupun utang pajak. Jika komponen utang dihitung dan nilai aset dipangkas, dia yakin nama Aburizal akan hilang—bahkan dari daftar 100 orang terkaya.
Dalam teori bisnis, menurut Norico, bisnis konglomerasi keluarga biasanya melewati tiga tahap. Generasi pertama mendirikan usaha, generasi kedua membangun dan membesarkan, sementara generasi ketiga kerap menghancurkan. Namun, jika generasi ketiga mampu mengelola bisnis dengan baik, konglomerasi keluarga akan bertahan, seperti Ford, General Electric, dan Boeing, yang juga berawal dari bisnis keluarga.
Norico meramalkan kejayaan imperium Bakrie akan berumur pendek jika Aburizal sebagai generasi kedua tidak mengurangi eksposur utang dan mengembangkan bisnis baru yang prospektif. Anindya Bakrie sebagai generasi ketiga juga harus lebih transparan dan profesional mengelola perusahaan.
Beratnya kondisi Grup Bakrie dibenarkan Kepala Riset Danareksa Sekuritas Lucky Bayu Purnomo. Restrukturisasi utanglah, kata dia, yang membuat Aburizal masih bercokol di jajaran orang terkaya. Kemampuan mengelola utang membuat Grup Bakrie mampu mempertahankan aset-asetnya dari ancaman likuidasi. "Ibarat pemilik rumah yang mencari utang ke tetangga sebelah supaya tidak disita debt collector," ujarnya.
Bertahan dengan utang sebetulnya bukan hal yang nyaman bagi Grup Bakrie. Sayangnya, menurut Lucky, Grup Bakrie tidak punya pilihan selain memperpanjang masa jatuh tempo utang. Soalnya, pendapatan berbagai anak usaha Grup Bakrie tidak cukup untuk menjalankan kegiatan operasional. "Padahal, ketimbang melakukan restrukturisasi utang, bisnis konglomerasi seharusnya melakukan restrukturisasi usaha," tutur Lucky.
Dengan rekam jejak yang panjang dalam hal berutang, Kepala Riset NH Korindo Securities Reza Priyambada menilai Bakrie masih dipercaya oleh para kreditor, terutama Credit Suisse. Tapi, jika pengelola perusahaan masih berkeras mengandalkan restrukturisasi utang, dia memprediksi bisnis Bakrie hanya akan bisa bertahan hingga enam tahun mendatang, sebelum akhirnya perlahan-lahan menyusut.
Reza juga yakin, dengan hanya berbekal jurus divestasi dan penjualan aset, lini usaha Bakrie bakal terus tergerus untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang. Daya tahan Grup Bakrie, menurut Reza, layak dicermati. "Dengan laporan keuangan yang dipersepsikan negatif, sampai sekarang mereka masih bertahan," katanya.
Besarnya utang perusahaan justru dipandang positif oleh juru bicara keluarga Aburizal Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa. Dia berujar, pinjaman yang dikucurkan perbankan kepada Grup Bakrie selama ini menandakan tingginya kepercayaan terhadap perusahaan. "Orang tidak akan kasih utang kalau tidak percaya. Semakin besar utang Anda, semakin besar kepercayaan tersebut."
Ali Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo