Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jebakan Muncikari Kambuhan

Polisi meringkus muncikari prostitusi sesama jenis di jaringan media sosial. Sebanyak 39 korban masih anak-anak.

12 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH bocah laki-laki menyambut hangat kedatangan penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Jumat dua pekan lalu. Seorang dari mereka malah menggoda polisi dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus itu. Padahal hari itu polisi datang ke Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur, untuk memeriksa anak-anak korban jaringan prostitusi tersebut.

Menurut Kepala RPSA Neneng Heriyani, ketika ditangkap polisi pada Selasa dua pekan lalu, anak-anak itu sempat syok. Mental mereka pulih setelah menjalani bimbingan psikologis dan terapi serta mengikuti acara keagamaan. "Mereka mulai berinteraksi dan bercerita dengan teman-temannya," ucap Neneng, Kamis pekan lalu.

Tim Bareskrim menangkap anak-anak lelaki berusia 13-17 tahun itu bersama seorang muncikari bernama Arjo Raharjo bin Warto, 41 tahun. Mereka diciduk di Hotel Cipayung Asri, Jalan Raya Puncak Kilometer 75, Bogor, Jawa Barat. Arjo alias Ricko alias Aris tak berkutik ketika membuka pintu kamar Teratai B3 di hotel itu. Polisi yang menunggu di dalam kamar langsung menyergap dia. Polisi lantas mengirim anak-anak binaan Ricko ke RPSA Bambu Apus untuk direhabilitasi. Sedangkan Ricko dijebloskan ke rumah tahanan polisi.

Polisi membidik jaringan Ricko setelah mendapat laporan dari komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Erlinda Iswanto. Pada Februari lalu, ketika menyisir jejaring media sosial, Erlinda menemukan sejumlah akun yang diduga memfasilitasi kencan sesama jenis, termasuk anak-anak. Salah satunya akun Berondong Bogor di jejaring Facebook. Akun itu memuat "iklan" tawaran kencan serta gambar dan komentar pembangkit nafsu berahi. "Waktu itu saya galau-segalaunya. Anak-anak itu dijebak," ujar Erlinda. Dia kemudian melapor ke tim cybercrime Bareskrim.

Seperti halnya Erlinda, tim Bareskrim tak perlu waktu lama untuk menyimpulkan akun Berondong Bogor sebagai ajang bisnis prostitusi yang melibatkan anak-anak. Polisi lantas menyamar sebagai pelanggan dan memesan tujuh anak kepada Ricko melalui layanan BlackBerry Messenger (BBM). "Dia sering menawari pelanggan melalui BBM," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Agung Setya, Selasa pekan lalu.

Menurut polisi, Ricko membuat akun Berondong Bogor untuk menjaring calon "anak asuh" sekaligus pelanggan. Untuk memudahkan komunikasi, ia mencantumkan dua nomor identitas BBM pada akun tersebut. Di dunia maya, Ricko mengaku sebagai pemimpin Ricko Ceper Management—nama ini tak ada kaitannya dengan presenter Rico Ceper.

Di laman Berondong Bogor, Ricko menampilkan foto vulgar anak-anak asuhnya. Ia juga menandai foto-foto tersebut dengan sejumlah kode. Kepada polisi, Ricko menjelaskan, kode "P" dia pasang pada foto anak lelaki yang bisa berperan sebagai perempuan. Adapun kode "T" untuk peran laki-laki. Sedangkan kode "B" untuk peran keduanya.

Menurut Agung, Ricko jadi muncikari prostitusi sesama jenis setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Kota Bogor, pada Agustus 2015. Dia masuk bui setelah divonis tiga tahun penjara dan denda Rp 120 juta. Menurut hakim kala itu, Ricko terbukti menjadi germo untuk prostitusi perempuan di bawah umur. Keluar dari bui, ia bercerai dengan istrinya. Kepada polisi, Ricko mengaku menyukai pasangan sesama jenis karena tak bisa lepas dari bayangan masa kecilnya. Ketika masih bocah, ia pernah disodomi. "Akhirnya dia sekalian mencari keuntungan," ujar Agung.

Belum genap setahun mengembangkan jaringan prostitusi sesama jenis, menurut polisi, Ricko telah menjaring 148 "anak asuh". Mereka tersebar di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Bandung. Sebanyak 39 di antaranya berusia 13-17 tahun. Adapun 98 orang lainnya berusia 18-27 tahun. Sisanya belum teridentifikasi.

Ricko "menjual" anak-anak dan remaja tersebut kepada pelanggan seharga Rp 1,2 juta untuk setiap kali kencan. Sebagian besar uang itu masuk ke kantong Ricko. Sedangkan anak-anak asuh Ricko hanya menerima jatah Rp 100-200 ribu.

Jaringan Ricko cepat meluas karena dia pun memanfaatkan aplikasi Grindr, jejaring sosial penyuka sesama jenis yang mendunia. Menurut Agung, aplikasi itu memudahkan interaksi karena dilengkapi fitur lokasi dan jarak. Dengan aplikasi itu, Ricko melebarkan sayap bisnisnya hingga ke negeri tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Ricko tak hanya mengembangkan jaringan lewat dunia maya. Di dunia nyata, ia menyelusup ke jaringan penyuluhan bahaya HIV/AIDS bagi kalangan lesbian, gay, biseks, dan transgender (LGBT). Dari jaringan penyuluh, Ricko mengutil kondom gratisan untuk anak asuhnya. Polisi menemukan dua dus kondom di kamar kos Ricko.

Pekan lalu, Tempo mengunjungi tempat kos Ricko di Kampung Kirangsari, Kelurahan Harjasari, Kecamatan Bogor Selatan. Di sana, ia menyewa kamar berukuran 3 x 5 meter seharga Rp 400 ribu per bulan. Menurut tetangga kamar, Ricko kerap membawa anak-anak berseragam sekolah ke tempat itu. Sewaktu polisi menggeledah, seorang remaja berseragam putih-abu-abu ada di kamar Ricko yang pintunya terkunci dari luar. "Ricko sering membawa anak SMP dan SMA ke sini," kata Maryati, tetangga kamar Ricko.

Menurut Komarudin, ketua rukun tetangga setempat, Ricko selalu mengelak ketika diminta menyerahkan fotokopi kartu tanda penduduk. "Ada saja alasannya," ujar Komarudin. Kepada penghuni kos lain, Ricko mengaku bekerja sebagai guru. Ia berdalih mengajak anak-anak ke tempat kos untuk tambahan jam pelajaran. Dari kamar Ricko, anak-anak itu biasanya dijemput lelaki bersepeda motor.

Ricko tak sendirian menjalankan bisnisnya. Ia dibantu Ucu dan seorang lelaki berinisial "E". Tim Bareskrim menangkap dua orang ini sehari setelah meringkus Ricko. Menurut Agung, selama ini Ucu lebih aktif berkomunikasi dengan Ricko. Adapun "E" hanya penyedia rekening bank untuk bertransaksi. Sehari-hari Ucu dan "E" bekerja sebagai pedagang sayuran di Pasar Ciawi, Bogor. Menurut polisi, Ada enam anak yang langsung di bawah kendali Ucu. Sebagian dari mereka dipekerjakan di kios sayuran Ucu.

Polisi berfokus mengusut jaringan prostitusi dengan korban anak-anak. Di luar 7 anak yang sudah masuk panti, polisi mencari 32 anak lain untuk direhabilitasi. Untuk itu Bareskrim bekerja sama dengan sejumlah kementerian dan lembaga, antara lain Kementerian Sosial serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Wakil Ketua LPSK Askari Razak menuturkan, lembaganya akan menyediakan pendampingan hukum dan rehabilitasi jangka panjang bagi anak-anak itu. Lembaga ini juga telah melacak asal-usul anak yang sudah masuk rumah singgah. Seorang anak—sebut saja namanya Dion—terjebak jaringan prostitusi di bawah umur bersama seorang saudaranya. Kedua anak asal Nias, Sumatera Utara, itu datang ke Bogor setelah diadopsi oleh satu keluarga. Belakangan, orang tua angkat malah menelantarkan mereka. Kini, selain mendapat bimbingan psikologi, Dion menjalani perawatan kesehatan karena terjangkit sifilis.

Tim Kementerian Sosial turut menelusuri silsilah anak korban jaringan prostitusi. Seorang di antara mereka—panggil saja namanya Rama—terjebak dalam jaringan prostitusi Ricko sejak tiga bulan lalu. Rama mengalami trauma di dalam keluarga. Beberapa bulan lalu, ayah Rama meninggalkan ibunya yang lama sakit paru-paru. Setelah urusan dengan polisi selesai, Kementerian Sosial akan mengirim Rama, yang semestinya duduk di bangku sekolah menengah pertama, ke sebuah pesantren di Yogyakarta.

Adapun lima anak lain masuk ke dunia prostitusi karena pengaruh teman dan ingin mencari uang. Seorang anak di antara mereka bahkan berasal dari keluarga berada. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa meminta orang tua bocah-bocah itu segera menjenguk ke RPSA Bambu Apus. Menurut Khofifah, memang ada orang tua yang kecewa ketika tahu anaknya punya orientasi seksual berbeda. "Mereka harus menerima kenyataan," kata Khofifah. "Anak-anak sebenarnya hanya korban."

Linda Trianita, M. Sidik Permana (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus