Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Juru Ceramah dari Akademi Militer

Presiden Joko Widodo menjadikan pemberantasan radikalisme sebagai salah satu agenda utama pemerintahannya. Meniru Orde Baru dengan menunjuk Menteri Agama berlatar belakang tentara. Ditolak Nahdlatul Ulama.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Agama Fachrul Razi tiba di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 22 Oktober 2019. ANTARA /Puspa Perwitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA seteru lama, Fachrul Razi dan Prabowo Subianto, bertemu setelah pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara pada Rabu, 23 Oktober lalu. Di antara keduanya, berdiri Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka sempat berpelukan sebelum berbincang dan tertawa berderai-derai.

Dalam politik, keduanya selalu berada di sekoci yang berbeda. Fachrul meniti karier politiknya di Partai Hanura bersama Wiranto, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang kerap dianggap berseberangan dengan Prabowo sejak berdinas di militer. Fachrul pula yang menjadi Wakil Ketua Dewan Kehormatan Perwira yang mengadili Prabowo dalam kasus penculikan aktivis pada 1998. Fachrul ikut meneken rekomendasi pemecatan Prabowo.

Kini, keduanya sama-sama berada dalam kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Dalam pelantikan hari itu, keduanya bertemu lagi. Saat bercakap-cakap, mereka sempat menyinggung masalah radikalisme agama. “Dengan menggunakan bahasa tentara, kata beliau, ‘Hantam itu radikalisme, bahaya itu. Kita harus kikis habis’,” ucap Fachrul kepada Tempo di kantornya di Jalan Lapangan Banteng, Kamis, 24 Oktober lalu.

Ketika Fachrul dipanggil ke Istana pada Selasa, 22 Oktober lalu, Presiden Jokowi membicarakan pendidikan pesantren, kurikulum pendidikan yang tak sesuai dengan Pancasila, hingga isu keamanan negara. Sampai pertemuan berakhir, Presiden tak menyebut posisi pasti untuk Fachrul. “Jadi saya tebak-tebak, ini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menteri Agama, ya,” ujar mantan Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia tersebut.

Sebenarnya, kabar masuk kabinet telah dia dengar dari dua sahabatnya, Luhut dan Wiranto. Hanya, mereka juga tak mengetahui posisi yang bakal diberikan kepada Fachrul. Baru ketika kabinet diumumkan pada Rabu itulah Fachrul tahu bakal menjadi Menteri Agama. Secara eksplisit pula Jokowi menyebutkan tugas Fachrul adalah menangani radikalisme, di luar masalah ekonomi, industri halal, dan haji. “Mungkin Pak Jokowi ingin Menteri Agama yang punya gereget,” kata pria 72 tahun itu.

Fachrul mengklaim pernah aktif dalam kegiatan pembinaan rohani Islam sewaktu di Akademi Militer. Tugasnya kala itu adalah mengumpulkan para junior yang tidak bisa melakukan salat. Meskipun tak pernah mondok di pesantren, Fachrul mengatakan mengajari adik angkatannya membaca Al-Quran. Setelah lulus, ia pun kerap memberikan ceramah keagamaan. “Dugaan saya, yang begini-begini sampai ke telinga Pak Jokowi,” ujarnya.

Di lingkaran Jokowi, Fachrul bukan orang baru. Pada dua kali pemilihan presiden, Fachrul membantu Jokowi lewat Bravo V, organisasi beranggotakan purnawirawan tentara yang sebagian lulusan Akademi Militer 1970. Tim ini dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan dengan anggota antara lain Subagyo Hadisiswoyo, Sumardi, dan Suaidi Marasabessy. Di luar urusan pemenangan presiden, Fachrul menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera milik Luhut. Pada pemilihan presiden 2019, Fachrul menjadi Ketua Bravo V, sedangkan Luhut sebagai Ketua Dewan Pembina.

Seorang pemimpin partai politik yang pernah diajak berdiskusi oleh Jokowi mengatakan terpilihnya Fachrul didukung mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Fachrul dianggap menjadi jalan tengah bagi Presiden dari pilihan menjadikan wakil Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai Menteri Agama. Latar belakangnya sebagai mantan tentara juga dinilai merupakan bekal untuk mengatasi radikalisme yang belakangan mendapat sorotan.

Lagi pula, menurut narasumber itu, bukan pertama kali ini tentara menjabat Menteri Agama. Kepada Jokowi, ia mencontohkan Alamsjah Ratoe Perwiranegara yang ditugasi Presiden Soeharto memberantas “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan” sewaktu menjabat Menteri Agama sejak 1978 hingga 1983.

Fachrul mengakui dia dihubungi beberapa orang dari lingkaran dekat Kalla sebelum pelantikannya sebagai menteri. “Tapi tak elok saya ceritakan,” ujarnya.

Menurut Fachrul, ia sempat berjumpa dengan Kalla di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto saat menjenguk Wiranto. “Tapi beliau tidak ada omong-omong soal menteri,” katanya. Ketika menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin dan Asisten Operasi di Makassar, Fachrul mengaku kerap memberikan ceramah dengan topik toleransi. Ia menduga Kalla mengingat ceramahnya dan meneruskannya kepada Jokowi. “Mungkin lho, ya,” ujar pria kelahiran Aceh ini.

Pintu masuk Fachrul yang lain adalah Wiranto. Selain berkarib di politik, keduanya terhubung di Mathla’ul Anwar, organisasi yang didirikan Kiai Haji Mas Abdurrahman bin Jamal al-Janakawi pada 1916 di Pandeglang, Banten. Pada 10 Oktober lalu, Wiranto ditusuk Syahrial Alamsyah alias Abu Rara setelah meresmikan Universitas Mathla’ul Anwar, Pandeglang, lalu dibawa ke RSPAD untuk dirawat.

Di organisasi ini, Fachrul menjadi anggota Wali Amanah, semacam Rais Am Syuriah di Nahdlatul Ulama. Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini, juga duduk sebagai anggota Wali Amanah. Adapun Wiranto menjabat Ketua Dewan Penasihat. “Pak Fachrul bergabung sejak 2014,” ujar Ketua Wali Amanah Mathla’ul Anwar, Irsyad Djuwaeli. Fachrul mengatakan tak terlalu aktif di Mathla’ul Anwar. “Hanya diajak Pak Irsyad Djuwaeli.”

Fachrul adalah orang kedua di organisasi ini yang menjadi Menteri Agama, setelah Alamsjah Ratoe Perwiranegara. Bedanya, Alamsjah menjabat saat masih berstatus tentara aktif. Alamsjah pernah menempuh pendidikan dasar di Mathla’ul Anwar Kotabumi, Lampung. Di organisasi ini, Alamsjah menjabat Ketua Dewan Pembina hingga meninggal pada 1998. Pengganti Alamsjah adalah Wiranto. “Kami memang dekat dengan tentara,” ucap Irsyad. Karena itu, kata Irsyad, salah satu misi Mathla’ul Anwar adalah menolak radikalisme dan terorisme.

Penunjukan Fachrul sebagai Menteri Agama menuai polemik di kalangan nahdliyin. Setelah Orde Baru, kecuali Abdul Malik Fadjar yang merupakan anggota Muhammadiyah, semua Menteri Agama terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Robikin Emhas menerima protes dari kiai atas pemilihan Fachrul. “Kiai dari berbagai daerah menyatakan kecewa dengan nada protes,” ujar Robikin, Rabu, 23 Oktober lalu.

Seorang mantan petinggi PBNU menuturkan, pimpinan lembaganya tidak diajak berbicara mengenai penyusunan kabinet, terutama pemilihan Menteri Agama. Ketua Umum PBNU Kiai Haji Said Aqil Siroj memang diundang ke Istana oleh Jokowi menjelang pelantikan presiden. Namun, menurut Said Aqil, tidak ada pembicaraan mengenai kabinet. “Enggak bilang apa-apa, tuh. Cuma ketawa-ketawa,” katanya, Ahad, 20 Oktober lalu.

Sebagai bentuk protes, kiai dan pengurus NU se-Mataraman berkumpul di Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Jombang, pada Kamis, 24 Oktober lalu. Salah satu agendanya adalah membahas kekecewaan kiai atas terpilihnya Fachrul. Buntutnya, mereka mengancam tak akan mengundang Fachrul dalam puncak perayaan Hari Santri pada Ahad, 27 Oktober. Ketua panitia peringatan Hari Santri, Abdussalam Shohib, mengatakan Fachrul tak pernah menjadi santri dan pengurus organisasi nahdliyin. “Mungkin tahun depan kami undang,” ujar Abdussalam.

PESAN tentang radikalisme disampaikan Presiden Jokowi dalam rapat kabinet perdana pada Rabu, 23 Oktober lalu. Jokowi meminta Fachrul mengedepankan toleransi dan menangani radikalisme dengan pendekatan lunak. “Beliau memiliki pengalaman lapangan yang panjang,” tutur Jokowi. Fachrul sedang menyusun program untuk mengatasi isu radikalisme. Termasuk, kata Fachrul, merumuskan tahapan-tahapan sebelum masuk -tahap penindak-an. “Ada tahap-tahapnya, tidak tiba-tiba ngehantemin orang,” ujarnya.

Di luar struktur Kementerian Agama, Fachrul mengatakan akan memberdayakan koleganya sesama purnawirawan militer di tim Bravo V untuk menangani isu ini. Sebagai pensiunan jenderal, Fachrul meyakini, mereka memiliki jaringan yang kuat untuk memantau kelompok-kelompok yang dianggap radikal. Salah satu instrumen yang bakal dia manfaatkan adalah kemampuan intelijen para purnawirawan tersebut. “Intelijen kan ada di semua sisi kehidupan untuk mencari informasi,” ujar Fachrul.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 24 Oktober 2019. ANTARA/M Risyal Hidayat

Merebaknya ideologi ekstrem kanan membuat pemerintah cemas. Tempo menemui seorang mantan pejabat intelijen yang pernah dipanggil Presiden pada September 2018. Presiden khawatir terhadap kelompok ulama yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan pemerintah, apalagi kampanye baru saja dimulai. Dalam pertemuan itu, Presiden ingin mendengarkan strategi menangani radikalisme. Narasumber ini pun menyarankan pemerintah menggunakan pendekatan lunak. “Mereka mesti dirangkul, jangan langsung ditindak,” katanya.

Sejumlah riset menunjukkan gejala tersebut. Pada November 2018, Badan Intelijen Negara merilis ada 41 masjid yang terpapar radikalisme. Data BIN ini berasal dari riset Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Nahdlatul Ulama. Riset itu dilakukan antara lain dengan mendengarkan khotbah yang disampaikan di masjid-masjid yang menjadi obyek penelitian. Hasilnya menyimpulkan sebanyak tujuh masjid terpapar radikalisme berkategori rendah, 17 berkategori sedang, dan sisanya radikalisme berkategori tinggi alias parah.

Adapun Ryamizard Ryacudu sewaktu menjabat Menteri Pertahanan mengatakan 23,4 persen mahasiswa setuju mewujudkan negara Islam. Ketika pertanyaan yang sama diajukan ke pelajar, yang menjawab setuju untuk memperjuangkan khilafah sebanyak 23,3 persen. Ryamizard juga menegaskan, 19,4 persen aparat sipil negara dan 9,1 persen pegawai badan usaha milik negara menolak Pancasila. Hal inilah yang dipesankan Ryamizard kepada Prabowo saat serah-terima jabatan.

Prabowo mengatakan masih mempelajari situasi pertahanan Indonesia terakhir. Ia tak bersedia berkomentar mengenai program yang telah dijalankan Ryamizard. “Saya tak bisa berkomentar karena saya belum duduk di kantor saya,” ujarnya. Wakil Ketua Umum Gerindra Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan Prabowo memiliki kemampuan untuk berdialog dengan kelompok yang dianggap radikal. Pada pemilihan presiden lalu, sejumlah kelompok yang dinilai sebagai garis keras menyatakan mendukung Prabowo.

Fachrul menyebutkan memang ada tentara yang tidak mengakui Pancasila. Namun, kata dia, angkanya tak sebesar yang dipublikasikan. “Banyak yang terlalu dibesar-besarkan,” ujarnya. Ia menegaskan, TNI memiliki aturan tegas soal ini. “Kalau aneh-aneh, katakanlah khilafah, berarti bukan NKRI. Keluar kau!”

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyebutkan Presiden memang menjadikan pemberantasan radikalisme sebagai salah satu agenda utama pemerintahannya. Sebab, kata Mahfud, ancamannya adalah keutuhan negara. Karena itu, Mahfud akan mengkoordinasi penanganan isu radikalisme dengan kementerian teknis. Misalnya, yang ancamannya fisik bakal ditangani Kementerian Pertahanan. Adapun yang terkait dengan ideologi keagamaan bakal diurus Kementerian Agama. “Kata Presiden, ini harus ditangani secara serius,” ujar Mahfud.

Pada Agustus lalu, Mahfud mendengar informasi bahwa sejumlah ulama radikal dari Arab Saudi masuk ke Indonesia. Ia menduga tokoh-tokoh Islam tersebut masuk ke Indonesia untuk menyebarkan radikalisme dengan cara mendukung pesan-tren tertentu atau membuat pesantren sendiri. Contohnya, kata Mahfud, ada sejumlah pesantren di Magelang dan Yogyakarta, yang dulunya tidak terkenal, mendadak punya banyak murid dan menjadi tertutup. “Mereka melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera Merah Putih,” ujarnya.

Namun Mahfud mewanti-wanti bahwa radikalisme tidak sama dengan islamisme. Menurut dia, islamisme berarti tetap mendukung Pancasila dan negara kesatuan tapi menonjolkan karakter keislaman. Misalnya rajin berselawat, memelihara jenggot, dan bercelana cingkrang. Mahfud mengatakan mereka yang ingin mengganti dasar negara kerap tidak berjenggot atau bercelana cingkrang. “Ini bukan ukuran radikal,” ujarnya.

WAYAN AGUS PURNOMO, AHMAD FAIZ, DEVY ERNIS, EGI ADYATAMA, FIKRI ARIGI (JAKARTA), KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA)

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus