Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Radikalisme Pegawai Negeri

Sejumlah pegawai negeri, polisi, dan tentara ditengarai terpapar paham radikal.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Upacara peringatan hari ulang tahun Korps Pegawai Republik Indonesia ke-45 di Jakarta, November 2016. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bulan terakhir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berurusan dengan dua kasus pegawai negeri yang terindikasi terpapar radikalisme agama. Kasus pertama ditemukan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu ketika menggelar seleksi guru dan kepala sekolah yang dimulai pada Januari lalu. Menyeleksi ribuan kandidat, ia mendapati tujuh calon kepala sekolah diduga terjangkit ideologi ekstrem kanan pada September lalu. “Mereka pegawai negeri senior,” kata Ganjar pada Rabu, 23 Oktober lalu.

Temuan itu bermula dari laporan kelompok masyarakat yang memantau proses penjaringan calon kepala sekolah di Jawa Tengah. Kepada Ganjar, mereka menyampaikan informasi mengenai sejumlah peserta yang ditengarai simpatisan kelompok radikal. Indikasinya adalah lingkaran pertemanan mereka dan percakapan di media sosial.

Ganjar langsung menerjunkan tim khusus dan menghentikan proses seleksi untuk memindai profil ketujuh orang tersebut. Tim itu beranggotakan pejabat dinas pendidikan dan instansi intelijen daerah. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa mereka mendukung konsep negara khilafah. “Sikap itu mereka peroleh dari diskusi media sosial, pergaulan peer group, dan perbedaan pilihan politik pada pemilihan presiden lalu,” tutur Ganjar. Ia akhirnya memecat ketujuh pegawai negeri tersebut.

Sebulan setelah kasus seleksi kepala sekolah itu, terjadi peristiwa pengibaran bendera hitam dengan lafaz tauhid di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Sragen, Jawa Tengah. Dari foto yang beredar, para murid dan seorang guru berpose di tengah lapangan sambil membentangkan bendera Palestina dan panji yang identik dengan simbol Hizbut Tahrir Indonesia—organisasi yang dibubarkan pemerintah pada Juli 2017.

Menurut Ganjar, status guru yang mendampingi para siswa itu adalah aparat sipil negara. Dalam pemeriksaan, mereka mengaku tak paham bahwa bendera hitam dengan lafaz tauhid merupakan bendera HTI. Menurut mereka, perbuatan tersebut terinspirasi percakapan di grup media sosial. Sang guru berinisial WMP sudah meminta maaf. Ia sedang menunggu hasil investigasi tim Gubernur yang akan menentukan sanksi untuknya.

Menguatnya paham radikal di kalangan guru tecermin pada sigi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam survei yang melibatkan lebih dari 2.000 guru pada 2018 itu, sekitar 11,7 persen guru beropini radikal. Penelitian lain yang dilakukan Alvara Research Center terhadap 1.200 pegawai negeri mendapati 19,4 persen responden tak sepakat dengan Pancasila.

Paham radikal juga merasuki institusi kepolisian. Brigadir Dua Nesti Ode Samili, personel di Kepolisian Daerah Maluku Utara, ditangkap korpsnya sendiri sesaat setelah mendarat di Yogyakarta pada akhir September lalu. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan polisi wanita itu terafiliasi kelompok Jamaah Ansharud Daulah Bekasi yang dipimpin Abu Zee Ghuroba. “Kepergiannya ke Yogyakarta untuk melakukan amaliah karena disiapkan menjadi bomber,” ujar Dedi pada 24 Oktober lalu.

Menurut Dedi, Nesti terpapar paham terorisme dari jejaringnya di media sosial. Perempuan 23 tahun itu berkomunikasi dan mendapat doktrin dari terduga teroris Wawan Wicaksono, yang ditangkap di Salatiga, Jawa Tengah, serta Abu Zee—pentolan JAD yang juga terkoneksi dengan Abu Rara, penikam Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan periode lalu. Polri telah memecat Nesti pada pekan kedua Oktober lalu.

Tentara Nasional Indonesia pun tak bebas dari pengaruh paham radikal. Mantan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, menyebutkan ada sekitar tiga persen anggota TNI yang demikian. Itu pula yang dia minta kepada penggantinya, Prabowo Subianto, agar dibereskan secepatnya. “Harus kita setop agar tak bertambah di TNI dan keluarga besar,” ujarnya dalam acara serah-terima jabatan Menteri Pertahanan pada Kamis, 24 Oktober lalu.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, mengatakan radikalisme memang menjadi permasalahan global, termasuk di Indonesia. Namun, menurut Anam, penekanan pemerintah pada masalah radikalisme membuat sejumlah isu penting tersisihkan. Dalam isu “Taliban” di Komisi Pemberantasan Korupsi, isu radikalisme bahkan dipolitisasi dan menjadi pembenaran atas revisi Undang-Undang KPK. “Topik dan pekerjaan rumah pemerintah soal penyelesaian kasus hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, dan peningkatan kesejahteraan menjadi terabaikan,” ujar Anam. “Padahal isu itu juga berkelindan dan menjadi akar radikalisme.”

RAYMUNDUS RIKANG, YOGI EKA SAHPUTRA (BINTAN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus