Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANTAN Menteri Luar Negeri Ali Alatas masih ”laku”. Ia kini ditunjuk menjadi utusan khusus Presiden Megawati ke Myanmar. Soalnya, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya ingin agar pemerintah Myanmar membebaskan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi, yang hingga kini masih ditahan. Saat Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN-Eropa beberapa waktu lalu, Indonesia dan rekan-rekan serumpunnya mendesak agar Myanmar segera membebaskan Suu Kyi.
Namun, delegasi Indonesia masih menunggu kepastian kapan mereka diterima pemerintah Myanmar. ”Masih menunggu waktu yang tepat,” kata Alatas kepada Dedy Sinaga dari TNR, Rabu pekan lalu. Ia berharap kunjungan itu bisa terealisasi sebelum KTT ASEAN di Bali, 7-8 Oktober, agar isu Suu Kyi tidak mendominasi agenda KTT.
Mega Bernostalgia
PRESIDEN Megawati Soekarnoputri seperti tengah bernostalgia. Sementara pada 30 September 1960 presiden pertama RI, Sukarno, berpidato di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 23 September ini ia pun akan melakukan hal serupa di tempat yang sama. Sementara dulu ayahnya membawakan judul To Build the World Anew, Mega sekarang akan berbicara soal pentingnya multilateralisme serta restrukturisasi organisasi dunia itu, termasuk Dewan Keamanan dan badan PBB lainnya. Upaya Indonesia memelihara perdamaian dan keamanan dunia di Asia Tenggara juga bakal dikemukakan.
”Indonesia menegaskan perlu dikedepankannya prinsip multilateralisme dan dikesampingkan prinsip unilateralisme,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa.
Selama di New York, Mega dijadwalkan bertemu Sekjen PBB Kofi Annan dan Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe. Pertemuan dengan Presiden AS George W. Bush justru belum dijadwalkan. Tapi kemungkinan pertemuan di luar sidang MU PBB selalu terbuka, kata Marty, ”Bisa saja ada pertemuan yang tidak direncanakan.”
Yudhoyono ’Sowan’ Habibie
BERSOWAN sebelum melangkah rupanya sudah menjadi model pejabat Indonesia, seperti dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan itu, Selasa pekan lalu, menemui mantan presiden B.J. Habibie di rumahnya di Desa Ahlerstedt-Kakerbeck, sekitar 30 kilometer dari Hamburg, Jerman, sebelum ke Amerika Serikat.
Menurut Konsul Jenderal Indonesia di Frankfurt, Otto Sidharto Soeriaatmadja, pertemuan itu demi bersilaturahmi. ”Pak Bambang mengatakan bahwa, sebagai orang Timur, pertemuan ini untuk menghormati Pak Habibie sebagai mantan presiden,” ujarnya kepada Tempo News Room. Sang calon presiden dari Partai Demokrat juga sekalian menjenguk istri Habibie, Hasri Ainun, yang sakit dan dirawat di rumahnya.
Hambali Masih Dibekap
MESKI kucing sudah repot melobi, kalau macan masih ogah melepas mangsa, hasilnya belum ada. Itulah yang dialami Menteri Koordinator Polkam S.B. Yudhoyono. Pekan lalu ia ke Washington untuk membujuk pemerintah AS agar aparat Indonesia boleh menyidik Hambali alias Riduan Isamuddin. Tapi, karena sang polisi dunia masih butuh pengakuan ”dedengkot” Jamaah Islamiyah itu, Hambali masih dibekapnya.
Bahkan, gara-gara badai, pertemuan Yudhoyono nyaris berantakan. Dengan Senator Richard Lugar, The Foreign Relations Committee, dan Deputy Secretary Homeland Security, Gordon England, bahkan batal. Dengan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld dan Menteri Luar Negeri Colin Powell masih dijadwal. Tapi SBY dipastikan bertemu Deputi Menlu Paul Wolfowitz.
Padahal, di Kedutaan Besar RI di Washington, Yudhoyono sempat berharap pemerintah dapat membawa Hambali ke Indonesia agar dapat diadili. ”Hambali itu hasil kita. Tidak ada negara lain, tapi Indonesia dan polisi Indonesia yang melakukan investigasi, bukan Amerika atau negara lain,” ujarnya.
Rumah Ketua Mara Dibakar
RUMAH Ketua Majelis Amanat Rakyat (Mara) Sulawesi Tenggara, Hidayatullah, di Kendari dilempari dan dibakar orang-orang tak dikenal, Selasa dini hari pekan lalu. Api melalap sebagian bangunan rumah dan melumat toko busana muslim milik istrinya.
Aksi itu diyakini sebagai teror terhadap Hidayatullah yang gencar menuntut pengusutan kasus suap dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, sejak 10 bulan lalu. Bukan sekali ini terjadi, katanya, ”Peneror menggunakan nomor khusus yang tak muncul di layar telepon seluler saya, sehingga sangat sulit dilacak.”
Hidayatullah juga mengaku mendengar kabar, seseorang bernama ”Jon” meminta Rp 5 juta kepada Ali sebagai upah penghilangan nyawanya. Informasi dari Kepolisian Resor Kota Kendari menyebutkan, Ketua Kerukunan Mahasiswa Indonesia Buton itu mantan residivis pembunuhan. TEMPO gagal menemui Jon karena ia tiba-tiba menghilang dari tempatnya nongkrong-nya, di depan kampus Universitas Haluoleo, Kendari.
Kata Hidayatullah, Ketua Jaringan Anti-Korupsi Sulawesi Tenggara, La Ode Abdul Manan, dan Redaktur Pelaksana Harian Kendari Ekspres, Jumwal Shaleh, juga diancam ditewaskan. Ini dibenarkan oleh keduanya.
161 Ribu Pegawai Bernama Ganda
MENTERI Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal Tamin, merinci bahwa sekitar 161 ribu pegawai negeri sipil bernama ganda. Bahkan data jenis kelamin 32 ribu pegawai salah. ”Kami akan mendata ulang nama, jabatan, jenis kelamin, dan lain-lain,” katanya dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia di Batam, Jumat pekan kemarin.
Karena kesalahan administrasi sangat mempengaruhi anggaran negara, Feisal berharap rapat kerja itu dapat menyepakati peningkatan kesejahteraan. Idealnya, gaji pegawai negeri naik 80 persen melebihi gaji pegawai swasta, katanya, ”Bagaimana menciptakan pegawai negeri sipil yang berkualitas bila tak ditunjang kesejahteraan?” Tapi pegawai yang merangkap menjadi anggota partai politik langsung diberhentikan, ia mengingatkan, ”Tak pandang bulu, pokoknya pilih salah satu.”
Kasus Bulukumba Disidik
TIM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memutuskan menyidik pelanggaran hak asasi berat kasus Bulukumba. ”Saya usulkan status pemantauan ditingkatkan menjadi penyelidikan,” kata Ketua Tim Bulukumba, M.M. Billah, seusai menemui Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan di Makassar, Jumat pekan lalu. Untuk memastikan adanya pelanggaran, keputusan berdasarkan pemantauan tahap dua itu akan dibahas di Sidang Paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 25 September.
Berbicara didampingi anggota tim Hasballah M. Saad, Billah berharap pihaknya bisa memeriksa polisi yang diduga terlibat bentrokan dengan warga di lokasi perkebunan karet PT Lonsum (London Sumatera) Indonesia Tbk. di Bulukumba itu. Meski para pejabat polisi menolak diperiksa, ia melihat indikasi pelanggaran hak asasi berat sangat jelas: serangan terhadap warga sipil—hingga ada yang tewas—dilakukan secara meluas dan sistematis.
Sudah penangkapannya tanpa surat penangkapan, penyiksaan terjadi dalam tahanan, selain pelecehan seksual dan makan yang minim, serta ketakutan tahanan buat mengaku. Ada tahanan perempuan yang mengaku dipaksa telanjang dan polisi di Kepolisian Resor Bulukumba menampar pipinya. Perampasan—yang tanpa bukti penyitaan—harta benda pun terjadi. ”Ada uang yang disita hingga kini belum dikembalikan,” katanya.
GAM Belum Lumpuh Total
MENURUT Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, dalam empat bulan operasi terpadu di Aceh, TNI berhasil melumat basis-basis Gerakan Aceh Merdeka. Dengan terdesaknya mereka ke pegunungan, keamanan masyarakat terjamin. ”Kekuatan GAM dapat kami reduksi semaksimal mungkin,” katanya dalam pemaparan evaluasi bulan keempat operasi terpadu di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Jumat pekan kemarin. Tapi ia mengakui belum dapat total melumpuhkan mereka.
Dikabarkan, Panglima GAM Wilayah Peureulak, Ishak Daud, sempat terkepung. Semua barang miliknya, termasuk telepon seluler, disita TNI. Meski terus dikejar, ”Mereka sangat menguasai dan memanfaatkan medan kritik,” kata juru bicara Komando Operasi TNI di Aceh, Letkol CAJ Ahmad Yani Basuki, dua hari kemudian.
Juru bicara GAM Wilayah Peureulak, Teungku Mansur, mengakui saat ini posisinya agak terjepit oleh aksi TNI. Tapi perlawanan terus dilakukan, bahkan ratusan tentara GAM siap membantu Ishak dkk. Dan, ”Pasukan lain segera kami turunkan,” ujarnya.
Penggusuran di Cengkareng
PENGGUSURAN terjadi di Kampung Baru, Cengkareng Timur, Jakarta Barat, Rabu pekan lalu. Polisi menembakkan peluru kosong sejak pagi di lokasi 33 hektare milik Perum Perumnas itu. Dibantu satuan tugas Banpol, polisi pamong praja, dan petugas perlindungan masyarakat, polisi mengejar warga dengan membabi-buta. Yang tak melawan pun mereka hajar. ”Bunuh saja, habisi dia,” teriak sejumlah petugas.
Sekitar 700 anggota Kepolisian Resor Jakarta Barat dikerahkan, ditambah 1.500 anggota pasukan Brimob, Sabara, Tramtib, serta 1 kompi TNI untuk mengeksekusi, bahkan para preman berpakaian sipil dengan tanda pita hijau di dada mereka. Warga yang separuh baya pun terkena hajaran tongkat atau bilah balok. Membalasnya dengan lemparan batu, warga makin diburu, dan rumah mereka—rata-rata masih terisi barang-barang—dihancurkan dan bahkan ada yang dibakar. ”Kebakaran itu bukan oleh petugas, tapi karena bom molotov,” satu petugas membela diri.
Sebanyak 28 warga Kampung Baru ditahan di Kepolisian Resor Jakarta Barat karena melawan petugas. Menurut seorang polisi, 19 di antaranya ditangkap tanpa barang bukti. Lainnya diangkut bersama benda tajam, termasuk Asep Muhammad, Kiswanto, Anus Lantua S., Herbert Sitanggang, Wastoni, dan Pariyadi. Mereka berusia antara 15 dan 33 tahun.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengakui tindakan penggusuran itu tidak populis. ”Tapi harus dilakukan demi tertibnya Ibu Kota,” katanya.
Esok harinya, sebagian warga mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Di antaranya Yohanes Tambunan, 28 tahun, yang kepalanya terluka karena melindungi warga wanita dari aniaya petugas, dan Mariamah, 42 tahun, yang sepeda motornya dibakar aparat. ”Anggota Komisi Nasional sedang melihat lokasi,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Sholahuddin Wahid, kepada warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo