Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ketika Air Harus Memihak

RUU Sumber Daya Air ditargetkan rampung Desember tahun ini. Beberapa pasal menimbulkan kecemasan di sekitar fungsi dan penguasaan.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah kepusingannya mengatur negara, Presiden Megawati Soekarnoputri masih sempat mengingatkan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis air. Karenaitu, kata beliau, diperlukan undang-undang yang mengatursumber daya air. Parlemen, hari-hari ini, memang sedangmenggodok Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA)itu. Ternyata prosesnya tak semudah menuang air ke dalamgentong.

Jamak belaka bila di negeri ini—bahkan di negeri manapun—cukup banyak orang yang bertanah air tapi tak bertanah.Tapi, jika masalahnya menjadi "bertanah air tapi tak berair",urusan bisa jadi gawat. Apalagi jika kita mengingatInternational Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, yangdisahkan PBB pada November 2002. Di situ dinyatakan,antara lain, air merupakan barang publik yang sangatfundamental, dan hak atas air adalah mutlak bagi manusia agar dapathidup secara bermartabat.

Di tingkat yang sekarang, RUU itu memang masihmenempatkan hak atas air mutlak bagi manusia. Cuma, manusiayang mana? Perdebatan muncul di sekitar pasal-pasal yangberkenaan dengan hak guna air, karena di sinilah terjadipergeseran "kedudukan" air sebagai komoditas sosial dan komoditaspasar. Dalam pandangan "tradisional", air merupakan sesuatuyang ada begitu saja sehingga tiap orang boleh menikmatinya,bahkan dengan cara apa saja. Pandangan ini memang perluditinjau ulang.

Di tengah dunia yang makin kerontang, air tak bisa lagidipandang sebagai barang umbaran. Harus ada sikap yanglebih realistis. Jangankan sepuluh tahun lagi, seperti kata MbakMega, bahkan sejak baheula di Sumatera Barat sudah adakampung yang bernama Sulit Air. Karena itulah, pasal-pasalyang terasa longgar menyangkut penguasaan dan pengusahaanair dalam RUU ini, terutama oleh pihak swasta,mencemaskan banyak pihak.

Dalam Pasal 11 Ayat 3 RUU itu disebutkan, penyusunanpola pengelolaan sumber daya air…dilakukan denganmelibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha.Adapun yang dimaksud dengan "dunia usaha", dalam penjelasanayat ini, "meliputi koperasi, badan usaha milik negara, badanusaha milik daerah, dan swasta". Secara "urut kacang", swastamemang ditempatkan paling akhir. Tapi, mengingatpengalaman belakangan ini, justru pihak itulah kelak yang dominanberperan.

Bila air ditempatkan dalam dimensi pertanian,kesalahurusan pengelolaan sumber daya itu berpengaruh padaketahanan pangan. Ada tangkisan: air irigasi sudah diatur tersendirilewat sekian bendungan yang dibangun pemerintah. Tapi dariWaduk Jatiluhur, Jawa Barat, kita mendengar cerita betapa airuntuk jaringan irigasi sudah dibatasi sekali demi melayanikebutuhan suatu industri. Artinya, pengelolaan—yang dalam prakteksulit dibedakan dengan penguasaan—punya aturan mainsendiri, terutama pilihan prioritas. Bila sebuah pemerintah daerah,misalnya, menilai keluaran sumber airnya lebihmenguntungkan dikemas dan dijual sebagai air minum ketimbang dialirkanke sawah, kita tahu apa yang akan terjadi.

Berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adatatas sumber daya air pun, RUU ini mengandung pasal yangdianggap krusial. Hak itu masih tetap diakui, "sepanjangkenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerahsetempat". Birokratisasi air ini, sebagaimana birokratisasi diberbagai bidang lain, layak dikhawatirkan menjadi lelatuyang berpotensi mengobarkan konflik.

Ada yang mengaitkan perampungan RUU ini dengan Structural Adjustment Loan (SAL), yang dirancang Bank Dunia untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis moneter. SAL mensyaratkan perubahan struktural dalam sektor air. Dari perjanjian pinjaman US$ 300 juta yang dikucurkan dalam tiga tahap, kucuran tahap ketiga sebesar US$ 150 juta akan direalisasi Desember 2003, dengan syarat RUU SDA telah disahkan. Apa pun, sebetulnya bisa saja menjadi sah asalkan fokus utama perhatian tidak bergeser dari sikap memihak pada kepentingan terbesar masyarakat, terutama golongan tak mampu, yang mudah sekali ditempatkan dalam posisi kalah dan dirugikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus