Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mati buat Arafat

Pemerintah Israel akan mengusir atau mengenyahkan Arafat. Seiring dengan ini, pemerintah AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB. Kekerasan akhirnya kian tak terbendung.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selalu ada jilid yang berikut untuk konflik Israel-Palestina. Konflik ini tidak pernah menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, sehingga dunia menjulukinyakonflik abadi. Sepanjang pekan lalu, konflik itu lagi-lagimengalami eskalasi. Di tengah kecamuk aksi bom bunuh diri Palestinadan pembalasan tak kenal ampun tentara Israel, eskalasi itumemuncak dalam pernyataan Deputi Perdana Menteri Israel,Ehud Olmert. Melalui corong Radio Israel, orang nomor duaIsrael ini mengoceh, "Pengusiran Arafat adalah sebuah pilihan,pembunuhan terhadapnya adalah pilihan yang lain."

Masyarakat dunia terenyak melihat kemurkaanpemerintah Israel yang terhambur secara telanjang—tanpa dipoles dandikemas—lewat penegasan Olmert tersebut. Apakah suhupolitik di Tel Aviv sudah mencapai titik didih? Tapi bukanmustahil ancaman yang keji itu dimaksudkan sekadar untukmenggoyahkan posisi Arafat. Bagi pemimpin Palestina danpemenang Nobel Perdamaian ini, pernyataan Olmert terkategorisebagai ancaman berat yang ketiga.

Ancaman pertama terjadi 21 tahun lalu di Libanon,ketika pesawat tempur Israel membombardir permukimanPalestina di kawasan Sabra dan Shatila. Ribuan pejuang PalestineLiberation Organization (PLO) tewas, tapi Arafat bersamarombongannya selamat menuju tempat pengungsian di Tunisia.Ancaman kedua juga bersifat fisik, April 2002, ketikapasukan tank Israel berhari-hari mengepung markas Arafat diRamallah, Tepi Barat. Ancaman ketiga hanya berupa kata-kata,namun lewat pernyataan Olmert, ada bagian yang hakiki dariperadaban manusia yang terenggut begitu saja—terenggut secarakejam dan barbar.

Dewan Keamanan PBB tidak tinggal diam. Lembaga inimengeluarkan resolusi yang menggariskan bahwa PresidenYasser Arafat harus dilindungi. Selain ingin menyelamatkanArafat, resolusi itu dimaksudkan untuk mencegah agar lautandarah tidak menggenangi Tepi Barat. Kalau itu terjadi,kawasan Timur Tengah pasti terseret dalam peperangan, sementarakaum teroris akan keluar dari sarang mereka dan ikut beraksi dipanggung permusuhan yang paling spektakuler di muka bumi ini.

Tapi Amerika Serikat sejak awal sudah mengabaikan"nujum" yang mengerikan itu. Sebagai sekutu Israel, ASserta-merta memveto resolusi Dewan Keamanan PBB.License to kill Arafat yang diinginkan Israel memang ditolakmentah-mentah oleh Washington. Pada saat yang sama, resolusiperlindungan bagi Arafat juga tidak direstuinya. Dengan demikian, ASseakan-akan mengisyaratkan bahwa sebagai "polisi dunia"ia memilih bersikap sama jauh (equidistance), baik terhadapIsrael maupun Palestina. Padahal AS sudah lebih dulumenafikan Arafat, baik secara terselubung melalui sosok PerdanaMenteri Palestina—yang mesti direstui oleh AS danIsrael—maupun lewat peta perdamaian (roadmap) yang dirancangnya. Seperti diketahui, berdasarkan skenario perdamaian itu, AS secaraimplisit sudah meniadakan sosok Arafat dalam percaturanIsrael-Palestina. Dengan kata lain, AS juga menganjurkankekerasan, walaupun tidak terang-terangan.

Di sisi lain, arus besar peradaban mengajarkan bahwakekerasan bukanlah jalan keluar untuk mengatasi konflik. Tapikini arus besar itu dihadang arus kuat yang dimotori AS danIsrael; juga untuk alasan yang berbeda oleh kelompok-kelompokgaris keras Palestina, seperti Hamas, Al-Qasm, dan Brigade MatiAl-Aqsa. Dengan perimbangan seperti ini, seruan Arafatuntuk hudna (gencatan senjata) bisa saja ditanggapi ArielSharon sebagai jebakan. Maka kekerasan jua yang akan menang.

Lalu siapa yang terjebak? Siapa lagi kalau bukan rakyat Israel dan Palestina yang cinta damai. Mereka terombang-ambing di tangan pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Kedua bangsa ini harus bertindak mengakhiri konflik, demi masa depan anak-anak mereka sendiri. Dunia tentu tidak berpangku tangan, tapi di Yerusalem harus ada yang segera bergerak dan mengatakan tidak!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus