DAYA ingat Akbar Tandjung belum kunjung pulih. Sudah sejak Kamis dua pekan lalu Ketua Umum Golkar ini tiba-tiba terserang semacam penyakit lupa. Apalagi ketika harus menjelaskan yayasan apa gerangan yang ia kisahkan telah dikucuri duit Bulog Rp 40 miliar yang kini diributkan itu. "Saya tidak ingat, tapi akan saya cek lagi di file," kata lelaki 56 tahun ini ketika itu.
Sepekan telah lewat. Tapi Akbar seperti tak kunjung berhasil menemukan arsip yang dimaksud. Yang dilakukannya kini adalah menghindari pers. Pandawa Satu, begitu nama sandi petugas keamanan untuk sang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, belakangan lebih sering keluar-masuk kantor lewat pintu belakang. Kalaupun bisa dipergoki juru warta, jawabannya itu-itu saja. "Nanti pada waktunya akan saya jelaskan kalau saya sudah dimintai keterangan kejaksaan," katanya ketika ditemui TEMPO, Kamis malam kemarin.
Akbar memang harus lebih hati-hati memutar lidah. Soalnya, kesaksian terbuka mantan kepala Bulog Rahardi Ramelan, yang mengaku masih keturunan Pangeran Samber Nyowo itu, kini tengah berbalik menyambarnya.
Sebagaimana diketahui, usai diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi dana Bulog sejumlah Rp 54,6 miliar pada Selasa dua pekan lalu, Rahardi membongkar urusan gelap ini (meski dalam skala terbatas) ke muka publik. Ia mengatakan dana sejumlah Rp 40 miliar disalurkan pada Maret 1999 melalui Akbar, Menteri Sekretaris Negara saat itu, dalam rangka bantuan pangan. Pengeluaran lain senilai Rp 10 miliar dikucurkan ke Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI Jenderal Wiranto untuk keperluan pengamanan swakarsa. Adapun sisanya, Rp 4,6 miliar, dipinjamkan kepada PT Goro Batara Sakti milik Tommy Soeharto untuk penyelesaian pembatalan proyek tukar guling tanah.
Semula, Akbar tak membantah kesaksian itu. Sebagai Menteri Sekretaris Negara ketika itu, ia mengakui telah menerima dana dan langsung menyerahkannya ke sebuah yayasan. Di sini soalnya. Dari hari ke hari, dongeng yayasan itu kian tampak compang-camping.
Salah satunya terlihat pada bagian pernyataan Akbar bahwa yayasan misterius ini direkomendasikan menteri terkait. Dalam sebuah wawancara, ia menunjuk nama Haryono Suyono, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan ketika itu. Tapi, apa yang terjadi? Kepada majalah ini, Haryono telak membantahnya. "Saya tidak pernah merekomendasikan yayasan apa pun," katanya.
Kepada TEMPO, Rahardi juga mengaku baru mendengar ihwal yayasan itu setelah ia tiba di Tanah Air pada 29 September kemarin. Ia juga menyatakan, dalam rapat yang memutuskan pengucuran dana, tak sekalimat pun soal yayasan disinggung. Hal ini dikukuhkan se-orang mantan menteri yang dekat Habibie. Bahkan banyak yang meyakininya sebagai rekaan belaka. "Yayasan itu bahkan belum ada," kata seorang kalangan dekat Rahardi.
Akbar kian terpojok. Gempuran datang dari segala arah. Sejumlah organisasi nonpemerintah telah mengadukan perkara ini ke Gedung Bundar. Golkar kembali terancam pasal pembubaran. Akbar juga didaulat turun dari kursi ketua dewan. "Kalau dia masih menjabat, tidak mungkin terbentuk pansus," kata Koordinator Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki. Desakan supaya panitia khusus dibentuk—seperti halnya skandal dana Yanatera Bulog—pun kian kuat. Digulirkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa, bola panas itu kini mulai disambut Fraksi Reformasi dan PDI-P.
Dwi Ria Latifa, anggota Fraksi PDIP, bahkan mendesak kejaksaan supaya segera memanggil Akbar. "Jaksa Agung harus secepatnya mengirim surat permohonan izin pemeriksaan kepada Presiden," katanya. Ria seperti sedang menggarisbawahi informasi yang diungkap seorang mantan menteri, Istana memang telah menyalakan lampu hijau. "Begitu diajukan, Presiden Megawati akan langsung menekennya," kata sumber itu. Usai salat Jumat kemarin, Jaksa Agung M.A. Rachman menyatakan permintaan izin akan dilayangkan Senin ini.
Menghadapi perkembangan gawat ini, Akbar jelas kelimpungan. Menurut seorang pengurus Golkar, pada rapat pekan lalu, ia mengeluhkan perkara ini telah ditunggangi barisan Iramasuka—kelompok asal Indonesia Timur di Golkar—untuk mendongkelnya. Ia lalu balik mengancam. Kalau sampai dijebloskan sendirian, Golkar dan mantan presiden B.J. Habibie sekaligus akan diseretnya. Akbar minta supaya segala daya upaya dikerahkan di tiga jalur penting—melobi Istana, mengatur jalannya perkara di kejaksaan, dan menghadang pembentukan panitia khusus di Senayan.
Tanda-tanda keterlibatan Akbar dan Golkar dalam urusan ini memang kian mengkristal. Mantan Menteri Pertahanan Mahfud Md., yang meledakkan "bom" ini pertama kali, termasuk yang meyakininya. "Saya yakin betul ada keterkaitannya," katanya. Ia tak sembarang omong. Sumber informasinya bukanlah orang dari pinggir jalan. Dia adalah seorang pengurus pusat Golkar yang paham seluk-beluk kas Beringin. "Dia bilang ada dua lembar cek yang diberikan Akbar kepada Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat sekitar Maret-Mei. Dana itu digunakan untuk kepentingan Golkar," tuturnya. Bahkan, kata Mahfud, sumbernya berterus terang duit Bulog yang diserap Golkar pada masa itu sejatinya lebih dari Rp 250 miliar. Mahfud meyakini kesahihan info ini karena dikuatkan setumpuk dokumen dan berkas laporan audit.
Berdasarkan wawancara mendalam ter-hadap sejumlah sumber tepercaya dan penelusuran dokumen autentik, indikasi itu juga yang diendus mingguan ini. Periksalah kronologinya.
Dana kontroversial ini dikeluarkan atas perintah Presiden Habibie dalam sebuah rapat terbatas pada Februari 1999. Ketika itu hadir Mensesneg Akbar Tandjung, Kepala Bulog Rahardi Ramelan, dan Menko Kesra Haryono Suyono. Menurut seorang mantan menteri di era Habibie, ketika itu disepakati peran Akbar hanyalah sebagai penyalur dana. Setelah diterima, uang mesti segera disalurkan kepada tiga menteri terkait: Haryono, Menteri Koperasi Adi Sasono, dan Menteri Sosial Joestika Baharsjah. Nyatanya tidak. Padahal, sebagai Mensesneg, Akbar jelas tak punya kewenangan untuk mengelolanya. "Jadi, kalau sampai dia pegang sendiri ya salah," kata mantan menteri itu.
Rahardi lalu mengucurkannya dalam beberapa tahap. Yang pertama pada 2 Maret 1999, senilai Rp 20 miliar. Dua lembar cek masing-masing Rp 10 miliar diteken Ruskandar, Deputi Keuangan Bulog. Adalah Ruskandar bersama seorang lainnya yang langsung mengantarkannya. Akbar sendiri yang menerimanya dan lantas memberikan tanda terima.
Selebihnya, Rp 20 miliar lagi, dikucurkan setelah itu. Atas permintaan Akbar, cek dipecah dalam bilangan Rp 2-3 miliar. Duit mengucur ke enam pengurus teras dan anggota Badan Pemenangan Pemilu. Mereka adalah Fadel Muhammad (Bendahara) dan tiga wakilnya: M.S. Hidayat, Enggartiasto Lukita, Setya Novanto, serta salah seorang Ketua Golkar, Mahadi Sinambela.
Selain untuk kepentingan Golkar, sebagian di antaranya juga masuk ke kantong pribadi. Dengan uang negara ini, seorang pucuk pimpinan Beringin santer diisukan membeli rumah mewah di Boston, Amerika Serikat, dan di Australia. Sejumlah di antaranya juga diketahui ditransfer ke sebuah rekening pribadi di Citibank sebelum dipindahkan ke Amex Bank dan lalu dipendam di sebuah account tanpa nama di Virgin Island.
Tapi, dengan memperdaya Ruskandar, kuitansi itu belakangan bisa ditarik kembali. Akbar semula bilang akan menarik tanda terima Rp 20 miliar untuk diganti dengan kuitansi seluruh total dana, Rp 40 miliar. Ternyata itu cuma patgulipat. Hingga kini, tak selembar kertas pun diserahkan kembali. Dicurigai, kuitansi asli itu telah dimusnahkan. Tapi jejak bukan hilang sama sekali. Tanda terima yang diteken Akbar itu sempat difotokopi dan masih disimpan rapi oleh seorang tokoh penting.
Soal pernah menerima cek, meski sempat mengakuinya, belakangan Akbar meralatnya. Yang benar, kata Akbar, ia cuma mempersilakan staf Rahardi langsung menyerahkannya kepada pengurus yayasan yang ketika itu juga berada di kantornya. "Tidak benar pemberitaan yang menyebutkan bahwa saya telah menerima dana tersebut," katanya.
Tapi Marzuki Darusman, salah satu Ketua Golkar, berkata lain, "Kalau soal menerima uang, kita tidak menyangsikan Akbar memang menerimanya dari Ruskandar." Mantan jaksa agung ini bahkan membenarkan Akbar pernah memberikan kuitansi. "Uang itu dimintakan tanda terima, dan Akbar memberikan tanda terima sebesar Rp 20 miliar, yang kemudian diambilnya lagi untuk diganti dengan tanda terima Rp 40 miliar," katanya
Sejak awal, perkara ini memang telah berupaya dibekap. Akbar-lah yang meyakinkan Rahardi supaya terbang jauh ke luar negeri, dan menjamin akan menyelesaikannya secara politik. Cuma, lama-kelamaan Rahardi kian jengkel. Dari seberang benua ia menyaksikan betapa ia cuma menjadi bulan-bulanan, malah ditetapkan sebagai tersangka, dan tak sekata pun Akbar membelanya.
Kemarahannya memuncak ketika ia mendapat kabar interpol segera mengeluarkan perintah penangkapan. "Merasa akan dikorbankan, ia memutuskan membukanya ke pu-blik," kata seorang kalangan dekatnya. Tekadnya makin bulat setelah sokongan diberikan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, Kepala Polri Bimantoro, dan Jaksa Agung M.A. Rachman.
Semula, perkara ini memang diplot supaya paling jauh menyeret Rahardi. Gejalanya sudah muncul dari kesaksian awal Ruskandar di kejaksaan. Ketika itu Ruskandar menyatakan cek itu diberikannya kepada Rahardi. Maksudnya jelas, menghapus jejak Akbar. Tiga kali diperiksa, tiga kali itulah Ruskandar mengubah keterangannya. Baru pada pemanggilan terakhirlah ia mengaku menyerahkan cek langsung ke tangan Akbar. Untuk menyetel keterangannya, Ruskandar sempat "diungsikan" Mahadi Sinambela—salah satu Ketua Golkar dan tangan kanan Akbar—ke sebuah tempat yang amat dirahasiakan di Singapura. Cuma, skenario lalu berantakan karena dari persembunyiannya Ruskandar berhasil menelepon Rahardi dan melaporkan semuanya. Sayang, dikontak melalui telepon genggamnya, Ruskandar menyatakan tak bersedia berkomentar.
Setelah itu muncullah skenario berikutnya. Kali ini Rahardi diajak kongkalikong untuk menjadikan Ruskandar sebagai kambing hitam tunggal. Tak tega mengorbankan orang kepercayaannya sendiri, Rahardi menentangnya.
Dalam keadaan serba buntu inilah skenario yayasan dimunculkan. Baru pada Rabu, 10 Oktober kemarin, dongeng ini mulai dikarang. Ketika itu, didampingi pengacara masing- masing, Akbar bertemu dengan Rahardi dan merayunya supaya bersedia berperan dalam drama ini. "Pokoknya yayasan, ya, Pak Rahardi," kata Akbar berkali-kali. Tak kepalang tanggung, supaya jadi tameng yang sempurna, yang akan dipakai adalah sebuah lembaga yang terkait dengan Fauzan, seorang mantan petinggi Bulog yang kini sudah almarhum. Rahardi kembali menolak. "Masa, orang mati masih mau dijebloskan," katanya seperti ditirukan sumber TEMPO.
Sejak transit di Singapura, sebelum masuk Jakarta, Rahardi sudah ditekan dari segala pen-juru agar tak asal "bernyanyi". Akbar, misalnya, mengutus trio pengacaranya dan Setya Novanto untuk mengirim peringatan. Mereka datang diantar mantan Menteri Negara BUMN, Tanri Abeng. Dalam kesempatan terpisah, Rahardi juga ditemui Wiranto. Sang Jenderal berpesan supaya Rahardi "tak memunculkan friksi baru". Ancaman bakal dilibas juga datang melalui sebuah telepon dari seorang mantan petinggi militer. Di Jakarta, seorang tokoh gaek tak ketinggalan ikut memperingatkannya supaya tak memecah Himpunan Mahasiswa Islam.
Namun, sangkalan datang berbondong-bondong. Akbar membantah segala tuduhan keterlibatannya. "Kan sudah saya jelaskan kepada Anda, itu semua tidak benar. Mau tanya apa lagi?" katanya. Fadel bahkan balik menuduh perkara ini tengah ditunggangi lawan politik Akbar untuk mengambil oper Golkar. "Itu fitnah untuk menjatuhkan Pak Akbar dan teman-temannya. Golkar mau diambil. Benar itu yang ditulis TEMPO. Sekarang kan ada perseteruan di dalam," kata pengusaha yang baru terpilih sebagai Gubernur Gorontalo ini.
Begitu pula dengan Mahadi. "Memangnya gua Pangkopkamtib, bisa menangkap orang segala," kata Mahadi, yang mengaku tidak pernah bertemu dengan Ruskandar. "Saya tidak ada urusan sama dia," katanya lagi. Setya Novanto bahkan sampai meminta ampun. Salah satu aktor skandal Bank Bali ini menyatakan, "Semua rekening saya kan sudah diperiksa Bank Indonesia. Kalau ada satu miliar saja, pasti sudah kelihatan. Jadi, tidak ada. Saya tidak ikut campur persoalan ini."
Sanggahan juga disuarakan M.S. Hidayat: "Saya tidak menerima duit dari siapa pun, baik yang berkaitan dengan masalah ini maupun yang lainnya." Dia pun mengaku tak tahu-menahu ihwal yayasan itu. "Tolonglah kasihani mama saya," katanya. Nada serupa dinyatakan Enggar. "Siapalah saya ini, hanya kelompok minoritas. Masa, mau bertindak macam-macam begitu. Saya tidak tahu-menahu," katanya.
Penyakit lupa rupanya sedang menyerang banyak orang.
Karaniya D., Arif Kuswardono, Adi Prasetya, Wens Manggut (Jakarta), L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini