GOLKAR merayakan ulang tahun ke-37 pekan ini, tapi banyak yang mulai ragu apakah partai itu akan sampai ke usia 38 tahun. Keraguan itu akibat kasus dana nonbujeter Bulog—persoalan yang bisa membuat partai bentukan Orde Baru itu diputus pengadilan untuk gulung tikar.
Adalah mantan Kepala Bulog Rahardi Ramelan yang membuat tudingan serius: Akbar Tandjung menerima kucuran dana Rp 40 miliar dari dana non-neraca Bulog. Dana itu diterima Akbar saat menjabat sebagai Menteri-Sekretaris Negara di zaman pemerintahan Habibie. Diduga keras dana mengalir ke kas badan pemenangan pemilu Golkar.
Bila itu terbukti benar, "Partai Golkar bisa menerima hukuman berat, dapat dibekukan, dan tidak boleh ikut pemilu tahun 2004," kata Andi Mallarangeng, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum. Aturan ini ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemilu. Di sana disebut jelas bahwa partai boleh menerima bantuan dari orang-perorangan maksimum Rp 15 juta. Sumbangan dari perusahaan atau badan hukum dibatasi paling tinggi Rp 150 juta.
Namun, jalan masih panjang untuk menghukum partai yang didirikan oleh para jenderal Angkatan Darat pada 1964 itu. Harus ada putusan Mahkamah Agung yang menyatakan partai itu bersalah. Andi sendiri tidak mengetahui secara pasti bagaimana jalan sampai ke meja majelis MA tadi.
Yang pasti, ini kasus terberat Golkar. Untuk pertama kalinya Golkar berhadapan dengan pemerintah. Sebelumnya, partai itu pernah lolos dari tuduhan menerima uang haram di pemilu yang dilancarkan koalisi lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Pijar Keadilan, Juli lalu. Uang haram tersebut, menurut R.O. Tambunan, pemimpin Pijar Keadilan, berasal dana non-neraca Bulog sebesar Rp 90 miliar dan uang skandal Bank Bali sebanyak Rp 15 miliar.
Dalam skandal Bank Bali, saat itu R.O. Tambunan mengajukan bukti berupa hasil audit konsultan independen PricewaterhouseCoopers—yang bekerja untuk Badan Pemeriksa Keuangan. Di halaman 122 laporan itu tercantum kalimat, "On June, 1999, Golkar Party received Rp 15 billion from Mr. Arung Gauk Jarre." Nama terakhir itu adalah pengusaha yang dekat dengan Menteri Negara BUMN Tanri Abeng—menteri yang diduga tahu benar urusan aliran dana itu.
Bukti tersebut ternyata tidak membuat partai yang pernah berkuasa lebih dari 30 tahun itu goyah. Majelis hakim Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut pada 31 Juli 2001 lalu. Alasan MA waktu itu, gugatan tidak kuat karena hanya berdasarkan kliping media massa.
Sekarang ini, atas tuduhan pelanggaran undang-undang pemilu, pihak kejaksaan tengah bersiap memberkas Akbar dan sejumlah petinggi Golkar lainnya. Di luar kasus pemerintah versus Golkar itu, sejumlah pihak yang dulu dikalahkan Golkar juga sudah berhimpun. Mereka siap menggugat lagi. Pijar Keadilan, Petisi 50, Paguyuban Korban Orde Baru, dan sejumlah LSM lain sudah menyiapkan strategi baru untuk memenangkan gugatan barunya.
R.O. Tambunan, pengacara yang terkenal lantaran membela PDI Perjuangan itu, tidak akan menggugat secara perdata, tapi secara pidana. Yang dipidanakan adalah orang yang terlibat kasus ini seperti Akbar Tandjung, Rahardi Ramelan, Habibie, Wiranto, M.S. Hidayat, Fadel Muhammad, dan Marimutu Manimaren.
Senjata utama R.O. Tambunan adalah keputusan pengadilan pemerintah versus Golkar nanti. Bila hakim memutuskan Akbar dan kawan-kawan bersalah, putusan itulah yang diajukannya untuk membubarkan Golkar. Sebagai tambahan bahan, serangkaian hasil persidangan Bank Bali dulu ia kumpulkan dan ia setorkan ke Kejaksaan Agung, Selasa pekan lalu.
"Bola" kini ada di tangan Jaksa Agung M.A. Rachman. Ia berjanji dalam pekan ini akan bersurat kepada Presiden Megawati, meminta izin memeriksa Akbar Tandjung, yang Ketua DPR RI. Jika surat sudah dikantongi kejaksaan, Akbar akan segera diperiksa di Gedung Bundar.
Di depan jaksa nanti, Akbar tidak boleh lagi lupa ke mana aliran dana Bulog itu ia kucurkan. Ia harus bisa membuktikan aliran dana ini "halal". Jika tidak, ulang tahun Golkar minggu lalu mungkin saja menjadi pesta terakhir partai itu.
Edy Budiyarso, Hani Pudjiarti, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini