Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kabut Kudeta Lin Biao

Mengungkap kisah kudeta Lin Biao yang gagal sampai hari kematiannya. Orang kedua pada masa Mao Zhedong. (sel)

28 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah proses perintisan hubungan AS-RRC, 1971, terbetik berita samar: sebuah pesawat jet Trident buatan Inggris, milik RRC, jatuh di wilayah Mongolia. Kemudian menyusul berita lain: perayaan 1 Oktober, yang biasanya diselenggarakan besar-besaran, ditiadakan. Ditambah ini: desas-desus tentang Lin Biao yang hilang dari peredaran. Akhir November tahun itu pers Barat mulai mencium kelainan di sekitar lingkungan pengambil keputusan di Beijing. "Lin Biao diperkirakan meninggal," tulis Washington Post di halaman pertama. Berita itu termasuk di antara yang paling dini mengungkapkan kematian Lin. Diceritakan pula, marsekal Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Cina itu terlibat usaha membunuh Mao Zhedong. Namun, upaya pengungkapan lebih jauh terbentur pada keputusan presiden AS (waktu itu) Richard M. Nixon. Berusaha melicinkan proyek kunjungannya ke RRC, Nixon melarang semua aparat pemerintah yang berhubungan dengan kasus Cina berbicara kepada pers. Meski disertai kecemasan menyimak perkembangan terakhir, membangun hubungan baik dengan Cina bagi Nixon merupakan masalah penting. Bukan saja ditilik dari strategi global memecah kekuatan komunis, melainkan juga secara taktis diharap akan membantu kelancaran penarikan mundur pasukan AS dari Vietnam. Tambahan pula, berita kunjungan menggemparkan yang akan disiarkan seluruh jaringan pers dan TV itu pasti menambah popularitas Nixon menghadapi saat pemilihan presiden berikutnya. Sementara itu para pengamat terhadap Cina, dan pers Barat, yang memusatkan kegiatan monitornya di Hong Kong, tak juga berhasil melacak pergolakan di Daratan. Pernyataan resmi mengenai Lin Biao memang mulai mengalir, dengan amat seret, dari Beijing. Kenyataan lain yang bisa di ikuti: sejumlah pejabat puncak pada copot dari jabatan di dalam Partai Komunis Cina (PKC). Mereka adalah Kepala Staf Angkatan Bersenjata Huang Yongsheng, KSAU Wu Faxian, Komisaris Politik Angkatan Laut Li Zuopeng, dan Kepala Logistik Qiu Huiuo. Pada 13 Januari 1972 muncul penjelasan resmi terbatas - lanjutan pengumuman berturut-turut dengan judul Materi Kejahatan Klik Anti-Partai Lin Biao bagian 1, 2, dan 3. Di situ disebutkan "Usaha membunuh Mao Zhedong oleh 'Proyek 571' yang digerakkan Lin Liguo, putra Lin Biao". Ketika persekongkolan itu terbongkar, demikian dikatakan, "Lin Biao berusaha lari ke Uni Soviet dengan pesawat udara, dan tewas ketika pesawatnya jatuh di daerah Republik Rakyat Mongolia." Selesai. Juni 1972, terbit laporan resmi berjudul BuktiBukti Kejahatan Kup Kontra-Revolusi oleh Klik AntiPartai Lin Biao. Laporan ini berisi "pengakuan, hasil pemeriksaan, rekaman telepon, surat, nota, catatan harian, dan bahan lain sebagai bukti kejahatan Lin Biao." Setiap anggota PKC mendapat seberkas copy laporan itu, dengan pesan tak boleh membicarakan isinya dengan orang di luar Partai. Isinya tidak banyak berbeda dengan pernyataan, selentingan, dan sas-sus sebelumnya. Konon, sejak pertikaian terbuka Mao-Lin pada Kongres PKC di Lushan, Lin Biao mulai membangun komplotan untuk menumbangkan Mao. Komplotan ini didukung sebagian besar pimpinan inti AB Cina. Lin Liguo, yang punya kelompok tempur elite AU dengan nama sandi "Armada Gabungan" dan "Proyek 571", merencanakan peledakan kereta api yang akan ditumpangi Mao dalam perjalanan inspeksi ke daerah selatan. Rencana itu tercium. Mao mendadak pulang ke Beijing. Mengetahui kegagalan ini Lin Biao memutuskan memindahkan persiapan ke Guangzhou. Tapi, begitulah terjadi, anak perempuan Lin Biao, Lin Liheng, memberi tahu PM Zhou Enlai tentang persekongkolan ayahnya. Zhou segera mengumumkan larangan terbang ke seluruh pangkalan udara RRC, tapi sebuah pesawat Trident bernomor 256 sempat lolos - membawa Lin Biao beserta istri serta Lin Liguo menuju Uni Soviet. Pesawat itu jatuh di Ondorhan, sebelah timur Ulan Bator. Tujuh mayat lelaki dan satu wanita, yang ditemukan bersama puing pesawat, dikuburkan disekitar tempat kejadian. Demikian kurang lebih isi laporan resmi tadi. Begitu pula cerita yang sampai kini dibenarkan pihak resmi di Beijing. Tapi beberapa bulan lalu Penerbit Alfred A. Knopf - bekerja sama dengan Random House - mengeluarkan buku berjudul The Conspiracy and Death of Lin Biao. Penulisnya, memakai nama samaran Yao Ming-Le, menyuguhkan versi lain. Kata pengantar ditulis oleh Stanley Karnow, wartawan Amerika dan ahli masalah Cina, penulis buku Mao and China (1972). The Conspiracy berusaha menjawab sejumlah pertanyaan di sekitar kematian Lin dan usahanya menggulingkan Mao. Banyak hal mencurigakan memang. Misalnya, mungkinkah Lin Biao, marsekal yang tangguh itu, menyerahkan soal besar kepada Lin Liguo yang masih hijau? Benarkah hanya karena mendengar Mao mendadak pulang ke Beijing, Lin Biao - yang didukung hampir segenap jajaran AB Cina - tunggang langgang ke Guangzhou? Betulkah pesawat yang digunakan kehabisan bahan bakar? Mengapa pula jenazah korban "kecelakaan" dikuburkan di tempat kejadian, menyalahi kebiasaan selama ini? * * * Dari penampilannya, Lin Biao lebih mirip sarjana. Tubuhnya tidak besar, parasnya pucat, cara berpakaiannya sederhana. Hanya bila menatap matanya orang sadar kekuatan marsekal itu. "Mata itu mencerminkan ketetapan hati, bersinar jernih dan tenang, dipayungi sepasang alis hitam tebal," tulis Yao Ming-Le, yang mengaku penduduk RRC. "Kepercayaan pada diri sendiri adalah elemen terkuat pada watak Lin Biao." Stalin memuji Lin Biao sebagai "panglima paling terkemuka di Cina yang kecerdasan dan keberaniannya tak tersaingi". Chiang Kai-shek menjulukinya "setan perang, orang yang selalu memegang kunci rahasia kemenangan di tiap pertempuran". Mao Zhedong sendiri menyebut Lin "marsekal tanpa -tandingan". Nama Lin Biao melejit sejak ia memenangkan pertempuran besar di Pingxingguan, dalam periode Perang Anti-Jepang. Antara 1940 dan 1942 Lin berada di Moskow. Ada yang mengatakan ia berobat banyak pula yang menyebut ia menambah ilmu perangnya. Tapi, secara resmi, Lin menjadi penghubung antara Partai Komunis Cina dan Soviet. Pulang ke tanah air, 1945 ia dikirim ke Manchuria untuk membangun Tentara Ke-4 yang kemudian menjadi bagian terkuat TPR Cina. Dari Manchuria Lin bergerak ke selatan, menyapu musuh-musuhnya dan memenangkan setiap pertempuran di Liaoning-Shenyang dan Beijing-Tanjin. Suksesnya di lanjutkan dengan memimpin penyeberangan Sungai Yangtse dan memenangkan rangkaian pertempuran di seluruh kawasan Cina Tengah dan Selatan. Pasukannya melaju dari Semenanjung Lei Zhou ke Pulau Hainan, menawan atau membunuh paling tidak 2,7 juta tentara Chiang Kai-shek. Sampai dengan runtuhnya kekuasaan Kuomintang, Lin memenangkan lebih dari separuh pertempuran di seluruh Daratan Cina. Di kalangan atas komunis Cina ada kebiasaan memasukkan anak-anak ke dinas militer. Angkatan udara merupakan favorit. Terdiri dari putra-putra pilihan, AU RRC berkembang mengungguli angkatan lainnya, dengan pasukan paling terlatih, persenjataan paling modern, perbekalan dan fasilitas paling prima. Tak heran kalau Lin Biao juga memasukkan anak-anaknya ke sana. Keluarga Lin Biao beranak dua: Lin Liheng, perempuan, dan Lin Liguo, lelaki. Lin Liheng masuk AU pada 1966, dan tiga tahun kemudian menjabat redaktur bagian penerbitan di situ. Lin Liguo lebih agresif daripada kakaknya. Ia mewarisi segala yang terbaik dari ibunya, sekaligus dua hal dari ayahnya: alis tebal dan ambisi. Lin Liguo masuk AU pada usia 22, 1967. Empat tahun kemudian ia sudah wakil kepala Departemen Operasi AU RRC. Nyonya Lin Biao, Ye Qun, tidak khawatir mengenai karier anak-anaknya. Ia hanya risau memikirkan usaha mencari menantu yang baik, terutama untuk Lin Liguo. Untuk keperluan itu Ye Qun sampai mengundang campur tangan Wu Faxian, KSAU RRC. Ye Qun meminta sahabatnya itu membentuk "tim" yang khusus bertugas mencari dan meneliti calon pasangan Lin Liguo. Tapi Lin Liguo ternyata pemuda yang jauh dari dewasa, naif dalam politik, dan sama sekali tidak tertarik pada urusan militer. Fasilitas istimewa dan perlakuan khusus membuat ia egoistis dan congkak. Sifat itu terbawa ke dalam pergaulan dengan para gadis. Ia tidak tertarik pada usaha ibunya mencari menantu. Tak ada calon yang berkenan di hati Lin muda. Banyak yang berparas lumayan, tapi tidak cukup cantik. Ada yang anggun, tapi kurang pengalaman. Banyak pula yang manis, tapi tidak memesonakan. Ketua "tim", Nyonya Wu Faxian, ikut pusing. Maka, ketika seorang wakil komisaris politik menyarankan supaya "tim" itu dipimpin sendiri oleh Lin Liguo, semua langsung setuju. Lin sendiri tidak merasa rugi menerima keputusan itu. "Tim" itu kemudian terkenal dengan nama "Grup Shanghai". Salah seorang anggota "grup" yang paling disenangi Lin Liguo adalah Chen Lunhe, penerjemah Inggris pada Departemen Inteligen AU. Dari Chen Lunhe, Lin Liguo kemudian berkenalan dan mencandui - majalah Playboy dan Penthouse. Seorang kurir khusus ditugasi berbelanja majalah semacam ini di Hong Kong. Sejak dipimpin Lin Liguo, tim pencari jodoh ini bekerja sangat agresif. Semua anggota tim mengantungi kartu pengenal yang dikeluarkan Komisi Militer. Kartu itu bagai jimat pamungkas - membuat anggotanya menerima berbagai kelapangan, terutama dari instansi militer dan keamanan. Perburuan cewek idaman dipusatkan di kota-kota Shanghai, Hangzhou, dan Suzhou. Anggota tim menyebar ke tempat-tempat umum: teater, taman, pusat perbelanjaan, dan kadang-kadang lingkungan seni yang lain. Calon yang dipandang layak segera dicari nama dan alamatnya. Kemudian menyusul penyelidikan riwayat hidup dan asal usul keluarga. Panggilan bisa dilakukan melalui Komite Partai atau rekomendasi pejabat militer. Dengan undangan semacam itu, gadis-gadis tadi penuh sukacita menyediakan diri untuk "ujian" dan "wawancara". Langkah berikutnya ialah pemeriksaan jasmani, acara yang paling dinikmati Lin Liguo. Tempat pemeriksaan terdiri dari dua ruangan dibatasi cermin yang tembus pandang sebalik. Dokter pemeriksa dan calon yang diperiksa tidak sadar bahwa tingkah laku mereka bisa diamati dari ruang sebelah. Atas nama Komisi Kontrol Militer, dokter dijemput malam hari dengan mobil bertirai. Begitu pula para calon. Mereka tidak tahu tempat pemeriksaan itu. Ye Qun, ibu yang ambisius dan ingin mewariskan kekuasaan kepada putranya, sibuk memeriksa kemajuan usaha tim. Tapi kegiatan sang ibu malah membuat cemas Lin Liguo yang telanjur senang bermain harem-hareman. Karena itu Lin muda berbalik memata-matai ibunya. Ia menyadap pembicaraan telepon orangtuanya, dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata penangkis. Dan suatu hari yang diharapkan muncul. Lin Liguo menangkap pembicaraan berbau asmara antara ibunya dan Huang Yongsheng. Tapi ketika Lin Liguo membuka rekaman pembicaraan itu di depan ibunya, Ye Qun bukannya terperanjat atau pucat pasi. Melainkan menasihati sang anak dengan suara datar bercampur geram. Lin Liguo terpesona. Nasihat panjang itu diakhiri dengan ucapan Ye Qun, "Ini semua kita lakukan demi masa depanmu, Macan." Luruhlah hati Lin Liguo mendengar ibunya menggunakan panggilan kesayangan itu. Apalagi, nasihat panjang itu membukakan tabir gelap yang selama ini melindungi 1001 soal di belakang percaturan politik dan perebutan kekuasaan di Beijing. Lin Liguo tahu kesehatan ayahnya memburuk. Hanya, ia tak sadar bahwa hal itu sekaligus berarti makin sempitnya kesempatan menggantikan Mao Zhedong. Ia tahu, ayahnya bersengketa dengan Mao, tapi ia tidak mengerti bahwa berselisih dengan singa tua itu berarti harus menang atau ditumpas. Ia juga tahu bahwa Huang Yongsheng, Wu Faxian, dan sejumlah pejabat inti militer merupakan kaki tangan setia ayahnya. Ia segera sadar betapa gawatnya keadaan. Api kebenciannya terhadap Ketua Mao mulai menyala. Pikirannya kini terpusat pada usaha membunuh orang tua itu. Karena itu, begitu meraih jabatan wakil kepala Departemen Operasi AU, ia membangun kekuatan. Ia minta izin Wu Faxian mendirikan sebuah unit independen untuk kepentingan "riset dan penyidikan". Izin diberikan - dan unit inilah janin Grup Lin Liguo, yang terdiri dari prajurit pilihan, berani, terampil, dan bereputasi. * * * Di Markas Besar AU RRC ada sebuah berkas dengan cap "sangat rahasia". Dokumen Operasi No. 7051909 itu tersimpan dalam laci logam tahan api. Tak ada yang tahu isinya kecuali KSAU. Berkas itu memuat detail kegiatan gelap Lin Liguo, putra Menteri Pertahanan. Pada akhir 1940-an, ketika pertama kali bertemu dengan Lin Biao, Wu Faxian adalah komandan pasukan berkekuatan 50.000-60.000 prajurit, bagian dari Tentara Ke-4 yang berkekuatan sejuta orang. Setelah RRC berdiri Wu menerima pangkat letnan jenderal, dengan tugas membantu kepala staf Tentara Ke-4 yang dipimpin Lin Biao. Dengan jabatan komisaris politik ia membantu Liu Yalou, yang kemudian menjadi KSAU pertama. Di tengah Revolusi Kebudayaan Liu Yalou sakit keras. Lin Biao memilih Wu Faxian sebagai pengganti. Ia kemudian juga anggota Politbiro dan orang ketiga dalam jajaran hirarki TPR. Malahan masih dipercayai memegang jabatan lain: deputi KSAB dan orang kedua dari grup Administrasi Komisi Militer. Untuk semua kedudukan itu, ia mafhum, ia harus berterima kasih kepada Lin Biao. Tetapi Wu prihatin melihat ambisi Ye Qun mengorbitkan Lin Liguo. Jabatan wakil kepala Departemen Operasi bukan main-main. Bila ada hal tidak beres di departemen itu, dia jugalah yang bakal terkena getah. Wu menemukan dirinya dalam posisi serba salah. Maka, dalam upaya mengurangi beban, ia mencoba berbagai risiko. Dua bawahan yang pernah berutang budi kepadanya, Zhou Yuchi dan Yu Xinye, di tugasi mengamati Lin muda, dalam kedudukan resmi sebagai pembantunya. Penempatan kedua orang ini ternyata sukses: dalam waktu singkat Zhou Yuchi menjadi kepercayaan utama Lin Liguo. Suatu hari Zhou Yuchi minta kesempatan bertemu dengan Wu Faxian untuk soal yang "sangat penting". Pertemuan itu hendaknya diatur di padang perburuan yang dijaga sekitarnya, dan yang pembicaraannya tidak mungkin disadap. Pulang dari padang perburuan, Wu memang tidak menjinjing seekor pun hewan buruan. Melainkan sebuah laporan yang sangat menggentarkan: Lin Liguo bersiap-siap menggulingkan dan membunuh Ketua Mao! Secara lengkap komplotan itu diberi nama sandi "Proyek 571". Nama ini di ambil dari kata Wu Zhuan qi yi, yang berarti "pemberontakan bersenjata" dan kata itu bisa disingkat menjadi wu qi yi, atau "571". Zhou Yuchi ditugasi menjadi pembuat rencana dalam komplotan itu. Lin Liguo juga mengatakan, semua ini gagasan ayahnya. Wu Faxian percaya, karena dalam sebuah pertemuan ia sendiri mendengar Lin Biao ingin putranya berperanan dalam menguasai Cina di masa depan. Pertentangan Mao-Lin terbuka dalam Sidang Pleno II PKC di Lushan, Agustus 1970. Sidang itu diselenggarakan sebagai persiapan Kongres Rakyat Nasional IV, dan dikenal sebagai sidang perencanaan dan penataan kembali kekuasaan serta konsolidasi hasil Revolusi Kebudayaan. Dalam acara itu, sebagaimana biasa, Lin Biao memimpin para pengikutnya memanjatkan pujipujian ke alamat Mao. Ketika itu jabatan kepala negara sedang kosong, sebagai akibat diganyangnya Liu Saoqi. Mao pernah menyatakan, jabatan itu akan dipegangnya sendiri. Karena itu Lin Biao tak memerlukan berpikir panjang untuk sebuah usul yang dipandangnya bermanfaat. Dalam pidatonya di depan sidang, Lin memuji Mao sebagai "jenis terbesar dalam sejarah manusia, dan satu-satunya personifikasi kesatuan partai dengan pemerintah". Maka, kata Lin, "Satu-satunya pilihan tepat untuk jabatan kepala negara adalah Ketua Mao Zhedong." Tidak dinyana, Mao berpendapat lain. Mengejutkan seluruh hadirin, Mao menyebut bahwa semua orang yang memujinya sebagai jenius adalah "orang-orang lancung dan pengkhianat". Atas perintah Mao pula, Chen Boda, teoretikus besar, dan Li Xuefeng, tokoh militer, diusir dari sidang - dan langsung ditahan. Mao kemudian memerintahkan Huang Yongsheng, Wu Faxian, Li Zuopeng, Qiu Huizuo, dan beberapa tokoh lain membuat otokritik. Semua korban diketahui pendukung setia Lin Biao. Meski telunjuk tidak langsung diarahkan, semua menjadi jelas: Mao membuka jurus membabat sayap Lin Biao di dalam Partai. Para sahabat dekat Mao sesungguhnya heran menyimak langkah ini. Selama ini kultus individu merupakan bagian senjata magis Mao. Sekarang tampaknya Mao menghantam pangkal ide kultus itu. Mekanisme apalagi yang bakal dipakai sang Ketua mempertahankan posisinya dan kesatuan Partai? Di pihak Lin Biao, kegelisahan segera merayap. Terutama bagi Wu Faxian, yang telah menerima laporan tentang rencana kudeta Lin Liguo. Ia tak mampu menjawab sejumlah soal. Apa sebetulnya dasar pertentangan Mao-Lin? Mengapa Lin mempercayai anaknya melaksanakan langkah yang sangat ekstrem itu? Mengapa ia, orang ketiga dalam klik Lin Biao, tidak diajak bermufakat? Setelah merenung bersaat-saat, ia memutuskan memendam rahasia itu. Wu bukannya tidak berpikir untuk memperagakan kesetiaannya kepada Mao dengan membuka komplotan Lin Biao. Mungkin saja tindakan itu akan membuka jalan bagi kursi kepala staf. Bahkan, siapa tahu, ia bisa menggantikan Lin Biao. Tapi semuanya serba tak pasti. Bukan mustahil ia sendiri dilibatkan - dan ikut disikat. Ia menimbang-nimbang orang-orang di sekitar Mao. Yang pertama tentu Nyonya Mao, Jiang Qing. Lalu si ular kobra Zhang Chunqiau, Kang Sheng, Wang Dongxing, dan . . . Zhou Enlai. Mereka semula sulit ditaksir, dan sangat berbahaya. Mereka sudah terbukti mampu menghancurkan karier siapa saja yang tidak mereka sukai. Ketika Wu teringat nasib Liu Saoqi, yang melorot dari jabatan kepala negara menjadi orang paling hina, bulu kuduknya bergidik. Apalagi, Wu percaya, namanya sudah lengket dengan Lin Biao. Ia mulai melihat kekuasaan Lin yang nyata dan ampuh, berbeda dengan kekuasaan Mao yang mitologis dan simbolis. Ia juga tidak lupa, tanpa Lin Biao ia tidak berarti. Jika kup Lin Biao berhasil, tentu ia kebagian kursi empuk. Jadi lebih baiklah memihak Lin Biao. Dan pada akhir musim panas 1971 ia dipanggil majikannya itu. Setelah basa-basi, mendadak Lin bertanya, "Menurut engkau apa yang bakal dilakukan Ketua terhadap saya?" Wu tidak menduga pertanyaan seperti itu bakal muncul. Ia tak kuasa menjawab . "Ketua sedang memilih kembali penggantinya," desis Lin Biao. "Apakah Kawan Lin yakin berita itu benar?" tanya Wu tergagap. "Ketua telah mengisyaratkan," sahut Lin. "Ia memperhitungkan aku akan lebih dulu mati dari dia. Kalaupun tidak, aku hanya bisa hidup 10-15 tahun lagi. Ketua mungkin mencari seseorang yang lebih muda, berusia 40-50 tahun." "Ketua sendiri yang mengatakan ini?" tanya Wu, setengah panik. "Kalau ia sendiri sudah berkata demikian, tak ada gunanya lagi kita berbicara sekarang," jawab Lin. "Kita harus mendahuluinya." Ketika Wu masih ingin bertanya, Lin Biao menjawab tandas, "Panji-panji Mao Zhedong tidak seharusnya kita turunkan - melainkan kekuasaannya. Kita harus bersegera, dan menguasai keadaan. Kita harus mengakhiri periode yang ingar bingar ini, yang dinamakan Revolusi Kebudayaan." Sementara itu, muncullah tanda-tanda lain yang mendorong gagasan Lin Biao menjadi kenyataan. Jiang Qing, yang pada Revolusi Kebudayaan bahu-membahu dengan Lin Biao di bawah panji "tiga dalam satu" (partai, angkatan bersenjata, massa), kini merintis tiga tahap upaya menyingkirkan sang marsekal. Pertama dengan menyerahkan kepada Mao segala bahan yang bisa menyudutkan Lin Biao. Kedua, membuat "kasus Lin" senantiasa menggoda sang Ketua. Dan terakhir mengajak semua pihak anti-Lin bergabung dalam satu gerakan. Mao sendiri mulai "mengusik" Lin. Acap kali perwira senior dari daerah langsung dipanggil, tanpa melalui hirarki yang berlaku di Departemen Pertahanan. Dalam pertemuan dengan para perwira itu berkali-kali Mao dengan sengaja menyebut Lin sebagai "Si Wakil Marsekal", bukan lagi "Kawan Lin Biao" seperti biasa. Kesempatan pertemuan dan makan malam bersama Ketua Mao makin terbatas. Mao berdalih "mengurangi jam kerja demi kesehatan dan menggunakan lebih banyak waktu dengan buku-buku". Tapi Lin tahu yang sebenarnya. Mao tetap aktif seperti sediakala, tetap sering berjumpa, dan bertukar informasi, dengan rekan sepaham. Untuk waktu yang cukup lama, hubungan antara Mao Zhedong dan Lin Biao dilihat sebagai pengejawantahan bulan madu antara PKC dan angkatan bersenjata Cina. Pertemuan pertama mereka mungkin terjadi pada 1928, ketika kedua orang itu bergabung dengan kekuatan komunis di Jinggangshan. Lin, ketika itu 23 tahun, menjabat komandan Resimen Ke-28 Korps Buruh dan Tani Ke-4, sebuah unit di bawah pimpinan Mao. Setelah berhasil memimpin Long March yang historis dan legendaris itu, Lin Biao menjadi wakil panglima TPR. Dalam kehidupan intern partai, meski tak selalu sependapat dengan Mao, Lin selalu dalam kelompok sang Ketua dan dikenal sebagai pengikut setia. Pada Perang Cina-Jepang 1937 Mao menempatkan Lin sebagai komandan Divisi Ke-115 Tentara Rute Ke-8 Baru. Lin memperagakan serangan brilyan dan terkenal terhadap pasukan Jepang di Pingxingguan, mengalahkan tentara yang sebelumnya terus merebut kemenangan di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hagaki Seihero. Setelah itu Lin beberapa tahun tinggal di Soviet. Pulang ke Cina, 1942, ia makin menggebu mendukung Mao. Pada 1945, setelah Jepang menyerah, Mao menugasi Lin memimpin partai dan tentara di Manchuria. Dengan mencatat kekalahan tak berarti, pada 1947 Lin berhasil menempatkan seluruh kawasan itu di bawah kontrol PKC. Dari sana ia bergerak ke selatan. Berangkat dari pasukannya yang berjumlah 100 ribu orang ketika di Manchuria, Lin kemudian memimpin sejuta prajurit. Setelah RRC berdiri ia memang membiarkan dirinya di bawah permukaan, antara lain dengan alasan kesehatan. Tapi ia tetap memegang beberapa kedudukan politik. Bila perlu, ia juga turun menangani kesulitan militer. Peluang emas terbuka pada 1959. Ketika itu Mao menyerang Peng Dehuai, menteri pertahanan. Lin segera menggantikan kedudukan Peng dan menggusur sejumlah tokoh penting angkatan bersenjata. Pada awal Revolusi Kebudayaan, 1966, basis kekuatan Lin betul-betul luas. Periode ini memberi kesempatan sekali lagi kepadanya menggunakan keahlian yang sangat ia kuasai: menggenggam dan menggunakan kekuatan tentara. Di tengah api dan darah Revolusi Kebudayaan, Mao sadar bahwa gebrakannya sudah kelewatan. Para pemimpin Revolusi Kebudayaan yang secara pribadi ia tunjuk, terutama Jiang Qing dan Zhang Chung, tak lagi mampu mengalahkan lawanlawannya secara meyakinkan. Untuk pertama kali sejak 1949 Mao menyadari, kontrolnya terhadap bangsa dan negara dalam keadaan bahaya. Pada saat itu pulalah Zhou Enlai melaporkan keadaan ekonomi yang berada di bibir jurang kehancuran. Pada akhir 1967, Mao tidak punya pilihan lain kecuali mengutus pasukan pengawal istana "8341" yang terpercaya, di bawah pimpinan Wang Dongxing, menertibkan keadaan ke sekolah-sekolah dan pabrik-pabrik. Nah, langkah inilah yang ditunggu Lin. Ia, atas nama Mao, melakukan hal yang sama ke seluruh kawasan rawan. Para pendukung Revolusi Kebudayaan segera merasakan bahwa militer bukan lagi "partner" dan pelindung seperti pada saat "revolusi" dimulai. Massa Revolusi Kebudayaan, yang pernah perkasa itu, kini tak lebih dari kelompok tanpa kekuatan dan identitas, bagai jemaah kehilangan imam. Mao sangat berterima kasih kepada Lin untuk jasa penertiban itu. Yang kurang diketahui sang Ketua ialah ini: kontrol militer sekarang sepenuhnya berada di tangan Lin. Kecuali Shanghai, seluruh provimii berada di bawah kekuasaan militer. Pada Kongres ke-9 PKC, April 1969, Lin Biao secara resmi dinyatakan sebagai bakal pengganti Mao Zhedong. Ia, baik dalam nama maupun kenyataan, sejak itu dipandang sebagai orang kedua yang berkuasa di Cina. Di antara lebih dari 150 kursi pemimpin komite partai, lebih dari seratus diduduki para komandan militer. Sisanya sebagian besar diberikan kepada para purnawirawan yang semuanya pernah menjadi bawahan Lin. Bahkan beberapa menteri dalam Kabinet Zhou Enlai berada di bawah pengaruh Lin. Dalam tubuh angkatan bersenjata, kekuasaan Lin hampir mutlak. Toh lama-kelamaan Mao mencium kekuasaan yang terlalu besar ini. Isyaratnya tampak di sidang pleno Lushan. Lin terkesima. Mao telah menantangnya bertanding, dan tampaknya tak ada lagi alasan untuk berdiam diri atau menerirna kekalahan. Dalam sistem dan jaringan kekuasaan yang berlaku di negeri Cina, Lin yakin hanya ada satu jalan mengalahkan Kepala Negara: kudeta. Orang pertama yang mengetahui gagasan ini adalah Ye Qun. Mula-mula perempuan itu hampir histeris, dan meminta suaminya sudi mempertimbangkan segala sesuatunya sekali lagi. Lin dengan berang membentak, "Lin Biao ini akan terus jadi Lin Biao atau tidak?" Ye Qun akhirnya tak bisa melerai. Ia bahkan mulai menyusun 200 nama yang diperkirakan mendukung rencana kudeta. Lin pada dasarnya menyetujui nama yang diusulkan. Tapi kemudian menolak. Terlalu banyak nama akan menimbulkan komplikasi. Ia lalu menyimak rencana mutasi, membayangkan posisi-posisi penting untuk para komandan segagasan. Belakangan, kemungkinan ini juga disingkirkannya. Pergantian personil bisa mempengaruhi jadwal gerakan, bahkan mungkin pula menimbulkan kecurigaan. Tindakan paling tepat ialah menjelaskan rencana itu kepada orang-orang terpercaya. Setelah memperhitungkan segala kemungkinan, pilihan jatuh kepada empat orang: Huang Yongsheng, Wu Faxian, Li Zuopeng, dan Qiu Huizuo. Huang Yongsheng bertemu dengan Lin Biao sejak awal kariernya di TPR. Dalam Long March, Huang komandan resimen dalam pasukan Lin. Ia kemudian komandan brigade dalam Divisi Ke-115 yang dipimpin Lin Biao dalam Perang Anti-Jepang, komandan Pasukan Ke-8 dalam Tentara Ke-4 Baru, dan wakil komandan Korps Ke-12 - semuanya di bawah pimpinan Lin Biao. Setelah RRC berdiri, Huang menjadi komandan Daerah Militer Guangzhou dan sekretaris PKC wilayah Selatan. Ia menjabat kepala staf angkatan bersenjata sewaktu Revolusi Kebudayaan, dan sejak Kongres ke-9 PKC anggota tetap Politbiro. Kekuasaan KSAB sangat menentukan dalam struktur militer Cina: semua keputusan daerah militer untuk menggerakkan pasukan harus seizin dia. Sebaliknya instruksi KSAB mutlak harus dilaksanakan daerah militer. Status resmi Li Zuopeng adalah komisaris politik di angkatan laut Cina. Tapi, dalam kenyataan, dialah yang melaksanakan tugas sehari-hari panglima angkatan laut. Panglimanya sendiri, yang kebetulan pengikut setia Lin Biao juga, menduduki jabatan rangkap wakil menteri pertahanan. Li membantu Lin menyusun rencana strategi dan taktik sejak periode Tentara Ke-4 Baru. Ia sering dipuji. Kemampuannya menyusun skema militer diakui sama menonjolnya dengan kelihaiannya di bidang politik. Angkatan laut yang dipimpin Li meliputi Armada Utara, Timur, dan Selatan, dengan kekuatan sekitar 670.000 prajurit plus pasukan elite korps marinir dan lima divisi udara. Adapun Qiu Huizuo pernah menjadi komandan dalam tubuh TPR, tapi kemudian lebih banyak berkarier dalam pekerjaan politik di kalangan militer. Setelah menjabat komisaris politik Tentara Ke-4 Baru dan wakil direktur departemen politik di kesatuan yang sama, ia dengan pangkat letnan jenderal menjadi kepala departemen logistik. Huang, Wu, Li, dan Qiu - "empat saudara besi Lin Biao" - sebenarnya juga sasaran Pengawal Merah pada gejolak Revolusi Kebudayaan, tapi Lin Biao berhasil menyelamatkan mereka. Pada 13 Mei 1967, keempat orang itu - bersama Lin Biao dan Ye Qun - mengikat persekutuan rahasia dan janji saling setia. Tiap tahun mereka berkumpul - pada tanggal yang sama - untuk memperbarui ikrar ini. Meski mengetahui kesetiaan keempat orang itu, Lin Biao tidak kehilangan kewaspadaan. Ia memanggil mereka satu demi satu. Yang pertama Huang. Setelah itu Wu - untuk memberitahu bahwa Huang sudah setuju. Demikian seterusnya kepada Li dan Qiu. Bila, misalnya, di antara keempat orang itu ada yang tidak setuju, Lin segera akan bertindak. Yang menolak itu akan diculik, kemudian dibunuh, dengan keterangan "meninggal karena penyakit". Lin Biao memiliki dua tenaga ahli yang lihai menciptakan kematian karena penyakit jantung atau ayan. Ketika Huang menerima penjelasan, ia tampak ketakutan - sampai menangis. Ia merangkul Lin Biao, dan keduanya saling menenangkan. Wu Faxian agak bingung, tapi tetap tenang. Li Zuopeng mengaku sudah lama punya gagasan seperti itu, tapi ragu menyarankannya kepada Lin. Qiu Huizuo tenang dan tegar. Pendeknya, Lin Biao puas melihat reaksi keempat sekutunya. Pada pertemuan pertama antara mereka berempat, Lin Biao mengulangi betapa pentingnya persiapan mental. Ia mengingatkan sekali lagi betapa pendendamnya Mao Zhedong. Bila, misalnya, rencana mereka terbongkar, tak seorang pun di antara mereka bisa lolos. Ia mengingatkan mereka pada kasus Liu Saoqi, Peng Dehuai, dan lain-lain. Semua bisa dihancurkan Mao. Maka, bila terjadi kegagalan, tiap anggota komplotan harus bunuh diri dengan cara masing-masing. Selesai. * * * Kudeta dirancang sendiri oleh Lin Biao. Kesulitan pertama: tak seorang pun ternyata bisa mengusulkan cara terbaik membunuh Mao. Ketika akhirnya Lin mengemukakan rencananya sendiri, Ye Qun, Huang Yongsheng, Wu Faxian, Li Zuopeng, dan Qiu Huizuo langsung setuju. Soal terpenting: Bagaimana membunuh Mao seraya menciptakan dukungan yang luas bagi Lin. Sebuah operasi berkekuatan kecil tak mungkin menjamin tumbuhnya dukungan. Sedangkan gerakan besar sulit lolos dari perhatian Mao. Dengan perhitungan ini, Lin sampai pada kesimpulan: niat itu sebaiknya dilakukan di tengah berkecamuknya perang Cina-Soviet. Soalnya sekarang: Bagaimana menciptakan perang itu? Dari pengalaman insiden perbatasan Pulau Damansky, 1969, Lin Biao telah meyakini kesiagaan perangkat perangnya. Dan kesiagaan semacam itu bukan tidak mungkin diulangi: Cina sedang menghadapi ancaman serangan Soviet. Untuk lebih memantapkan suasana, ia bisa juga membuat serangan palsu ke suatu daerah terpencil, misalnya dengan menggerakkan satuan artileri... maka pecahlah perang itu. Ada pula cara lain, meski membutuhkan penanganan lebih rumit dan riskan. Yaitu membuka kontak rahasia dengan Soviet. Kremlin diajak bekerja sama menciptakan "perang buatan" sambil ditawari semacam imbalan. Maka di panggillah Huang Yongsheng untuk mendiskusikan rencana lebih matang. Pertemuan berlangsung di vila Lin Biao, berkarpet Rp 200 juta, kado Komisi Militer Departemen Pertahanan ketika Lin genap sepuluh tahun menyandang pangkat marsekal. "Bila Brezhnev menanggapi," tutur Lin, "Soviet akan menembakkan kanonnya ke perbatasan Cina Utara. Pasukan infanteri mereka siap menunggu terbukanya jalan bagi kendaraan lapis baja. Cina benar-benar, tampaknya, diserang dalam keadaan tidak siap." Kalau skenario itu disetujui Kremlin, angkatan udara Soviet akan mengirim pesawat MiG-nya dan pesawat-pesawat pembom taktis menuju instalasi militer Cina. Kapal selamnya akan muncul di perairan Lushun dan Dalian, lalu meluncurkan rudal ke pelabuhan dan sasaran lain. Apa yang selama ini ditakutkan Mao bakal terjadi: Soviet menelikung Cina. Mao tak mungkin menyerah. Tapi ke mana lagi ia meminta pendapat, kalau bukan kepada Lin Biao, si panglima-tak-terkalahkan? Diaj untuk sementara, akan menyingkirkan perbedaan pendapat dengan Lin. Dan Lin akan melaporkan, bagian timur laut sangat gawat oleh serbuan besar ke daerah militer Beijing. Lin Biao akan menganjurkan supaya Mao berlindung ke Gunung Menara Giok (GMG), instalasi rahasia yang dipersiapkan untuk perlindungan para pemimpin Cina dalam keadaan darurat, di barat Beijing. Mao-dan Zhou Enlai, seperti pada Perang Saudara 1940-an, akan mendiskusikan strategi dari tenda komandonya, dan menunggu kemenangan. Kecil sekali kemungkinan mereka mengetahui bahwa kemenangan itu tidak akan tiba. Mereka sedang menunggu maut. Jalan keluar dari instalasi bawah tanah itu akan dikunci orang-orang Lin Biao. Sebelum Mao sadar apa yang terjadi, bom gas akan menamatkan riwayatnya. Jasadnya akan menjadi abu. Inilah skema "GMG". Dari keempat sahabatnya, Lin Biao hanya menerima pertanyaan Huang Yongsheng, yang ingin meyakinkan diri tentang faktor keamanan bila rencana itu gagal. Pada saat itulah Lin menyatakan kesimpulan yang belum pernah terdengar sebelumnya. "Tragedi Cina sekarang berkisar pada ambisi Mao untuk menjadi pemimpin gerakan komunis internasional," kata Lin. "Sikap ini jelas ditentang sebagian terbesar negeri komunis. TPR sekarang dihadapkan pada negeri-negeri sosialis lain. Kekuatan militer Cina secara tidak resmi menjadi kekuatan NATO. Keadaan begini perlu segera mendapat pengarahan baru." * * * Orang yang disiapkan melakukan kontak dengan Rusia adalah Wu Zonghan, insinyur yang pernah diutus ke Uni Soviet, Cekoslovakia, dan Jerman Timur dalam rangka pembangunan persenjataan Cina. Ketika berada di Rusia, dulu, Wu Zonghan jatuh cinta kepada seorang gadis sana. Dan tepat pada saat maraknya api asmara, Mao Zhedong dan Krushchev patah arang. Wu ditarik pulang pada 1959 - setelah menyatakan kesediaan menjadi mata-mata Soviet. Suatu ketika Wu menerima surat dari sang pacar. Ayah si gadis, pejabat tinggi dinas rahasia Soviet, berjanji mengatur penerimaan Wu kembali di Rusia - lepas dari tugas mata-mata - agar bisa berkumpul dengan kekasih. Wu ketika itu sedang memimpin delegasi riset teknik RRC ke negara-negara Barat. Dalam kedudukan demikian tidaklah sulit baginya menyelinap ke kedutaan besar Soviet di negeri yang sedang dikunjungi. Tapi, ternyata sampai akhir perjalanan ia tidak sampai pada keputusan membelot. Bahkan akhirnya ia memutuskan menolak tawaran itu. Kembali ke tanah air, ia menulis surat pengakuan tentang kegiatannya sebagai spion Soviet. Lalu komisi tetap Dewan Pertahanan Nasional RRC bersidang membahas surat Wu. Pada akhir pemeriksaan, dicapai keputusan untuk menggunakan Wu sebagai spion RRC. Sejak itu informasi yang dikirim Wu ke Soviet merupakan racikan dinas rahasia Cina. Dalam kehidupan gandanya, sebagai teknokrat pemerintah dan mata-mata, Wu sulit mengharapkan promosi. Tapi ia menerima kenyataan ini dengan sabar, hingga kemudian ia tidak lagi dibebani tugas mata-mata. Lebih dari itu kepadanya dibuktikan bahwa seluruh berkas kasusnya pada masa lalu telah dimusnahkan. Lalu ketika kemudian Lin Biao membutuhkan orang yang tepat untuk membuka kontak dengan Soviet, nah, nama Wu Zonghan muncul ke permukaan. Peran Wu sengaja tidak diberitahukan kepada Departemen Keamanan Umum. Meski salah seorang pemimpin departemen ini, Li Zhen, termasuk orang Lin Biao, sang Marsekal belum menaruh kepercayaan penuh. Tapi suatu ketika orang-orang Lin Zhen berhasil membuntuti Wu Zonghan. Dan betapa terkejutnya mereka ketika terbukti Wu berhubungan langsung dengan Departemen Pertahanan. Li bingung setelah mengetahui bahwa urusan ini di luar pengetahuan Mao Zhedong. Li Zhen sendiri saat itu sedang sibuk menangani negosiasi rahasia antara RRC dan Amerika Serikat. Henry Kissinger telah melakukan pertemuan diam-diam dengan Zhou Enlai, sebuah langkah awal rencana kunjungan presiden AS ke Cina. Di tengah suasana ini kontak dengan Soviet bisa menjadi bahaya besar. Namun, akhirnya Li Zhen memutuskan untuk melindungi Lin Biao. Ia tak pernah melupakan jasa marsekal ini dalam mengatrol kariernya. Langkah Li berikutnya adalah melikuidasikan lima bawahannya yang berhubungan dengan pengungkapan kasus itu. Pada September 1971 ia menahan mereka satu per satu dengan tuduhan kriminal. Jumlah orang yang ditahan akhirnya mencapai lebih dari seribu. Tapi, ternyata, satu di antara lima anggota kontraspionase yang ditahan itu sempat menulis surat yang membeberkan latar belakang penahanannya. Surat ini jatuh ke tangan Yu Sang, sisa korban Revolusi Kebudayaan yang dapat diselamatkan Zhou Enlai. Yu, bekas wakil menteri keamanan umum dan asisten Li Zhen, meneruskannya kepada Xie Fuzhi, menteri keamanan umum. Melalui jalur ini surat itu sampai ke tangan Zhou. * * * Zhou Enlai, perdana menteri RRC "seumur hidup" itu, memang bukan tokoh sembarangan. Ia terkenal sebagai negarawan sopan dan ramah, kosmopolitan, tapi juga politikus yang licin. Kemampuan dan martabat administratifnya memenangkan dukungan luas para pemimpin Cina. Kharisma dan keluguannya merebut hati rakyat. Ketampanan dan keluwesannya memesonakan. Sebuah pemeo pernah beredar di RRC, "Mao tanpa Zhou ibarat panglima tanpa akal." Zhou menduduki posisi penting dalam PKC jauh sebelum sukses Mao selama periode Long March. Adalah Zhou yang mengorganisasikan berbagai pemogokan buruh di Shanghai pada 1920-an. Ia memimpin Pemberontakan 1927, dan mewakili PKC dalam sejumlah negosiasi menentukan dengan Kuomintang. Dia juga sekutu terpenting Mao dalam menyusun strategi perang melawan kaum naslonalis. BARANGKALI, yang tidak banyak diketahui orang adalah kemampuannya memimpin gerakan bawah tanah. Ia ahli merekrut anggota ilegal partai, mengorganisasikan rapat gelap, spionase, penculikan, bahkan pembunuhan. Dalam Perang Dunia II, ketika PKC berkoalisi dengan Kuomintang melawan Jepang, Zhou membuktikan keahlian spionasenya. Setelah menjabat perdana menteri, ia selalu selamat dari pergolakan intern PKC. Kemampuannya mendampingi Mao, tanpa pernah retak, adalah berkat intuisinya yang selalu tepat meraba langkah sang Ketua. Ia selalu mengelak untuk menjadi tokoh nomor dua. Zhou membiarkan dirinya menjadi tokoh nomor tiga, bahkan kalau perlu nomor empat pun jadi. Hubungan antara Zhou Enlai dan Lin Biao juga tidak bisa dibilang jauh. Mereka sama-sama senior, baik dalam umur maupun pengalaman. Tatkala Zhou instruktur paling atas di Akademi Militer-Whampoa, Lin salah seorang kadetnya. Ketika Zhou memimpin Pemberontakan Nanchang, 1927, Lin salah seorang komandan peleton. Seperti banyak tokoh lain Zhou sendiri kagum akan karier militer Lin. Tapi pada dasarnya ia tidak pernah sepenuhnya mempercayai marsekal itu. Sebagai orang yang kenyang makan garam kegiatan ilegal di kalangan militer, Zhou melihat pemupukan sektarisme dalam kendali militer merupakan upaya menggenggam kekuasaan politik. Pada permukaannya, serangan Mao terhadap Lin Biao di Sidang Pleno Lushan seolah-olah tanpa provokasi. Tapi Zhou Enlai tahu keadaan yang sesungguhnya. Pada November 1970 Mao menerima laporan kesehatan Lin yang disusun gabungan dokter rumah sakit militer. Laporan itu menyebut keadaan Lin sama kuat dengan orang yang 25 tahun lebih muda. Ia diperkirakan bisa mencapai usia 90 sampai 117 tahun. Mao curiga pada laporan ini. Apalagi inisiatif laporan datang dari Qiu Huizuo, kepala Departemen Logistik. Apa maksud laporan itu? Karena itu Mao meminta Zhou membentuk tim dokter dari Departemen Kesehatan untuk memeriksa kondisi tubuh seluruh pemimpin tingkat atas. Dengan demikian tidak kentara bahwa sasaran sesungguhnya adalah Lin Biao. Hasil tim ini luar biasa. Lin ternyata mengidap pelbagai penyakit. Misalnya arteriosclerosis, ginjal, pankreas meradang dengan efek terhadap urinary tract, sistem endokrin yang terhalang dan tak sepenuhnya berfungsi, kapasitas mental yang merosot, dan hanya dengan bekerja tiga jam sehari ia bisa mempertahankan kondisinya yang sekarang. Oleh suatu penyakit pada tulangnya, Lin mungkin bisa lumpuh sebagian. Perbedaan mencolok antara kedua laporan itu memperkuat kecurigaan Mao. Sementara itu, Lin Biao cs mulai gelisah menunggu tanggapan Soviet - yang tak kunjung datang. Mungkinkah KGB, yang selalu menaruh kecurigaan itu, menginginkan sistem kontak yang lebih autentik? Ataukah terjadi pergeseran channel di sana sehingga kontak belum mencapai Brezhnev? Melalui sejumlah diskusi, Lin cs memutuskan menghentikan kontak itu. Dan, suatu hari, Zhou Enlai dibangunkan dari tidur siangnya oleh Yang Dezhong, sekretarisnya sejak lama. Yang Dezhong bukan tidak mengerti kebiasaan Zhou. PM itu selalu memerlukan tidur siang, sebab setiap tengah malam sampai pukul 5 subuh ia menyelesaikan berbagai urusan. Tapi berita yang satu ini tak bisa ditunda: Wu Zonghan dan dua intel yang terlibat kontak dengan Soviet diketahui berada dalam helikopter yang meledak, 290 km sebelah barat Beijing. Zhou mengirim informasi ini kepada Mao yang sedang dalam perjalanan inspeksi di Hangzhou. Dokumen itu meliputi foto rahasia, copy bahan tertulis, transkripsi rekaman pembicaraan telepon dalam kasus kontak dengan Soviet, ditutup dengan kesimpulan Zhou. Pertama, mungkin staf AB dan semua yang terlibat dalam kontak dengan Soviet telah mengetahui kegiatan mereka terbongkar. Kedua, situasi itu mungkin mendorong komplotan Lin mengambil langkah berbahaya. Maka Zhou menyarankan Mao menyelesaikan inspeksi dan pulang ke Beijing, dengan keputusan kongkret menghadapi komplotan Lin. Demikian kesimpulan Lin. Mao menerima saran itu. * * * Tersebutlah Lin Yamei, gadis cantik 18 tahun, pacar paling serius Lin Liguo. Parasnya konon bak bidadari, tubuhnya lentur dan memesonakan. Lin ketemu Lin pertama kali di pantai Badaguan, Qingdao, musim panas 1970. Sepanjang pantai itu berdiri vila yang dibangun orang-oran Jerman dan Jepang sebelum Perang Dunia II. Sebagian besarnya kosong, atau ditunggui beberapa penjaga. Vila Lin Biao merupakan kekecualian - sengaja dipelihara, terutama untuk melayani kesenangan Lin Liguo. Suatu ironi: adalah Lin Yamei yang diperalat Wang Dongxing, kepala bagian umum Komite Sentral PKC, mematamatai keluarga Lin Biao. Rencana kudeta diketahui Lin Yamei pertama kali bukan dari keluarga kekasihnya, melainkan dari Cheng Hongzhen, sekretaris komite Partai di MBAU, seorang perjaka kampung yang jarang berteman dengan gadis cantik. "Suatu hari bukannya tak mungkin aku menjadi menteri," katanya di depan Lin Yamei, melancarkan rayuan gombal. Tanpa disadarinya, Cheng mengoceh tentang rencana kudeta Lin Biao, yang ia sendiri ikut terlibat. Melihat banyak rahasia bisa dikorek dari Cheng, Lin Yamei meneruskan sandiwaranya, bahkan menyatakan sudi menikah dengan pemuda itu. Tetapi puncaknya adalah ketika Wang menerima laporan via telegram, dengan sandi yang belum pernah dipakai. Ada kalimat yang sangat membingungkan dalam laporan itu. Yaitu "Rancangan Gunung Menara Giok". * * * Langkah pertama Lin Liguo, setelah insiden sidang pleno Lushan, ialah menggabung "Grup Kecil"-nya di Beijing dengan Grup Shanghai. Kesatuan gabungan yang bersumber dari AU ini dibagi ke dalam tiga unit. Satu di pimpin Lin bersama Zhou Yuchi sebagai komando tertinggi. Satu dipimpin Wang Fei, wakil KSAU, menangani soal liaison dengan unit militer lain. Dan yang ketiga dipimpin Jing Tengjiaou, wakil komisaris politik di AU, bertugas menyiapkan perencanaan. "Armada Gabungan" ini melibatkan sekitar 375 nama. Lin Liguo berhasil menarik sejumlah jenderal dengan sepotong kata bertuah: "Kudeta melawan Ketua Mao ini perintah langsung ayah saya." Maret 1971 Lin Liguo bertemu dengan inti "Armada Gabungan" di Shanghai. Ia mengatakan, ayahnya ingin proses dipercepat. Setelah berunding dua hari, mereka melahirkan "Proyek 571", dengan tiga tahap kegiatan: persiapan, pelaksanaan, dan follow up. Lin menerima info, Mao bakal melakukan perjalanan ke Selatan pada musim panas. Kini musim semi hampir selesai, maka segala sesuatu harus dipercepat. Mulailah diselidiki metode dan kebiasaan yang dilakukan Mao dalam perjalanan. Untuk itu seorang yang lima tahun sebelumnya pernah bertanggung jawab mengatur perjalanan sang Ketua sempat dibunuh, setelah dua hari dikuras pengetahuannya. Lalu disiapkan dua kemungkinan: menuruti jadwal perjalanan atau tidak. Juli 1971 sekali lagi Lin Liguo mengadakan pertemuan inti, dengan hadirin lebih lengkap. Liu Shi Ying, wakil direktur komite Partai di MBAU, memberikan catatan lebih akurat. Mao memang merencanakan perjalanan ke Selatan, sekitar medio Agustus, disertai Wang Dongxing. Inspeksi itu meliputi Shanghai, Hangzhou, Nanjing, Changsha, dan Wuhan, dengan kemungkinan singgah di Nanchang dan Ghuangzhou. Ketua mungkin menggunakan kereta api, sedangkan pesawat khusus AU disiapkan mengangkut para penyambutnya. Jian Tenjiao, bekas komisaris politik daerah militer Nanjing, mengusulkan, "Tempat paling ideal menyerang Mao adalah Shanghai atau Hangzhou, dan waktu paling ideal adalah sekarang, dalam perjalanan ini." Rapat semalam suntuk itu melahirkan tiga keputusan. Jika Mao menggunakan kereta api, serangan dilakukan pada rute Nanjing-Shanghai-Hangzhou. Kemudian sebuah brigade kejutan akan bergerak untuk memastikan terbunuhnya Mao. Kemungkinan kedua ialah pembunuhan di luar kereta api. Dan kemungkinan ketiga, bila Mao memilih pesawat udara, akan dilakukan oleh Korps Operasi AU dengan menembakkan peluru kendali. Rencana kedua kemudian dihapus karena kemungkinannya kecil sekali. Rencana ketiga, sebaliknya, sangat diharapkan, mengingat segala sesuatu yang menyangkut angkutan udara betul-betul dikuasai "Armada Gabungan" dan "Proyek 571". Tetapi, menilik kebiasaan Mao, kecil sekali kemungkinan ia memilih pesawat terbang. Jadi hanya ada pilihan tunggal: menyerang kereta api Mao. Ketika Mao Zedong akhirnya berangkat dari Beijing ke Wuhan, 15 Agustus 1971, para komandan dan komisaris politik Tentara Ke-5 berada di posnya dalam keadaan siaga dan tegang. Dari seluruh berita yang dimonitor, Mao tak terbaca pada rencana penerbangan. Ini berarti bahwa "Rencana I" akan dilaksanakan. Mereka yang bertugas di jalur kereta api Nanjing-Shanghai-Hangzhou mendadak sibuk. Kesatuan yang bertugas menggasak kereta api Mao ialah Pasukan Rudal Shanghai, yang berkekuatan resimen, dan memiliki dua pangkalan, tiga unit masing-masing dengan 65 peluncur - dengan komando sistem otomatis yang menjamin ketepatan penembakan hampir 100%. Formasi kereta api Mao terdiri dari enam gerbong dengan lokomotif diesel terbaik. Dua gerbong di tengah digunakan Mao sendiri dengan fasilitas mewah, kedap suara, antipeluru, bahkan antiradiasi. Kedua gerbong itu dilengkapi sistem sekuriti dan keadaan darurat prima. Kontak ke seluruh daerah militer bisa dilakukan langsung dari kereta api itu. Dua gerbong terdepan berisi pasukan elite yang berjumlah ratusan, dengan senjata dan perlengkapan terbaik. Gerbong terakhir berisi staf dan pengawal pribadi. Pimpinan "Armada Gabungan" menyimpulkan, seluruh formasi itu akan dihantam dengan rudal. Kemudian sisa yang masih hidup akan ditumpas habis. Dengan persiapan sangat matang, dimulailah operasi. Pos-pos pengintai dan penerima laporan disiagakan. Latihan-latihan digalakkan. Persediaan senjata diperiksa, mulai senapan mesin, penyembur api, sampai roket anti-tank. Begitu pula peralatan komunikasi. Tampaknya operasi tak akan gagal. Pada 4 September, pukul 5.15, sebuah kereta api meluncur dari Shanghai ke Hangzhou, melintasi jembatan sasaran. Kepala dan buntutnya lok diesel, dengan enam gerbong yang indah di antaranya. Kereta api Mao telah lewat. Menurut rencana, kereta itu akan digasak di sebuah jembatan antara Hangzhou dan Shanghai. Kalau kereta itu berangkat melewati rute ini, kemungkinan besar demikian pula pada saat kembalinya. Semua unit kini di pusatkan pada usaha menghancurkan kereta api itu ketika pulang. Lin Liguo sendiri berada di pos komando, 6,5 km dari jembatan sasaran. Larut malam 7 September, mendadak Lin dipanggil ayahnya ke Vila Beidaihe. Pagi 8 September, laporan dari Hangzhou mengatakan, mungkin sekali Mao segera balik ke Shanghai. Unit penyerang disiagakan penuh. Pada 9 September datang pesan dari Shanghai. Semua pimpinan teras di perintahkan siap menjemput Mao di Shanghai. Ini berarti kereta api Mao sedang menuju Shanghai. Dan benar, kereta itu melaju mendekati jembatan sasaran, membuat mata semua anggota unit penembak tak berkedip. Yu Xinye, yang tidak tahan menunggu perintah menembak dari pos komando, tiba-tiba berteriak histeris "Tembak! Kalian gila, tembak!" Sementara itu kereta melaju melewati jembatan. Tak sepatah perintah pun datang dari pos komando... Baru setelah itu terdengar suara Lin Liguo, memerintahkan penundaan semua kegiatan. Tak ada yang mengerti apa yang sedang terjadi. Yu menafsirkan, mungkin pelaksanaan ditunda, menunggu Mao akan pulang ke Beijing. Tetapi peristiwa yang sama terulang ketika kereta api membawa Mao melewati posisi sasaran. Kali ini bukan di jembatan, melainkan pada KM 185. Perintah menembak tak kunjung terdengar. Yu Xinye berteriak lagi di telepon, "Mana perintah menembak? Kalau tidak, ini berarti bunuh diri." Posko menjawab, "Siap untuk penundaan." Yu mengamuk, "Ini gila! Ini kejahatan! Bunuh diri!" Kereta api Mao meluncur mulus, selamat sentosa. * * * TERNYATA, pada saat-saat paling kritis itu, nasib baik masih memayungi Mao. Dan dewa penyelamatnya justru Lin Biao! Pada 9 September itu, ketika kereta Mao melewati jembatan sasaran, Lin Liguo sedang dimarahi ayah-ibunya di Vila Beidaihe. "Kau ternyata seorang pemberani," sindir Lin tua. "Tapi kau tidak boleh berilusi mengenai orang yang satu ini. Serigala licik ini tak pernah bebas dari pikiran jahat dan muslihat. Kita harus menghantamnya dengan resepnya sendiri. Aku tak akan berpikir, misalnya, menghancurkan kereta api dengan rudal." Lin Liguo terperanjat. "Bagaimana Ayah tahu rencana kami?" Tapi ia segera melihat, di atas meja terdapat sejumlah foto mengenai kegiatan kelompoknya, lengkap disertai laporan, daftar, dan keterangan. Ibunya menyela, seraya menangis, "Macan, Anakku, tidakkah tampak olehmu betapa bahayanya langkah itu? Mengapa kau tak meminta pendapat ayahmu? Ini bukan main-main. Salah sedikit kita semua kehilangan kepala." Lin Biao menukas, "Cepat hentikan semua kegiatan di Shanghai." Lin Liguo meradang, "Ayah tidak tahu cerita seluruhnya. Kami telah melatih seluruh proses, berikut hubungan antarunit dalam ukuran presisi." Lin Biao menyergah, "Bagaimana kalau intelmu tidak akurat? Kau betul-betul yakin Ketua Mao ada dalam kereta itu? Jika kau serang kereta itu, dan ternyata dia tidak di sana, bukankah hal itu seperti memukul rumput untuk membangunkan ular yang sedang tidur? Kalau sudah begitu, tak ada lagi tempat untuk mundur bagi kita." * * * Sehari setelah kereta api Mao melewati sasaran dengan selamat, Yu Xinye baru menyadari alasan urungnya serangan. Ternyata bukan karena soal teknis, seperti dugaannya semula, melainkan karena orang di atas: Lin Biao! Dan ini membuktikan bahwa nama Lin Biao, yang digunakan Lin Liguo sejak awal, ternyata bohong. Tapi Yu tak pernah menanyakan hal itu, sementara Lin Liguo tak pernah mengungkapkan kebohongan serta problem yang ia hadapi. Sekarang Lin Liguo harus menggabungkan komplotannya pada kekuatan yang sedang dibangun ayahnya. Sebuah komplotan lebih besar terdiri dari hampir segenap pimpinan teras militer. Garis besar rencana Lin Biao: sekitar akhir September Mao tentu mengakhiri perjalanannya, dan diperhitungkan tidak melakukan perjalanan lagi sampai setelah perayaan hari nasional 1 Oktober. Dalam tenggang waktu itulah - sebagai ancar-ancar tanggal 25 - konflik bersenjata Sino-Soviet yang direncanakan itu pecah. Dalam lima hari konflik akan berlipat 5-10 kali lebih besar, baik menyangkut pasukan yang terlibat maupun luas garis pertempurannya. Situasi makin kritis. Perayaan besar hari jadi RRC yang biasanya diadakan di Lapangan Tienanmen dengan dihadiri sekitar 65.000 orang akan ditiadakan. Peniadaan acara ini secara psikologis akan membuat rakyat Cina lebih mudah menerima peristiwa besar berikutnya. Dalam dua minggu perang akan meluas, setidaknya sampai ke Manchuria dan banyak wilayah utara Cina. Mao Zedong tentu akan duduk bersama Lin Biao untuk merembukkan strategi ofensif balik. Dengan dalih kemungkinan besar Soviet akan melancarkan serangan udara di seluruh Cina Utara, akan diusulkan penempatan tiga divisi pasukan tempur (yang setia kepada Lin Biao) di perbukitan barat untuk mempertahankan Beijing. Mao beserta para penasihat pentingnya akan dianjurkan menempati pusat Komando CC di bawah tanah, di "Gunung Menara Giok", dan Lin Biao sendiri menempati instalasi I. Gunung Menara Giok dan instalasi I adalah dua di antara empat tempat perlindungan di bawah tanah yang dibangun Cina pada tahun 1959, ketika hubungan Soviet-Cina mulai memburuk. Mao memperhitungkan kemungkinan pecahnya perang nuklir, maka berjuta-juta pekerja dikerahkan beberapa tahun untuk menyiapkan tempat-tempat perlindungan itu. "Gunung Menara Giok" dipersiapkan sebagai pusat pengendalian administrasi dan partai, sedang Instalasi I untuk pusat komando militer. Keduanya berhubungan melalui satu pintu lewat sebuah terowongan. Dari pintu inilah nantinya pasukan khusus - yang penyiapannya dibebankan kepada Lin Liguo dari materi Armada Gabungan - akan menyerbu "Gunung Menara Giok", dan menghabisi seluruh isinya: Mao beserta seluruhnya yang ada. Adapun pelucutan Pengawal "8341" menjadi tugas divisi yang sudah disiapkan sebelumnya. Dalam soal ini Lin Liguo mengusulkan, bila Pengawal "8341" sudah dinetralisasikan dan "Gunung Menara Giok" telah dikepung, sebaiknya lebih dulu digunakan gas racun yang disemprotkan ke dalam. Dengan begitu pertempuran yang tak perlu bisa dihindari, dan pembantaian bisa lebih mulus dan terjamin sukses. Lin Biao serta-merta menyetujui usul ini. Begitu serangan terhadap "Gunung Menara Giok" terlaksana, pasukan taktis harus segera menduduki seluruh instansi penting di Beijing dan memutuskan komunikasi kecuali yang digunakan Posko. Sisa Pengawal "8341" dan Garnisun Beijing dengan begitu tak mungkin minta pertolongan dari luar Beijing. Menjawab pertanyaan Lin Liguo tentang bagaimana kalau terjadi hal-hal tak terduga, Lin Biao menyebut empat alternatif. Tapi tampaknya semua alternatif itu tidak dibicarakan secara mendalam. Seluruh teras komplotan yakin akan keberhasilan rencana utama. Tak seorang pun berpikir tentang alternatif lain. * * * Lin Liheng, anak perempuan Lin Biao, pada waktu itu berpacaran serius dengan Yang Dingkun, seorang perwira rendah di Rumah Sakit Militer. Berkenaan dengan status Lin Liheng sebagai anak Lin Biao, Departemen Organisasi Partai turun tangan untuk meneliti riwayat dan kegiatan Yang. Dari penelitian itu diketahui, Yang ternyata anak angkat Yang Jida, seorang perwira di tingkat divisi lokal sebuah Daerah Militer, anak seorang perwira tentara Kuomintang, seorang tuan tanah besar lagi kaya, yang menguasai sebuah daerah sebagai kepala kepolisian dan pemerintahan. Sebuah tipe kedudukan yang paling menjadi sasaran perjuangan Partai Komunis Cina untuk diganyang. Kenyataan tentang latar belakang Yang Dingkun itu, yang dapat ditutupi baik olehnya maupun oleh ayah angkatnya, merupakan tindak kriminal cukup serius. Kesalahan itu semakin besar oleh kenyataan berikutnya: Yang Dingkun memacari dan akan mengawini anak Lin Biao, wakil ketua Partai. Yang sebenarnya bukan saja bisa dihukum, bahkan hukuman mati mengancamnya. Yang, yang mencintai Lin sepenuh hati, akhirnya menerima tawaran Departemen Organisasi Partai untuk mengabdi sepenuhnya pada kepentingan dan tugas Partai, kalau tidak mau diajukan ke pengadilan. Dan tugas itu, antara lain, ialah memata-matai keluarga Lin Biao sendiri. Dan sumber utama untuk itu tak lain bakal istrinya sendiri. Saling cinta antara keduanya begitu mendalam, akhirnya Yang juga tidak sendirian menanggung beban tugas Partai itu. Lin kemudian dengan sukarela mengungkapkan segala sesuatu yang diketahuinya tentang keluarganya: bahwa Lin Liguo sedang menyiapkan rencana kudeta, bahwa ibunya ingin membunuh Mao, semuanya diceritakan, kecuali tentang ayahnya. Lin Liheng memang dikenal lebih mencintai ayahnya. Ketika kereta api Mao sampai di Tian Jin dari Shanghai, setelah dua kali lolos dari serangan Lin Liguo yang urung, Mao menerima laporan: kegiatan rahasia Lin Biao, seperti diduga semula, ternyata benar. Pengakuan Lin Liheng memperkuat pembuktian. Zhou juga mengabarkan bahwa Lin Biao hari-hari ini akan kembali ke Beijing dari Beidaihe, dan telah mengadakan pertemuan rahasia dengan para pendukungnya. Zhou tak lupa mendesuskan, Mao akan pulang lusa. Jadi, kalau Mao tiba di Beijing keesokan harinya, keadaan cukup aman. Sementara itu sebelum berangkat ke Beijing, Lin Biao menelepon Zhou Enlai, menanyakan kapan lao datang dan minta diatur supaya bisa menyambut Ketua. Meski Zhou menjawab "Itu tak perlu, lebih baik tuntaskan istirahat untuk memulihkan kesehatan," Lin menelepon lagi dengan menyatakan bahwa ia teap akan ke Beijing. Ini disengaja Lin untuk menanamkan kesan bahwa kedatangannya ke Beijing semata-mata untuk menyambut Ketua Mao. Begitu sampai di rumahnya di Beijing, Lin Biao langsung mengadakan pertemuan dengan teras komplotan, mengatur jadwal latihan dan pengenalan kawasan instalasi I dan "Gunung Menara Giok" - terutama untuk grup Lin Liguo yang kelak bertugas menyerbu. Pertemuan selanjutnya memutuskan secara terperinci perhitungan waktu yang harus dilakukan dalam latihan dengan disiplin ketat antara 13-25 September. Hari berikutnya, 12 September, Lin Biao memutuskan untuk mengunjungi Mao. Kunjungan ini perlu dilakukan supaya rasa hormatnya kepada Ketua Mao dilihat semua orang. Bersama istrinya dan pengawal pribadinya ia berangkat ke kediaman Mao di Zhong Nanhai, sambil membawa oleh-oleh, kerang dari Beidaihe. Yang terjadi kemudian sangat memukul perasaan dan pertimbangan Lin Biao. Dia diterima oleh Wang Dongxing, yang mengatakan Ketua sedang tidur, dan tak akan bangun sebelum 4-5 jam lagi. Setelah tegur sapa tentang kesehatan Mao dan kesehatan Lin sendiri, Wang menyampaikan undangan makan malam dari Mao, yang akan diadakan di "Gunung Menara Giok", karena di sanalah Ketua akan tinggal sampai perayaan 1 Oktober nanti. Wang menyatakan, pada jamuan itu akan hadir Zhou dan Jiang Qing, juga Je Qau. Huang Yongsheng, yang pertama menelepon Lin Biao sekembali dari kediaman Mao, menanyakan bagaimana sikap Mao sekarang. Dengan geram Lin menyatakan bahwa dia tidak diterima secara pribadi oleh Mao. Lin segera memanggil semua teras komplotannya untuk merundingkan langkah yang harus diambil sesuai dengan perkembangan terakhir. Semua dianalisa dalam pertemuan itu: mengapa Zhou merahasiakan kedatangan Mao. Mengapa, kalau Mao benar akan tidur 4-5 jam, Wang Dongxin harus menunggu di sana. Apa yang dikerjakan selama itu, sedangkan tempat tinggalnya tidak jauh dari kediaman Mao. Mengapa Komite Sentral Partai menggunakan kode rahasia dalam berhubungan dengan Mao. Mengapa Mao justru akan tinggal di "Gunung Menara Giok". Apa yang akan terjadi di balik undangan makan bersama? Banyak sekali pertanyaan yang harus mereka pecahkan. Makin dalam mereka menganalisa, makin jelas mereka rasakan bahwa Mao sedang merencanakan sesuatu. Terhadap siapa? Dari keseluruhan proses, tak bisa lain tentu terhadap Lin Biao. Terhadap mereka! Apa yang harus mereka perbuat sekarang? Rencana kudeta mereka rancang baru pecah sekitar 25 September. Betapa pun, Mao tak boleh bertindak lebih dulu. Lin Liguo bersitegang untuk bertindak sekarang juga, sedangkan Huang Yongsheng dan Wu Faxian masih dalam ketenangan seorang jenderal sejati dan panglima berpengalaman. Yang perlu diputuskan ialah: perlu atau tidak Lin Biao mendatangi undangan makan itu. Lin Biao bisa menggunakan dalih kesehatannya, alasan yang paling masuk akal dalam kondisi sebenarnya. Tapi Lin Biao menolak gagasan itu. Semua orang harus tahu bahwa Lin Biao sehat segar bugar. Kembali Lin Liguo mendesak untuk menyerang. Langsung dijawab oleh Huang Yongsheng, bila Mao sudah berencana, ia tentu telah siap bertempur. Sangat sulit menghantam "Gunung Menara Giok" dengan kapasitas pengawalan yang telah siap menghadapi penyerbuan. Lin Biao bergumam sedih. Dengan menggelengkan kepalanya ia mengatakan, Lin Liguo belum pernah menghadapi pertempuran bersama semua yang hadir dalam posisi yang mereka capai sekarang. Semua yang hadir mesti menyadari bahwa melakukan pertempuran tanpa persiapan itu bunuh diri. Sekali lagi Lin Biao mengulangi doktrinnya, "Jangan pernah memulai perang tanpa jaminan kemenangan." Akhirnya diputuskan, Lin Biao mendatangi undangan Mao, setelah pembagian tugas ditentukan secara njlimet untuk berjaga-jaga bila keadaan buruk menimpa Lin dan istrinya. Pos komando diadakan. Komunikasi diintensifkan, pasukan juga di persiapkan. Lin Liguo melengkapi ibunya dengan arloji yang bisa mengirim alarem dengan radio bila urat nadinya berhenti berdetak. Dengan arloji itu bisa juga dikirim tanda bahaya, ditambah sinyal yang berbunyi tiap lima menit, tanda tidak ada sesuatu yang membahayakan. Sekitar pukul 20.10, 12 September 1971, Lin Biao dan istrinya sampai di tempat Mao. Pengawal bersenjata yang berjajar menyambut tamu di pelataran meneriakkan aba-aba sesuai dengan upacara resmi untuk memberi hormat kepada Lin Biao, marsekal waki ketua, menteri pertahanan, dan bakal pengganti Mao definitif. * * * Untuk jamuan makan malam Mao itu, Lin Biao tidak terlalu susah menyiapkan oleh-oleh terbaik. Wu Faxian dengan pesawat militer mengangkut sejumlah udang dan ikan hidup, dan mengerahkan orang memetik ginseng liar yang masih segar. Tidak lupa Lin Biao juga membawa surat dari penduduk Beidaihe, berisi ucapan selamat panjang umur serta pernyataan setia kepada Ketua. Mao menunggu tamu-tamunya di taman bunga di depan kamar kerjanya. Dengan senyum simpul Ketua menyalami Lin Biao dan Ye Qun, sambil bercanda bahwa Lin Biao tampak sepuluh tahun lebih muda. Sementara itu Lin Liguo, dari stasiunnya di Markas Besar Resimen AU di Beijing, telah menerima sinyal pertama tanda keselamatan ibunya. Menurut cerita beberapa saksi mata yang bisa dikumpulkan dari para pengawal, jamuan makan malam itu berlangsung sangat meriah dan hangat. Mao memulai percakapan tentang umur panjang. Menu terdiri dari makanan langka, yang untuk mendapatkan bahannya diperlukan pengerahan pemburu ke berbagai pelosok Cina dengan menggunakan pesawat. Makan dimulai dengan membuka anggur dari dinasti Ming, dari botol porselen 482 tahun yang lalu. Usai makan Mao mengundang tamu-tamunya pindah ke ruangan lain untuk menyantap buah-buahan segar dari Cina Selatan. Ye Qun tak lama kemudian dengan halus menyarankan supaya Ketua istirahat karena mestinya masih lelah oleh perjalanan panjang. Lin Biao setuju. Tapi Mao masih menahan mereka bercakap-cakap sekitar setengah jam lagi. Zhou, Kang Sheng, dan Jiang Qing pamitan lebih dulu. Lin Biao dan Ye Qun masih tinggal sekira 20 menit lagi. Menjelang pukul 22.45 mereka baru pulang dengan diantar Mao dan Wang Dongxing sampai ke mobilnya. Pukul 23.00 sebuah ledakan terdengar. Mao - bergumam, "Kalau seseoran menyatakan salah siapa, terjadilah peristiwa ini. Aku sama sekali tak peduli." Dan ketika Zhou kembali dari inspeksi untuk memastikan kematian Lin Biao dan Ye Qun, ia berkata kepada Mao, "Ini pertama kali terjadi sejak kita bersemayam di ibu kota. Kita harus bisa menyuguhkan penjelasan yang tepat, dan jangan sampai Lin Biao kemudian tampil sebagai pahlawan." Mao: "Aku percaya Kawan Zhou dapat mengatasinya." * * * Setelah membenahi segala sesuatu yang menjadi tugasnya, Lin Liguo memusatkan perhatian pada sinyal-sinyal dari arloji ibunya. Sistem itu ternyata sempurna. Ketika tiba-tiba transmisi sinyal tidak menyala, Lin Liguo belum menyadari bahwa berhentinya sinyal bukan saja berarti pemakai arloji telah mati, tapi arloji itu sendiri ikut hancur oleh ledakan sebuah roket. Tak lama kemudian datang laporan dari unit pengintai di sekitar "Gunung Menara Giok" bahwa terdengar sebuah ledakan cukup kuat tanpa letusan senjata lainnya. Lin Liguo sampai pada kesimpulan: orangtuanya menjadi korban penyergapan. Laporan itu segera diteruskan kepada Huang Yongsheng disertai desakan untuk membuka serangan sekarang juga. Jawaban Huang, "Sangat bahaya memulai usaha kudeta dengan asumsi yang tidak akurat. Dan harus diingat keselamatan Lin Biao dan Ye Qun sendiri." Kecewa oleh jawaban ini, Lin Liguo menelepon rumah untuk lebih memastikan apa yang terjadi. Tapi jawaban petugas yang ditempatkan di sana sangat mencurigakan. Tentu telah terjadi sesuatu. Firasat buruk mulai menambah perasaan Lin Liguo. Teras kelompok "Armada Gabungan" mendesak untuk bertindak saat itu juga. Mereka menyarankan supaya Huang Yongsheng mengambil inisiatif dengan dalih menyelamatkan Ketua Mao dan Wakil Linyang diculik kelompok kontrarevolusi - untuk menggerakkan pasukan - dan memulai pelaksanaan rencana sekarang juga. Tapi untuk langkah itu pun tampaknya mereka telah terlambat. Mereka melihat kendaraan-kendaraan militer berdatangan dari segala penjuru mengangkut pasukan dan peralatan tempur, dan jelas semua gerakan itu bukan gerakan mereka. Seperti anak ayam kehilangan induknya, mereka mulai gentayangan dalam berpikir dan bertindak. Ada yang berkelompok, berusaha lari dengan helikopter - yang akhirnya jatuh karena pilotnya melawan dan terjadi perkelahian. Menyadari tak ada yang bisa menyelamatkan nasib mereka lagi, satu-satunya usaha ialah melarikan diri ke luar negeri dan mencari suaka. Lin Liguo telah mempersiapkan sebuah pesawat Trident buatan Inggris, dan pada saat yang kritis itu tak ada pikiran lain kecuali menuju lapangan terbang dan lari dengan Trident-nya. Pesawat itu berawak tujuh orang. Salah seorang perwira komunikasinya seorang wanita setengah umur. Sedangkan para lelakinya dua orang pilot, seorang navigator, seorang mekanik, dan dua pembantu. * * * Apa yang dilakukan Zhou Enlai dalam menangani sisa klik Lin Biao dalam waktu sebelas jam kemudian sekali lagi membuktikan kematangan pengalaman serta kecerdikannya. Ketika Huang tiba di "Gunung Menara Giok" atas panggilan Zhou untuk diskusi "dari hati ke hati", Zhou mengatakan bahwa Lin Biao telah mengakui kegiatan gelapnya, dan setuju untuk membatalkan. Lin siap menerima perintah dan bersedia untuk diperiksa. Sekarang, diminta tanggapan Huang. Apa yang harus dibilang? Kalau Lin Biao sudah menyerah, tak ada yan lebih baik kecuali mengikuti langkahnya. Huang dikawal untuk kembali ke Kompleks Perbukitan Barat, dan sejak itu berstatus tahanan rumah, setelah melaksanakan perintah Zhou untuk menelepon Wu Faxian, Lizuopeng, dan Qiu Huizuo untuk mengatakan bahwa dia sudah mengaku. Kepada masing-masing Zhou ikut nimbrung dalam telepon, berpesan secara lugas dan langsung ke sasaran, mengharapkan juga pengakuan mereka. Mengingatkan bahwa setelah Lin Biao dan Huang Yongsheng sudah menyerah, maka tak ada alternatif lain kecuali mengakui kesalahan dan bersedia bekerja sama. Taktik Zhou berhasil. Tak seorang pun dari sisa klik Lin Biao yang berusaha bunuh diri dan sebagainya. Yang mereka usahakan dalam saat-saat terakhir adalah pembasmian bukti-bukti kegiatan komplotan, dan berusaha saling melempar tanggung jawab, atau berlomba berbuat sesuatu untuk menghilangkan buktibu kti keterlibatan. Zhou melihat kondisi ini dengan tenang, dan menggunakannya dengan cerdik. Tentang berhasilnya Lin Liguo lari dengan pesawat, misalnya, Zhou meminta pendapat Wu Faxian. Wu menjawab, "Sebaiknya ditembak saja." PM setuju, dan segera memerintahkan pelaksanaan. Tidak tanggung-tanggung: dua kali tembakan, masing-masing tiga rudal. Pesawat jet itu jatuh di daratan Republik Rakyat Mongolia, sebelah timur Ulan Bator beberapa ratus kilometer dari perbatasan. Dokumen yang dikirimkan kedutaan RRC ke kementerian luar negeri yang berisi laporan jatuhnya pesawat itu, antara lain menyebutkan umur para korban: termuda sekitar 25 tahun, tertua sekitar 40 tahun. Jadi, kalau semua cerita ini disimpulkan, Lin Biao tidak mati di antara korban pesawat yang jatuh di Mongolia itu. Kematian Lin Biao tak lain karena tembakan roket, dan terjadi tidak jauh dari instalasi rahasia dekat Beijing. Barangkali sisa cerita yang masih perlu diungkapkan adalah bagaimana prosesnya sampai Mao membuat keputusan membunuh Lin Biao, orang yang pernah ia tentukan sebagai penggantinya itu, di kawasan yang sama seperti Lin Biao juga merencanakan membunuh Mao. Sejak berangkat pulang dari inspeksi daerah Selatan, Mao sudah mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya tentang gerakan klik Lin Biao untuk menggulingkan kekuasaannya. Bahkan rencana "Gunung Menara Giok"-nya Lin Biao pun sudah diketahui. Tidak terbayangkan bahwa dalam situasi cukup kritis itu, sepanjang Nanjing sampai Provinsi Henan, Mao malah tidur pulas. Setelah bangun, Mao memanggil Wang dan Ji Zechun, perwira teras Pengawal "8341", untuk merundingkan strategi mematahkan Lin Biao. Wang menganjurkan untuk menahan Lin Biao lebih dulu, lalu dengan diam-diam secepatnya dibunuh. Wang sudah membuat rencana persiapannya. Mao menggelengkan kepalanya, tanpa mengatakan sesuatu, sambil merokok tak putus-putusnya. Ketika ada yang mengemukakan bahwa repotnya justru Lin Biao orang yang dipilih Mao untuk menjadi penggantinya, Mao dengan geram berkata, "Ya - penggantiku! Kalau aku bisa mengangkatnya, kenapa aku tak bisa menenggelamkan dia? Jika aku bisa menekannya, siapa yang akan mencegahku untuk membunuhnya? Jika rakyat mau mengutukku, biarlah. Itu sama sekali tak mengubah persoalan! Untuk menjinakkan seorang jenderal perkasa, jalan apa yang terbaik kita lakukan?" tanya Mao. "Jalan yang terbaik ialah menebas kepalanya jatuh ke tanah secepat kejapan mata," jawabnya sendiri. Ketika ditanya berapa kekuatan harus disiapkan untuk membunuh Lin Biao, Mao ganti bertanya. Wang menyebut jumlah 1.600 orang, dua batalyon untuk mengepung areal, dan satu batalyon untuk mendobrak dan menyergap. Mao tersenyum. Yang dibutuhkan hanya seratus orang, dan itu pun berikut dirinya sendiri. Dalam seluruh perencanaan kontrakup, Wang Dongxing pada umumnya tak banyak berbeda pendapat dengan Mao kecuali satu hal, yaitu tempat pelaksanaannya. Mao memilih "Gunung Menara Giok" - justru tempat yang juga dipilih Lin Biao untuk melancarkan kudetanya. Wang tidak suka ide ini. Ia takut tempat itu bisa juga menjadi perangkap terhadap Mao, seperti rencana Lin yang sudah diketahui. Lagi pula undangan ke "Gunung Menara Giok" bisa juga membangkitkan kecurigaan di pihak Lin. Wang berusaha keras mengubah niat Mao supaya mencari lokasi yang lain, tapi tak berhasil. Dalam menganalisa sikap Mao ini, Zhou dalam memoarnya cenderung menunjuk pada refleksi sifat pribadi Mao yang feodalistis dan suka takhyul. Ini bisa dilihat misalnya pada kebiasaan tidurnya. Tak peduli di mana ia tidur, tempat tidurnya harus membujur arah timur-barat. Ia sering mengatakan namanya mengandung kata dong- "Timur", sebab itu bila ia tidur, kepalanya harus di ujung timur. Hubungannya dengan wanita juga sangat dipengaruhi oleh tetek bengek takhyul. Ia berpendirian bahwa wanita muda mengandung kekuatan untuk memanjangkan umur. Kendati begitu, yang lebih penting adalah perhitungan dari hari lahirnya. Betapa pun cantiknya gadis itu, tapi kalau menurut perhitungan hari lahir ternyata jelek, ia sama sekali menolak untuk berhubungan dengan gadis itu dalam bentuk apa pun! Bagaimana keterangannya seorang penulis ulung tentang materialisme, yang tak jera-jeranya menganjurkan "cari kebenaran dari kenyataan" itu, bisa hidup dengan bertumpu dalam feodalisme dan idealisme sekaligus? Jawabnya hanya pada Mao sendiri - sebuah pribadi yang penuh warna, aneh, dan tak bisa ditebak. * * * Konsekuensi kegagalan kudeta tak bisa lain penumpasan sisa-sisa klik Lin Biao di seluruh tubuh militer, pemerintahan, dan Partai. Yang menuai panenan tak lain ialah klik Jiang Qing dengan "Gerombolan Empat"-nya. Mengingat kondisi kesehatan Mao pada waktu itu, Jiang Qing merasa sudah diambang pintu kekuasaan yang mutlak. Namun awal 1976, ketika Zhou Enlai meninggal karena kanker, 100.000 massa secara spontan membanjiri lapangan Tienanmen untuk melancarkan unjuk perasaan dengan dua tema slogan: PM Zhou orang yang baik, dan "Gerombolan Empat" jelek. Mao bisa memadamkan demonstrasi itu, tapi popularitasnya mulai memudar dengan drastis. Pada musim gugur 1976, akhirnya Mao pun meninggal. Atas pertolongan Wang Dongxing, seorang Hua Guofeng naik ke pentas kekuasaan. Karena Hua sendiri ingin membangun kekuatannya untuk menggenggam kekuasaan lebih mantap, dengan bergegas ia menahan tokoh-tokoh "Gerombolan Empat" dan meringkus para pengikutnya. Tapi hasil tindakannya tidak seperti yang diharapkan. Seorang tokoh yang ulet liat, Deng Xiaoping, yang dikenal sebagai anak didik Zhou Enlai dan pendekar pragmatis yang telah dua kali longsor dari posisinya, muncul kembali sebagai pemimpin baru. Hua dan Wang rontok dengan sendirinya. Mao Zhedong, sang pemimpin revolusi komunis Cina, selama empat puluh tahun berhasil mencapai kemampuan yang legendaris. Tak sekalipun, sebelum atau sesudah ia meninggal, dapat dikalahkan oleh lawan-lawan politiknya. Tidak juga oleh Lin Biao yang didukung oleh seluruh kekuatan militer. Hanya satu soal yang akhirnya tak sempat ditangani Mao setelah mengalahkan Lin Biao: menyiapkan penggantinya yang lain. Jalan yang di tempuh Cina kini bukanlah jalan yang direncanakan pemimpin besar itu. BOKS Para Tokoh dalam Kabut Kudeta Mao Zhedong sang Ketua, calon korban kudeta Lin Biao menteri pertahanan, calon pengganti Mao, otak kudeta Lin Liguo putra Lin Biao, otak kudeta lain yang menisbatkan diri pada usaha ayahnya Ye Qun istri Lin Biao, figur ketiga Huang Yongsheng KSAB, sekutu Lin Biao, pacar gelap Ye Qun Wu Faxian KSAU, sekutu Lin Biao Li Zuopeng Komisaris Politik AL, sekutu Lin Biao Qui Huizuo Kepala Logistik, sekutu Lin Biao Wu Zonghan agen rahasia, penghubung Lin Biao dengan Kremlin Wang Dongxin Kepala Sekuriti, orang Mao Lin Yamei agen rahasia yang cantik, pacar Lin Liguo yang diperintahkan menyelidiki keluarga Lin Biao Yu Sang wakil menteri pertahanan yang menyampaikan rencana kudeta kepada Zhou Enlai Zhou Enlai perdana menteri, sahabat Mao Lin Liheng putri Lin Biao, yang membukakan sebagian rahasia kudeta kepada Partai karena terikat pada pacar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus