Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Islam: motivator, selubung, kendala?

Editor: adeed dawisha cambridengan: the press syndicate of the university of cambridengane, 1983. resensi oleh : m. amien rais. (bk)

28 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISLAM IN FOREIGN POLICY Editor: Adeed Dawisha Penerbit: The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1983, 191 halaman HUBUNGAN antara Islam dan politik luar negeri atau peranan Islam di dalam politik luar negeri negara Iran, Arab Saudi, Libya, Pakistan, Mesir, Marokko, Irak, Indonesia, Nigeria, dan Uni Soviet dicoba dibahas lewat buku yang relatif tipis ini. Delapan negara pertama merupakan negara dengan mayoritas Muslim, sedangkan dua negara terakhir masing-masing mempunyai sekitar 50 juta penduduk Muslim. Politik luar negeri Soviet ikut dibahas dalam buku ini karena Islam makin sering dibawa-bawa dalam pidato para pemimpin Soviet. Terutama sekali setelah Revolusi Iran 1979. Dalam kata pengantarnya, Adeed Dawisha yang juga editor mengatakan bahwa sebagai proses, setiap politik luar negeri dipengaruhi oleh antara lain agama dan budaya masyarakat dibuat oleh kelompok tertentu yang sedang berkuasa, yang harus mempertimbangkan struktur konstitusional dan institusional serta sirkulasi elite penguasa dan nilai-nilai yang berlaku dan diimplementasikan di luar batas-batas nasional negara masing-masing. Dalam setiap tahap politik luar negeri, diperkirakan bahwa Islam mempunyai peranan penting. Tetapi seberapa jauhkah peranan Islam itu? Sebagai ideologi, bagaimanakah fungsi Islam dalam politik luar negeri sepuluh negara yang dibahas dalam buku ini? Tidak gampang tampaknya menjawab pertanyaan ini. Walaupun Islam tidak memisahkan agama dengan politik - dan pada umumnya diakui bahwa Islam merupakan suatu sistem sosial, politik, hukum, dan budaya yang lengkap - dalam prakteknya penerapan Islam itu sangat berlainan di berbagai negeri Muslim. Perbedaan-perbedaan itu tampak pada politik dalam dan luar negeri mereka. Sekalipun demikian, buku kecil ini dapat mengungkapkan beberapa kenyataan penting tentang hubungan Islam dan politik luar negeri. Pertama, ada negeri-negeri Muslim yang menjadikan Islam sebagai motivator bagi pelaksanaan politik luar negeri mereka, misalnya Iran, Libya, Pakistan, dan pada tahap tertentu Arab Saudi. Iran di bawah Khomeini jelas menjadikan Islam sebagai motivasi pokok politik luar negerinya. Berdasarkan Islam fundamentalis, Iran menentang sistem internasional kontemporer karena dianggap eksploitatif mengumandangkan universalisme Islam yang jauh lebih luas dari sekadar pan-Islam dan tersurat atau tersirat Iran juga mengharapkan pecahnya "revolusi Islam" di negeri-negeri Muslim. Dalam banyak hal, politik luar negeri Libya mirip dengan Iran, sehingga mudah dipahami mengapa Libya mendukung Iran dalam konflik Iran - Irak. Tetapi harus dicatat segera bahwa negara-negara yang mengambil Islam sebagai sumber motivasi tidak jarang pula menggunakan Islam untuk membuat rasionalisasi terhadap berbagai langkah politik luar negeri yang sesuai dengan kepentingan rezim dan kurang paralel dengan spirit perdamaian Islam itu sendiri. Kedua, ada kelompok negeri Muslim yang secara sadar dan sengaja menjauhkan Islam dari perbendaharaan politik luar negerinya. Contohnya Irak dan Marokko. Partai Ba'ath yang sedang berkuasa di Irak yakin bahwa sekularisme adalah jalan terbaik bagi Irak. Bahkan dalam Piagam Nasional Arab yang dikeluarkan pada 1980 oleh Saddam Husein tidak ada satu pun kata tentang Islam. Agak mirip dengan Irak adalah Marokko. Raja Hasan dari Marokko menganggap bahwa dalam realpolitik Islam tidak usah dibawa serta. Andai kata harus dibawa, Islam harus diminimalisasikan peranannya. Islam bukan parameter pokok untuk menganalisa dan tidak menjadi pedoman tingkah laku politik luar negeri. Saddam Husein mcnanap bahwa Irak pertama-tama adalah bagian dari dunia Arab kedua, bagian Dunia Ketiga dan ketiga, barulah bagian dunia Islam. Tidak aneh jika Irak lebih dekat ke India daripada ke Pakistan. Sementara itu, Raja Hasan menganggap dirinya sebagai Arab, Westerner, dan akhirnya Muslim. Islam lebih sering digunakan sebagai selubung daripada motivasi di Irak dan Marokko untuk menutupi kepentingan nasional serta pertimbangan-pertimbangan geopolitis dan geostrategis. Ketiga, negeri Muslim seperti Indonesia, yang pemerintahnya melihat Islam bukan sebagai motivator dan bukan sebagai selubung dalam politik luar negeri, tetapi lebih sebagai kendala (constraint). Berhubung politik luar negeri berangkat dari politik dalam negeri, kenyataan ini kiranya dapat menjelaskan tingkah laku politik luar negeri Indonesia di Timur Tengah dan dunia Islam pada khususnya. Seperti dikatakan Albert Hourani, dalam bab penutup, masalah Islam dalam politik luar negeri adalah elusif, alias sulit dipegang. Namun, tulisan para ahli dalam buku ini dapat menolong pembacanya memahami duduk perkara hubungan Islam dengan politik luar negeri berbagai negeri-negeri Muslim dan juga dengan politik luar negeri Soviet yang pada dasarnya antiagama. Buku ini lebih dari lumayan. M. Amien Rais

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus