KENDALEN abad ke-16 dan ke-17 merupakan sebuah kerajaan yang relatif besar, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para ahli sejarah tak pernah berhasil mengungkapkan apa yang terjadi pada awal abad ke-17, ketika Kendalen melepaskan kekuasaannya di Jawa Timur. Dari abad ke-17 ke atas, konon, Kendalen harus memecah diri menjadi empat bagian. Kabarnya, perpecahan ini erat kaitannya dengan kedatangan orang-orang Utara yang hitam legam tapi berhidung mancung. Dilihat dari kemampuannya, jelas orang-orang Utara ini secara kebudayaan, militer, dan teknologi lebih unggul. Orangorang yang suka berdagang ini memaksakan kekuasaan atas Kendalen. Tak berdaya, Kendalen harus berorientasi kepada mereka. Tapi sesungguhnya superioritas orang-orang ini tidak perlu terjadi andai kata Kendalen memiliki kekuatan untuk mengontrol dinamika politik internnya sendiri. Terkabarlah, pada awal abad ke-17 timbul suatu pemberontakan yang relatif serius - dan Paul Samoza, raja Kendalen, menawarkan suatu jabatan tertentu bagi siapa saja yang bisa memadamkannya. Seorang punggawa istana, Ackar Bhumi yang cakap, muncul sebagai kesatria. Kendalen kembali aman. Namun, ditunggu-tunggu, hadiah jabatan tidak pernah datang. Tampaknya, Samoza lebih cenderung mendengar usul patihnya untuk tidak menepati janji. Ackar Bhumi naik pitam: pemberontakan kembali meluas dalam skala yang tak terjangkau. Ackar Bhumi telah menggabungkan diri dengan pemberontak. Dalam situasi semacam itulah Samoza berpaling kepada orang-orang Utara. Orang-orang Utara oke saja, asal ada imbalan yang memadai. Dan sejak itu Kendalen terpecah menjadi tiga kutub kekuatan, dan kemudian - pada abad ke-18, setelah datang sejenis bangsa lain yang lebih jangkung - berubah menjadi empat kutub. Kendalen yang jaya dan utuh tak pernah kembali. Selama-lamanya. Tapi yang menarik bukanlah terpencarnya kutub-kutub kekuasaan itu. Melainkan proses pembentukan sosialnya. Segera setelah kutub-kutub kekuatan terpencar, timbul kelas menengah bangsawan dalam jumlah relatif besar. Sebab, keempat kutub itu punya raja sendiri-sendiri dan sekaligus memekarkan jumlah kerabat raja-raja ini. Keluarga raja, memakai terma orang Jawa, disebut raden disingkat RD. Karena kawasan Kendalen merupakan "pusat dunia", tentu saja gaya hidup Kendalen merupakan tolok ukur bagi masyarakat pinggiran. RD-RD inilah yang memegang peran besar, baik dalam memekarkan gaya urban agrarian (budaya kota kawasan pertanian) maupun sebagai mediator antara rakyat dan raja. Posisinya sebagai pusat pula yang telah menyebabkan Kendalen menjadi ajang pertarungan kebudayaan - baik yang berasal dari istana, dari luar, maupun dari dinamika kehidupan rakyat sendiri. Interaksi, asimilasi, dan asosiasi kultural yang berlangsung selama berabad-abad di Kendalen telah mengangkat daerah itu menjadi melting pot budaya. Dan ketika seluruh kawasan dunia telah dimodernkan, hampir bisa dikatakan bahwa Kendalen menjadi wilayah satu-satunya yang relatif siap menerima perubahan itu. Berdirinya universitas utama di daerah itu adalah indikator paling sah akan kesiapan Kendalen menerima modernisasi. Bahkan lahir pula kaum terdidik secara modcrn. Semakin lama jumlah doktor, disingkat DR, semakin besar. Konsekuensinya, bukan saja Kendalen tetap memimpin - dari segi kultural dan ilmu pengetahuan - tetapi juga mengimbangi peranan besarnya yang sebelumnya dipegang kelompok RD. Bahkan dalam realitasnya kelompok DR mengungguli kelompok RD. Tetapi, tampaknya, konsep RD tidak pernah luntur di masyarakat. Struktur fisik sosial memang telah ditransformasikan hampir menyeluruh. Tapi esensinya tetap tidak bergeming. Munculnya kelompok DR dalam jumlah yang relatif semakin besar tidak merombak struktur psikologis berbagai lapisan sosial Kendalen. Sebelumnya RD merupakan simbol kedigjayaan, kemajuan, dan elitisme yang relatif terpisah dengan rakyat, dan kini kelompok DR menikmati suasana yang sama. Kelompok DR muncul sebagai simbol kedigjayaan, keapikan, dan kenecisan sosial. Ia menjadi orientasi gaya hidup. Berbagai pertemuan yang diselenggarakan tidak sah jika kelompok DR tidak diminta bicara dan menganalisa, meski untungnya tidak memberikan pengarahan. Posisinya yang strategis telah menyebabkan setiap orang - persis seperti kawula bersikap terhadap RD pada masa lampau - mengimpikan status yang sama. Mereka berlomba-lomba merebut jalan menjadi DR. Untuk apa? Sekadar untuk diundang dalam seminar atau diminta menjadi pemrasaran, jawab mereka. Perubahan sosial tanpa menyentuh esensi ini telah melahirkan arus yang unik. Bukan saja simbol sosial baru itu hanya mengisi kerangka psikososial yang telah ada - dan dengan demikian, secara sederhana RD hanya dibalik menjadi DR. Tetapi juga kelompok baru itu, yang sebenarnya hampir sebagian besar berasal dari rakyat, gagal menjadi rakyat kembali. Ia telah menjadi RD-RD masa lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini