Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG Putih kini membayar mahal atas sebuah peringatan yang mereka abaikan empat tahun silam. Pada 2001, Badan Penanggulangan Darurat Federal (FEMA), melalui direkturnya, Joe Allbaugh, mengeluarkan kajian tentang tiga bencana paling mengerikan yang bisa mengancam Amerika sewaktu-waktu: serangan terorisme, gempa bumi San Francisco, dan badai yang bakal menggulung New Orleans!
Badai itu tiba dua pekan lalu, meluluhlantakkan semua yang dilindasnya. Katrina-nama badai itu-menderu dari Bahama pada 24 Agustus. Menggoyang Teluk Meksiko sebelum merencah Louisiana-mayoritas korban bergelimpangan di New Orleans-petaka ini meluluhlantakkan New Orleans dan sekitarnya pada 29 Agustus. Meski sudah begitu, Gedung Putih tak berani memotong liburan musim panas Presiden George Bush di resor wisata Pueblo El Mirage, Arizona.
Memasuki hari kedua bencana saat puluhan ribu warga tak lagi muat di Stadion Louisiana Superdome, Bush masih menambah satu malam lagi liburan di Crawford. Baru pada Rabu sore 31 Agustus-hampir 48 jam setelah katastrof-sang Presiden tampak batang hidungnya di New Orleans.
Kota ini, yang dibeli Presiden Thomas Jefferson dari Napoleon Bonaparte pada 1803 seharga US$ 15 juta-nilainya sekarang US$ 193 juta (sekitar Rp 1,9 triliun)-sudah binasa tak berbentuk ketika Bush tiba. Ribuan korban mati dan puluhan ribu lagi dalam kondisi parah akibat rupa-rupa penyakit yang muncul pascabadai. Suplai air bersih minim. Listrik padam. "Ini bencana nasional. Kita mengirimkan bantuan tak terkira untuk korban tsunami, tapi tak berdaya membantu New Orleans," cetus Kepala Operasi Penyelamatan Terry Ebert.
Kedatangan Katrina bukannya tak terdeteksi. Pada 26 Agustus, Gubernur Louisiana Kathleen Blanco mengumumkan keadaan darurat bagi penduduk New Orleans dan meminta mereka mengungsi keluar kota. Seruan itu diulangi lagi oleh Wali Kota Ray Nagin pada Ahad 28 Agustus. Yang luput diperhatikan Blanco dan Nagin adalah kondisi sosial masyarakat dan kesiapan aparat federal.
Sebagai salah satu kota termiskin di Amerika-38 persen penduduknya miskin berdasarkan sensus 2000-angka pemilikan mobil di kota ini adalah salah satu yang terendah di negeri itu. Lebih dari 27 persen rumah tangga-mencapai 120 ribu jiwa-tak punya mobil pribadi. Akibatnya, tak semua warga bisa menaati seruan evakuasi. Ketika mata badai menyambar New Orleans, fakta-fakta yang lebih menyedihkan terkuak.
Sistem arsitektur tanggul (levee) yang dibuat untuk melindungi kota yang berada dua meter di bawah permukaan laut itu ternyata dirancang hanya untuk bertahan dari serangan badai kategori 3 dalam skala Saffir-Simpson. "Keputusan ini dibuat beberapa dekade lalu berdasarkan analisis biaya-manfaat (costbenefit analysis)," ungkap Letnan Jenderal Carl Strock, Komandan Korps Insinyur Militer AS, semacam Batalion Zeni Bangunan dalam struktur TNI. Padahal, saat itu Katrina menderu dengan kecepatan 280 kilometer per jam. Artinya, 30 km lebih kencang dari batas maksimal 250 km yang masuk kategori 5 skala Saffir-Simpson-skala tertinggi untuk ukuran badai Atlantik.
Ketika tanggul jebol dan laut menghantarkan banjir yang menenggelamkan New Orleans, minimnya anggota Garda Nasional di Louisiana, Mississippi, dan Alabama, yang bisa membantu proses evakuasi, membuat kondisi kian buruk. Saat itu hanya ada 723 anggota Garda di tengah ratusan ribu penduduk yang panik. "Seharusnya kita memiliki lebih banyak anggota Garda Nasional di lapangan," kecam seorang komandan Garda di Michigan. Kecaman kemudian terarah ke pemerintahan Bush karena dari Brigade 256 Garda Nasional Louisiana saja, terungkap bahwa 3.000 anggotanya ditugaskan di Irak.
Seorang tokoh pemerintahan Clinton, Sidney Blumenthal, mengungkapkan fakta mengejutkan. Dana puluhan juta dolar yang diinvestasikan pemerintahan Clinton bagi Korps Insinyur Militer untuk mengembangkan sistem perlindungan terhadap badai dan pengelolaan air bersih, ternyata dipakai untuk pasukan AS di Irak. "Akibatnya Korps (Insinyur Militer) baru bisa bekerja di menit-menit terakhir. Itu pun dengan peralatan di bawah standar," katanya ketika menjadi tamu di acara BBC The World pada 1 September. Kebetulan, pada Februari 2005, Bush baru saja memangkas bujet untuk Korps sebesar 7 persen, setelah tahun lalu memangkas bujet 13 persen.
Kombinasi semua keterbatasan di lapangan lantaran Bush memprioritaskan perang di Irak memunculkan istilah baru: Katrinagate. Wali Kota Nagin mengecam secara terbuka Gubernur Blanco yang menunda permohonan bantuan begitu bertemu Bush pada kesempatan pertama. Saat itu, Blanco menyatakan bahwa ia "masih perlu waktu 24 jam lagi untuk mengambil keputusan" ketika Bush justru sudah menyatakan petaka itu sebagai bencana nasional.
Katrinagate juga menyeret FEMA, badan yang harusnya berjasa empat tahun lalu, sebagai salah satu target kritik nasional. Direktur FEMA Michael Brown baru mengumumkan kondisi darurat sehari setelah Katrina mengamuk. "Saya terkejut (dengan cara kerja FEMA). Kami sudah bersiap untuk memberikan bantuan, tapi sama sekali tak ada telepon permintaan bantuan," ujar Wali Kota Chicago Richard Daley.
Jaringan toserba raksasa Wal-Mart juga mengeluhkan sikap petugas FEMA yang menolak bantuan tiga trailer air bersih yang dikirimkan toserba itu untuk penduduk. Pada 6 September, FEMA bahkan bertindak lebih jauh. Badan ini mengirimkan surat elektronik kepada para wartawan yang meliput bahwa sejak hari itu para juru warta tak bisa lagi menumpang kendaraan tim penyelamat karena "keterbatasan tempat". Wartawan juga dilarang memotret para korban.
Berbagai kelambanan respons itu mengundang spekulasi bahwa hal ini disengaja lantaran mayoritas korban adalah warga kulit hitam yang tak mendukung pemerintahan Bush. "Banyak warga kulit hitam merasa bahwa ras mereka, kemiskinan serta sikap politik mereka (tak memilih Bush-Red.) yang membuat pemerintah lamban (menanggapi bencana-Red.)," kecam Pendeta Jesse Jackson.
Sinyal tentang adanya diskriminasi rasial juga terasa dalam cara peliputan media setelah penjarahan dan pemerkosaan merajalela sejak 2 September. Salah satu contohnya situs raksasa Yahoo! Newswire. Ketika memajang dua foto warga yang terendam banjir sepinggang sambil membawa sekotak soda dan makanan, Yahoo! membubuhkan dua keterangan yang berbeda. Pada gambar warga Afro-Amerika, keterangan foto berbunyi: "Setelah menjarah toko." Sedangkan pada gambar pria kulit putih dalam kondisi serupa tertulis, "Setelah menemukan roti dan soda dari toko setempat."
Dua foto yang masing-masing diambil dari kantor berita AP dan AFP itu kontan mengundang kemarahan warga kulit hitam, yang merasa bahwa hal itu disengaja oleh reporter Yahoo! Belakangan, Yahoo! mencabut foto itu dan meminta maaf sambil menjelaskan bahwa mereka menyajikan gambar dan keterangan foto itu apa adanya dari kantor berita tanpa melakukan penyuntingan. Menanggapi kasus ini, rapper kondang Kanye West langsung bersuara di saluran NBC, "Jika Anda melihat satu keluarga kulit hitam, disebutlah mereka menjarah, tapi jika melihat keluarga kulit putih, disebut bahwa mereka bertahan untuk hidup."
Reaksi dunia atas tragedi ini umumnya bernada prihatin sembari menyayangkan kurang tanggapnya Washington untuk bertindak. Beijing menyebut penanganan masalah ala Bush ini sebagai "pengabaian tugas". Kritik yang lebih keras muncul dari Menteri Lingkungan Jerman Jrgen Trittin, yang melihat fenomena badai Katrina tak lepas dari problem emisi global.
Ia menyamakan tragedi ini dengan adegan dalam film The Day After (Roland Emmerich) yang berkisah tentang kehancuran dunia. "Hanya ada satu cara yang bisa dilakukan," ujar Trittin seperti dikutip harian Frankfurter Rundschau, "Produksi gas rumah kaca harus dikurangi secara radikal dan berlangsung serentak di seluruh dunia. Sayangnya, pemerintahan Bush menolak upaya-upaya ini (Protokol Kyoto-Red.) dengan menyatakan akan berakibat buruk pada pertumbuhan ekonomi Amerika. Sekarang malah membayar kerugian ekonomi dan kemanusiaan yang jauh lebih banyak."
Problem jangka panjang yang kini bisa menjadi kerikil di sepatu Bush adalah menyangkut pembangunan kembali wilayah korban Katrina, terutama New Orleans. Halliburton, perusahaan konstruksi yang pernah dipimpin Wakil Presiden Dick Cheney, telah meneken kontrak untuk program rekonstruksi di New Orleans dan Mississippi. Yang jadi masalah, posisi kota yang berada di bawah permukaan laut itu membuat orang cemas bahwa badai serupa akan kembali di masa depan.
Separuh dari ketakutan itu telah lama hidup di bawah sadar penduduk New Orleans, seperti terungkap dalam lagu blues populer, When The Levee Breaks, yang dinyanyikan dengan getir oleh Memphis Minnie pada 1929, dan dinyanyikan ulang dalam semangat rock menderu oleh Led Zeppelin pada 1971: "If it keeps on rainin', levee's goin to break/and all these people have no place to stay."
Akmal Nasery Basral (The WPost, The NY Times, BBC, AP)
Jumlah Korban Meninggal
Jumlah luas kawasan yang rusak adalah 233 ribu kilometer persegi, atau hampir seluas Inggris.
Sumber: BBC dan CNN, data hingga 8 September 2005.
Nama Badai
Untuk memudahkan masyarakat mengidentifikasi badai, Pusat Badai Nasional menggantikan sistem lama yang menggunakan koordinat peta dengan nama-nama orang suci, terutama para santa (wanita suci dalam Gereja Katolik). Sistem ini berlaku mulai 1959. Hari kelahiran seorang santa yang bertepatan, atau terdekat, dengan terjadinya badai ditetapkan sebagai nama badai. Cara ini lama-kelamaan dianggap diskriminatif, sehingga mulai 1979 dimasukkan juga nama para santo (pria suci) secara berselang-seling berdasarkan urutan abjad.
Kini, wewenang memberikan nama dipegang oleh Organisasi Meteorologi Dunia, yang mengeluarkan daftar tahunan sebagai berikut.
Nama Badai 2005
Sistem penamaan badai dirotasi setiap enam tahun sehingga daftar ini akan digunakan lagi pada 2011, dengan perkecualian badai paling mematikan akan dikeluarkan dari daftar. Katrina tampaknya menjadi calon utama yang akan tersingkir enam tahun lagi, seperti Floyd dan Lenny yang ada di daftar 1999 namun tahun ini "pensiun" digantikan Franklin dan Lee.
Musim Badai Atlantik
Musim badai tahun ini berlangsung dari 1 Juni hingga 30 November 2005. Dimulai oleh badai Arlene pada 8 Juni, kerusakan yang lebih dahsyat mulai terjadi setelah serangan Dennis yang memporak-porandakan Haiti, Kuba, dan Florida. Setelah Katrina, berturut-turut terjadi Lee (28 Agustus dari Kepulauan Antilles Kecil), Maria (1 September, Kepulauan Leeward), Nate (5 September, Bermuda), dan Ophelia (7 September, Bahama).
Setelah Ophelia, badai akan diberi nama Philippe sampai Wilma. Jika setelah Wilma badai berlanjut, akan digunakan alfabet Yunani mulai dari alpha, beta, sampai gamma dan seterusnya sebagai nama badai.
Skala Saffir-Simpson
Skala badai Saffir-Simpson diciptakan pada tahun 1969 oleh insinyur sipil Herbert Saffir dan Direktur Pusat Badai Nasional Robert Simpson. Skala ini hanya digunakan untuk mengukur tingkat kerusakan yang ditimbulkan badai yang muncul di Samudra Atlantik dan bagian Utara Samudra Pasifik.
Terinspirasi oleh skala Richter untuk gempa bumi, Saffir menggunakan skala 1-5 berdasarkan kecepatan angin untuk memperkirakan kerusakan. Skala ini disempurnakan Simpson, yang menambahkan lonjakan badai (storm surge) yang muncul akibat terpaan angin di atas lautan yang menimbulkan ketinggian ombak di atas keadaan normal.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo