NAMA membawa tuah, kata orang. Itu sebabnya ada yang gerah dengan nama desa mereka, seperti di Kesiman Gemblung, Ketidur, Kedung Kopek, dan Kedung Maling. Semua desa ini di Mojokerto, Jawa Timur. Nama Kesiman Gemblung, menurut Masdukin Zakaria, 45 tahun, sekretaris desa itu, berkaitan dengan tanahnya yang bergema blung, blung, jika dipijak. ''Penduduk tidak berpikir macam- macam tentang nama itu,'' katanya kepada K. Chandra Negara dari TEMPO. Itu dulu. Berada pada ketinggian 600 meter di lereng Gunung Arjuna, berhutan lebat, desa berpenduduk 598 kepala keluarga ini jarang dikunjungi orang luar. Tapi begitu ada jalan raya, terbuka pula kesadaran penduduk bahwa nama desanya rupanya punya arti aneh. Istilah gemblung bisa berarti bodoh, goblok, sarap, gila, atau gendut. Mulai tumbuh malu. ''Tiap kali nama desa kami disebut dalam pertemuan di tingkat kabupaten, hadirin selalu tertawa. Lama-lama, nggak enak juga,'' tutur Masdukin. Bukan sekadar dilirik seraya gerr, bahkan Soenandar Prijosoedarmo, almarhum, semasa menjabat Gubernur Jawa Timur (1976-1983) berkomentar, ''Wong desa namanya kok Gemblung.'' Tahun 1983 penduduk berunding untuk mengganti nama desanya. Diusulkan: Kesiman Jaya, Kesiman Makmur, atau Kesiman Asri. Akhirnya disepakati: Kesiman saja. Prosesnya berlarut dan baru Juni tahun silam turun acc Gubernur Jawa Timur. ''Pokoknya, namanya diganti,'' cerita Masdukin. Cuma ia tidak tahu persis apa artinya Kesiman. ''Mungkin di sini dulu banyak sima (macan),'' ia menduga. Perubahan nama itu mendongkrak citra Kesiman. Pendapatan kas desa Rp 58,95 juta dan dana swadaya masyarakat Rp 29,5 juta, meningkat dua kali lipat lebih dibanding dengan tahun sebe- lumnya alias tertinggi dalam ukuran sekecamatan. Akan halnya Desa Ketidur, meski semangat membangun tak berbeda dengan desa lain, sempat dijuluki sebagai desa yang penduduknya suka tidur. Sehingga pamongnya pernah mengusulkan agar diganti menjadi Desa Sanggrahan. Namun sampai kini belum ada izin dari pihak Kabupaten Mojokerto. Lalu apa salahnya dengan nama Kedung Kopek? Ternyata nama dukuh ini berarti sungai tempat payudara raksasa. Konon ini bermula ketika leluhur peneruka desa itu menjumpai wanita dengan tetse ekstra-besar tiap kali melewati sungai. Karena dirasa mengusik kesopanan, maka pada 1988 Walikota Mojokerto menyarankan nama dukuh berpenduduk 225 kepala keluarga itu diubah menjadi Kedung Mulang. Berbeda dengan tiga nama tadi adalah Desa Kedung Maling di Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Sekitar sembilan tahun silam pernah ada usaha mengubah namanya menjadi Kedung Agung. ''Penduduk bersikeras tidak mau mengubah nama desa ini,'' kata Irfan, 33 tahun. Menurut kepala desa ini, alasannya karena konon dulu ada maling dermawan yang punya tempat sembunyi di sungai desa itu. Bangga dengan kisah mirip Robin Hood itu mereka nekat menghapus nama Kedung Agung di papan nama balai desa, dan mengembalikannya menjadi Kedung Maling. Kepala desa terpaksa mengalah. ''Sebab ada tokoh masyarakat bertekad mempertahan- kannya sampai titik darah penghabisan,'' tutur Irfan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini