MURID-murid SD di Kalimantan Tengah tampak berbondong-bon- dong mengaji di ''pesantren malam'' selepas jam sekolah. Sebab, sebagian siswa yang beragama Islam memerlukan syahadah atau ijazah taman kanak-kanak Alquran (TKA) atau taman pendidikan Alquran (TPA), sebagai syarat untuk bisa mengikuti ujian atau ebtanas SD tahun ini. ''Mulai ebtanas tahun ini, persyaratan syahadah itu dilaksanakan di seluruh Kalimantan Tengah,'' kata Kepala Kanwil Departemen Agama, H. Ahmad Sutarmadi, yang mengumumkan kepada wartawan awal bulan ini. Bahkan, kata Sutarmadi, calon murid SD yang beragama Islam kini juga perlu membawa ijazah TKA atau TPA itu sebelum mendaftar sekolah. Ketentuan ini tampaknya didasarkan pada petunjuk pelaksanaan surat keputusan bersama (SKB) Kepala Kanwil Departemen P dan K, Departemen Agama, dan Kepala Dinas P dan K Kalimantan Tengah, awal 1991, tentang Gerakan Bebas Buta Huruf Alquran. Keputusan para pejabat Kal-Teng itu, menurut Sutarmadi, mengacu kepada SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1982 tentang peningkatan baca tulis huruf Alquran bagi umat Islam. Di situ disebutkan bahwa para pejabat, dari gubernur hingga camat dan lurah, hendaknya mengoordinasikan peningkatan kemampuan baca tulis huruf Alquran di wilayahnya. Gubernur Suparmanto pun lantas meminta agar aparatnya melaksanakan itu. ''Dan hasilnya menggembiarakan,'' kata Sutarmadi. Namun hasil yang dinilai menggembirakan itu sempat pula me- ngundang berbagai pertanyaan, terutama setelah Sutarmadi mengumumkan adanya persyaratan syahadah tadi bagi murid SD beragama Islam untuk ikut ebtanas atau masuk SD. Padahal, ketentuan itu sudah dicantumkan dalam petunjuk pelaksanaan yang diteken Kepala Kanwil Departemen Agama H.M. Saleh Ha- run, 31 Maret 1992. Yakni, bahwa semua siswa yang beragama Islam hendaknya mengantongi syahadah alias ijazah tentang penguasaan baca tulis Alquran, dan itu menjadi syarat untuk ikut ebtanas SD mulai tahun ajaran 1993/1994 ini. Yang berhak menerbitkan syahadah adalah pimpinan madrasah diniyah, majelis taklim, TKA, TPA, dan guru mengaji tradisional. Namun disebutkan pula bahwa di sekolah yang belum memiliki guru agama Islam, dan yang belum punya tempat penyelenggaraan pendidikan Alquran atau majelis taklim, para muridnya dibebaskan dari kewajiban memiliki syahadah. Dengan pertimbangan itu, Kepala Kanwil P dan K Didi Maksudi, yang ikut menandatangani SKB tiga pejabat Kal-Teng, masih bisa memberi jalan lain. ''Siswa yang tak mempunyai syahadah tetap diperbolehkan mengikuti ebtanas,'' katanya. Dia menafsirkan bahwa ijazah TKA atau TPA itu bukan suatu keharusan. Sementara itu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hasan Walinono bersikap lebih jelas, bahwa tak pernah ada keharusan syahadah semacam itu untuk murid yang mau masuk SD, atau syarat ikut ebtanas. Bahkan, katanya kepada TEMPO, calon siswa SD saja tak disyaratkan melewati jenjang prasekolah seperti TK itu. ''Taman kanak-kanak tak termasuk jenjang jalur sekolah, dan tak di semua tempat tersedia TK. Kalau ''ijazah'' itu dijadikan syarat, akan banyak sekali anak usia sekolah yang tak dapat masuk SD,'' kata Walinono. Soal ''percobaan'' di Kal-Teng itu, kata Dirjen Walinono, ''Suatu kebijaksanaan yang tak mungkin dilaksanakan atau dikhawatirkan menimbulkan kerawanan tentulah harus ditinjau kembali.'' Dilihat dari jumlah TKA dan TKP, provinsi itu punya sekitar 600 buah dengan 11.000 guru. Sedangkan jumlah murid SD sekitar 31.000. Tak ada data berapa murid yang Islam. Dari data penduduk Kal-Teng, tercatat sekitar 1,5 juta jiwa, dan 67% beragama Islam. Kanwil P dan K setempat juga mengaku belum tahu persis berapa murid SD peserta ebtanas yang belum punya syahadah. ''Data itu sedang dikumpulkan,'' kata Maksudi. ''Dan itu tak jadi masalah. Yang tak memiliki syahadah boleh-boleh saja mengikuti ebtanas. Persyaratan itu tak wajib,'' katanya. Hal sama diungkap Zarkowi Soejoeti, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. ''Pengajaran baca tulis Quran itu sebenarnya hanya kegiatan esktrakurikuler, dan tak menjadi syarat untuk mengikuti ebtanas atau dikaitkan dengan kelulusan ebtanas,'' katanya. Walau demikian, ia menyambut baik upaya menggiatkan pengajaran Al Quran itu. ''Itu berarti menunjang pendidikan di sekolah,'' katanya kepada TEMPO. ''Sebab, pengajaran Alquran itu sulit bila diajarkan di sekolah, mengingat sempitnya jam pelajaran.'' Sedangkan Kepala Kanwil Departemen Agama Sudarmadi, yang ''punya gawe'', merasa yakin bahwa kebijaksanaan itu harus jalan terus, tak perlu ditinjau kembali, sekalipun soal sya- hadah itu bersifat jaiz alias harus tapi tak wajib. Peserta ebtanas yang punya syahadah, katanya, akan memperoleh point lebih dalam kelulusannya. ''Apa artinya persyaratan bila tak ada pengaruhnya?'' katanya. Untuk itu, Sutarmadi mengaku telah menyebarluaskan 9.000 blangko syahadah untuk murid yang akan ikut ebtanas tahun ini. ''Semua SD sudah menyatakan siap melampirkan syahadah bagi murid-muridnya yang mau ikut ebtanas,'' katanya. Agus Basri, Siti Nurbaiti, Sri Indrayati (Jakarta), dan Almin Hatta (Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini