Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana Marsekal TNI Agus Supriatna meresmikan penginapan Wiratmo di Pangkalan Udara Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Selasa siang, 30 Juni lalu, terpaksa buyar. Baru saja mendarat di Bandar Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara itu mendapat kabar duka: pesawat angkut Hercules C-130B nomor penerbangan A-1310 jatuh di Medan, Sumatera Utara. Musibah itu menelan setidaknya 122 korban jiwa, 83 orang di antaranya warga sipil.
Penyelidikan TNI Angkatan Udara berdasarkan temuan lapangan mengarah pada dugaan Hercules ambruk karena salah satu mesinnya tidak berfungsi. Namun, sementara investigasi TNI AU terus berlangsung, muncul sangkaan di tengah masyarakat: usia uzur Hercules-lebih dari 50 tahun-adalah musabab jatuhnya pesawat bikinan Amerika Serikat itu.
Pesawat Hercules C-130B memang sudah sepuh dan belakangan mesinnya sempat sakit. Menurut Agus, setidaknya sejak tahun lalu mesin pesawat sudah tiga kali mengalami kerusakan. Namun pesawat itu disebut Agus masih laik terbang. Sebab, selama ini Hercules dirawat dengan baik sesuai dengan prosedur buku petunjuknya. Pun sebelum diterbangkan pilot Kapten Sandy Permana mengangkasa, fisik Hercules sudah dicek dan dalam kondisi sehat.
Kini sejumlah Hercules tipe B atau sejenis dengan yang jatuh di Medan pada Selasa pekan lalu dikandangkan TNI. Ini dilakukan TNI agar bisa lebih leluasa melakukan evaluasi. Nanti Aguslah yang akan menentukan apakah Hercules mesti pensiun atau boleh kembali bertugas. Yang jelas, kata dia, Hercules tetap dibutuhkan.
"Hercules pernah mengirimkan bantuan untuk bencana dari Sabang sampai Merauke. Bahkan mengirim bantuan untuk bencana di luar negeri pun kami memakai Hercules. Itu karena pesawat angkut berat yang kami miliki hanya Hercules," ucap Agus di ruang kerjanya di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jumat pagi pekan lalu, kepada wartawan Tempo Isma Savitri, Yandhrie Arvian, Indra Wijaya, Prihandoko, Ridian, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo, yang menemuinya untuk wawancara.
Raut lelah tak terlihat di wajah Agus meski Kamis malam ia baru saja tiba di Jakarta setelah tiga hari memantau langsung penanganan musibah Hercules di Medan. Dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu jam, pria kelahiran Bandung, 56 tahun lalu, itu bertutur soal hasil investigasi sementara musibah Hercules dan rencana modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI Angkatan Udara.
Menurut dia, ketimbang membeli pesawat bekas ataupun hasil hibah, lebih baik jika TNI AU dibekali armada anyar. "Ini sama seperti kita beli mobil baru, yang dipakai 10-20 tahun masih oke. Tapi, kalau beli mobil bekas, kita tidak tahu sejarahnya. Apakah olinya pernah bocor atau mengalami kerusakan lain," ujarnya.
Apa hasil sementara investigasi TNI Angkatan Udara atas jatuhnya Hercules C-130B?
Ada pengalaman dari penerbang lain Hercules yang pernah mengalami kejadian semacam itu, di Iswahyudi, Madiun. Tapi di sana tempatnya datar, tidak ada gedung dan antena. Kami juga menganalisis dari bukti sementara. Bukti pertama adalah si pilot yang minta kembali ke lanud (pangkalan udara). Ini pasti ada sesuatu. Kedua, setelah ditemukannya mesin pesawat. Mesin yang nomor empat itu posisinya feder, artinya mati. Bukti berikutnya, ada potongan-potongan pipa antena yang begitu besar. Maka bisa dianalisis itu menabrak sayap dan mungkin terpotong oleh baling-baling pesawat, jadi terpotong di atas rumah-rumah itu.
Kalau perkiraan saya, tiap ada kerusakan terkait dengan mesin nomor satu dan empat, pesawat pasti mencari kecepatan. Yang berarti harus terbang rendah, tidak bisa naik, lalu menabrak antena. Lalu terjadilah pesawat miring. Sayapnya menabrak kubah dan ruko, lalu terbalik. Dua mesin yang hidup di sayap kiri kemudian mental. Terbukti baling-baling kedua mesin ini keriting dan terbakar, yang berarti mesin masih hidup. Dari kronologi itu saja bisa kita analisis untuk sementara peristiwa yang terjadi.
Apa penyebab mesin nomor empat mati?
Tim akan mencari tahu soal itu. Sebagai penerbang, saya pun tak mau ada mesin rusak. Tapi, bagaimanapun, ini buatan manusia, pasti ada saja masalahnya. Sebenarnya ada cara untuk menyiasatinya. Bisa dengan menambah kecepatan dengan dua mesin. Empat mesin Hercules di mana pun, kalau mesinnya mati satu, tak jadi masalah. Itu karena pesawat Hercules masih bisa mendarat dengan tiga mesin. Penerbang Hercules pun hampir semua pernah mengalami kondisi itu. Yang jadi masalah adalah bila itu terjadi setelah lepas landas. Beratnya bukan main menahan agar pesawat tak ke kiri dan kanan, sementara kecepatan pesawat belum cukup untuk naik. Itu pengalaman pilot Hercules.
Padahal pemeriksaan sebelum terbang sudah dilakukan pada Hercules yang jatuh di Medan ini?
Jelas. Semua penerbang punya prosedur standar operasi (SOP). Sebelum terbang, dia akan lihat logbook (buku petunjuk) pesawat, sejarah mesinnya pernah mengalami kerusakan apa, apakah bannya pernah pecah, atau apakah sistem hidroliknya pernah rusak atau tidak. Penerbang juga pasti akan mengelilingi pesawat untuk mengecek fisiknya. Dari logbook dan pengecekan fisik itu, baru pilot bisa menyatakan pesawat masih layak terbang atau tidak. Kalau pesawat tak layak terbang, mana ada pilot yang mau terbang dengan itu? Emang pilot gendheng? Setiap penerbang, kalau sudah duduk di kokpit, pasti sudah yakin pesawatnya layak terbang.
Hercules yang jatuh ini sebelumnya pernah mengalami masalah mesin?
Kalau dilihat sejarahnya pasti ada, tapi masalahnya bisa diatasi. Terbang dengan tiga mesin pernah, tapi mendarat dengan selamat. Tapi kalau kejadian selepas lepas landas, ya, baru kali ini terjadi. Ada beberapa kali kejadian mesin mati ketika pesawat sedang di udara, yang terakhir pada 25 Februari 2014 di Palembang. Tapi karena kejadiannya di udara, enggak apa-apa, pesawat masih bisa mendarat dengan tiga mesin. Kalau terjadi seperti itu, mesin pesawat pasti diganti.
Ayah salah satu korban musibah Hercules menyebutkan pesawat yang ditumpangi anaknya mengalami rusak empat kali dalam sebulan?
Oh, tidak benar kalau sebulan empat kali rusak. Kalau setahun terakhir memang betul pernah terjadi kerusakan. Yang paling saya ingat, ya, kerusakan pada 25 Februari 2014. Ada lagi kejadian kerusakan pada 2015, juga tahun ini saat akan ke Halim Perdanakusuma.
Apakah masalah-masalah mesin itu dialami Hercules karena ia sudah tua?
Tidak. Kalau pesawat yang kami tahu sejarahnya dari awal-maksudnya yang kami beli baru-kami sudah tahu sejarah teknisnya dan tahu cara pemeliharaannya. Kami juga bisa mencatat, misalnya bahwa pesawat ini pernah rusak di bagian tertentu. Justru yang bahaya kalau kita beli pesawat bekas atau menerima hibah dari luar negeri. Ini sama seperti kita beli mobil baru, dipakai 10-20 tahun masih oke. Tapi, kalau beli mobil bekas, kita tidak tahu sejarahnya. Apakah olinya pernah bocor atau mengalami kerusakan lain.
Kapan terakhir kali pesawat mengalami engine overhaul (bongkar mesin)?
Kalau tak salah, pesawat-pesawat ini di-overhaul pada Februari 2014.
Setiap periode terbang sudah pasti ada pemeriksaan mesin, ya?
Sudah pasti tiap 50 jam terbang ada inspeksi. Pesawat Hercules C-130 ini sudah 51 tahun tapi masih layak terbang. Itu berarti pemeliharaannya bagus dan sudah sesuai dengan prosedur di buku petunjuk pabrikan. Tapi, semakin tua umur pesawat, pengecekannya akan dilakukan dua kali.
Kenapa Hercules masih tetap dipakai kendati umurnya sudah lebih dari 50 tahun?
Pesawat ini sudah tua, tapi masih dibutuhkan oleh TNI dan masyarakat Indonesia. Ini bisa dilihat dari sejarahnya. Hercules pernah mengirimkan bantuan untuk bencana dari Sabang sampai Merauke. Bahkan mengirim bantuan untuk bencana di luar negeri pun kami memakai Hercules. Itu karena pesawat angkut berat yang kami miliki hanya Hercules.
Biaya perawatan Hercules selama ini tercukupi?
Anggaran perawatan kami memang minim, karena itu kami memilih berdasarkan skala prioritas. Misalnya kami punya sepuluh Hercules, tapi dengan anggaran yang minim, kami prioritaskan perawatannya untuk enam pesawat saja. Jadi empat pesawat lain ya sabar dulu menunggu. Skala prioritas kami berlakukan karena ingin operasional enam pesawat ini bisa maksimal.
Berapa biaya perawatan Hercules per tahun?
Anggaran itu fluktuatif.
Kenapa TNI AU tidak minta tambahan dana bila memang biaya perawatan pesawat masih kurang?
Itu pertanyaan untuk Kementerian Pertahanan. Kami setiap tahun sudah minta dananya. Tapi kalau dikasihnya segitu, ya, masak kami minta terus? Saya yakin pemerintah pasti tahu bagaimana soal ini bergantung pada perekonomian negara.
Apakah anggaran pemeliharaan itu dibikin menjadi satuan khusus, misalnya untuk Hercules saja?
Betul, itu dibagi. Baru bulan lalu kami membikin RKAKL (rencana kerja dan anggaran kementerian dan lembaga), yang di dalamnya membagi anggaran untuk pesawat tempur dan angkut. Pesawat tempur pun terbagi lagi, mana untuk Sukhoi, F-16, dan Hawk. Ini sistem yang saya kembangkan ketika menjadi KSAU. Lebih baik saya punya pesawat walau jumlahnya sedikit yang penting bisa diandalkan dalam berbagai misi dibanding punya pesawat banyak tapi tidak bisa diandalkan.
Ke depan seperti apa rencana belanja alutsista TNI AU?
Rencananya, untuk pesawat tempur pengganti F-5V Tiger, kami minta dari generasi 4,5, jangan turun lagi ke generasi 4. Generasi 4,5 itu seperti F-16 Block 70 Viper, juga Sukhoi SU-35. Mudah-mudahan bisa segera diadakan karena F-5 sudah kami larang terbang. Untuk pesawat angkutnya, ada beberapa kajian yang sudah kami ajukan ke Kemenhan. Misalnya Airbus A400 dan Antonov, yang akan dikaji Kemenhan. Untuk helikopter, kami butuh yang berkemampuan angkut berat dan SAR.
Kalau Hercules butuh 9-10 unit untuk mengangkut satu batalion, nah untuk A400 cukup 4 pesawat. Jadi kita beli pesawat dengan jumlah sedikit tapi daya angkutnya lebih besar.
Ada pabrikan pesawat lain yang ngotot mendekati pemerintah?
Buat saya sebagai pengguna, begitu pula penerbang tempur saat ini dan para teknisinya, pengalaman kami ada pada F-16 dan Sukhoi. Jadi janganlah kami disuruh belajar lagi pesawat lain. Semakin banyak jenis pesawat, perawatannya semakin sulit. Tetangga kita AU-nya hebat. Singapura itu pesawatnya F-5, F-16, dan F-15, dengan kemampuan pilot dan teknisi yang kian bagus karena dari awal pakai itu terus.
Kalau ditanya Presiden, ya, yang saya sampaikan dua jenis itu, Sukhoi SU-35 atau F-16 Block 70 Viper. Itu supaya tidak merepotkan penerbang dan teknisi kami, berikut pemeliharaannya. Tidak mudah lho membaca logbook pesawat tempur.
Nanti akan lebih banyak mana pesawat yang dimiliki TNI AU: jenis tempur atau angkut?
Ya, harus seimbang karena pesawat tempur kalau ke mana-mana pasti butuh dukungan pesawat angkut. Seperti Sukhoi, kalau pergi ke mana-mana pasti butuh Hercules untuk mengangkut barang perlengkapannya. Pesawat yang saya inginkan jumlahnya tidak banyak sekali, yang penting bisa diandalkan untuk melaksanakan operasi tugas pokok kami.
Kalau pesawat kami capable, kan digerakkan ke mana pun siap. Pilot dan teknisinya juga percaya diri. Karena kesejahteraan itu bukan cuma materi, melainkan juga sarana dan prasarana. Dulu saya jadi penerbang F-16, duduk di kokpit pesawat tempur baru itu rasanya sejahtera sekali. Penuh percaya diri. Disuruh misi apa pun, termasuk jadi anggota tim aerobatik, pede. Tapi, kalau sekarang, saya tidak tega meminta adik-adik pilot pesawat tempur bikin tim aerobatik pakai F-16.
Presiden Jokowi minta sistem zero accident dalam alutsista. Bagaimana cara TNI AU mewujudkan itu?
Langkah sudah saya ambil. Semua Hercules tipe B saya larang terbang dulu. Kami akan menyelidikinya karena pesawat-pesawat ini bikinan tahun 1964, sementara tipe H buatan tahun 1978-1982. Kami juga menyetop kegiatan terbang pesawat tempur F-5 Tiger, karena kalau dipertahankan tidak bagus. Setiap melakukan misi, pasti ada masalah dengan F-5 Tiger, dan akhirnya pesawat kembali ke pangkalan udara. Tapi, alhamdulillah, selama ini bisa kembali ke pangkalan tanpa terjadi kecelakaan.
Jadi pesawat yang sering mengalami masalah kami larang terbang dulu. Begitupun pesawat F-16, yang baru datang, saya minta dievaluasi dulu karena beberapa penerbang belum pernah mengemudikan pesawat itu. Jadi masih menunggu para instruktur dari Amerika Serikat, yang pada Agustus nanti akan datang mengajari pilot-pilot kami. Sebab, pesawat ini jenisnya lama tapi diperbarui.
Apakah usia juga jadi faktor yang menyebabkan pesawat akhirnya dikandangkan oleh TNI AU?
Pasti. Seperti Hawk Mk-53, itu kami putuskan masuk museum semua karena umurnya sudah 35 tahun. Selain itu, kalau kami lihat sebuah pesawat terlalu sering bermasalah, ya lebih baik disetop dulu.
Ada cerita dari keluarga korban musibah Hercules, katanya ada pungutan biaya untuk menumpang pesawat, antara Rp 800 ribu dan Rp 1 juta?
Sebetulnya tidak ada aturan itu. Tapi bisa juga terjadi karena ada orang sipil mau naik pesawat biasa tapi harganya mahal. Ia akhirnya minta bantuan ke tentara kopral atau sersan agar dimasukkan ke pesawat militer dengan status sebagai keluarga. Lalu, ketika si tentara itu akan membantu, tiba-tiba masyarakat sipilnya memberi uang.
Makanya harus ada perbaikan dari keluarga pihak. Mengapa orang sipil harus membayar, padahal kan tidak ada tarifnya? Tapi, setiap saya menanyakan itu, orang sipil tidak bisa menjawab. Kalau kejadian ini ketahuan, pihak TNI AU-nya bisa saya tindak. Wah, bayangkan prajurit sekarang gajinya sudah ditambah remunerasi kok masih "main" kayak begitu.
Prosedur izin untuk sipil jika ingin ikut terbang seperti apa?
Orang sipil tinggal kirim surat ke asisten operasional untuk ikut penerbangan angkutan udara militer. Lalu asisten operasional akan memberi informasi soal tempat jurusan dan tanggalnya. Kami bisa atur itu, tapi mungkin hanya empat orang karena sisa kursinya segitu. Nanti komandan lanud akan membikin surat izin atas nama calon penumpang. Kalau si penumpang adalah keluarga militer, ya dari bapaknya akan keluar surat izin jalan. Surat itu tinggal diantar ke lanud saja untuk kemudian ikut terbang.
Apa sanksi untuk anggota TNI AU yang ketahuan mengkomersialisasi kursi pesawat?
Akan kami investigasi dulu. Kalau memang niatnya cari duit, ya, hukumannya pecat karena itu kan merusak nama institusi.
Beberapa pangkalan udara TNI AU ada di tengah permukiman penduduk. Bagaimana solusinya?
Lebih dulu mana pembangunan lanud dengan permukiman? Kan, duluan landasan. Tapi sekarang kan pemerintah daerah memikirkan pembangunan daerahnya tapi tidak memikirkan masalah pangkalan udara atau pertahanan. Kami pun tak bisa melarang karena itu tanah mereka.
Idealnya 15 derajat dari ujung runway harus "bersih" karena itu kawasan keselamatan operasi penerbangan. Tapi kok di tempat musibah Hercules lalu ada antena? Sampai sekarang kami mencari siapa pemilik antena itu, tapi tidak ketemu. Orangnya lari. Padahal maksud kami baik, mau ganti rugi. Kok, malah lari?
Ada rencana merelokasi pangkalan udara yang dekat dengan permukiman?
Kami sudah ada rencana. Misalnya lanud Medan itu harus dipindahkan, tapi ke mana, itu tergantung anggaran. Sebab, Medan itu tumpuan perbatasan pengamanan di Malaka. Tapi, untuk pembangunan lanud, jelas di Natuna karena itu bagian terluar yang menjaga Laut Cina Selatan. Sedangkan di sebelah utara ada di Tarakan serta di timur ada Merauke dan Kupang. Kami juga sudah membuat master plan lanud impian seperti apa. Nah, siapa yang mau memindahkan dan membangun itu, kami tunggu sambil berdoa. l
Marsekal Agus Supriatna
TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR: Bandung, 28 Januari 1959 | RIWAYAT PANGKAT: Letnan Dua (1-2-1983) , Letnan Satu (1-4-1985), Kapten (1-4-1989), Mayor (1-4-1994), Letnan Kolonel (1-10-1998), Kolonel (1-4-2002), Marsekal Pertama TNI (29-5-2010), Marsekal Muda TNI (28-6-2012), Marsekal Madya TNI (31-12-2014) | PENDIDIKAN: Akademi Angkatan Udara (1983), Sekolah Komando Kesatuan TNI AU (1992), Sekolah Staf dan Komando TNI AU (1998), Sekolah Staf dan Komando TNI AU (2008), Program Pendidikan Angkatan Reguler Lemhannas (2009) | RIWAYAT JABATAN (PENEMPATAN): Pa Pnb Skadud 11 Lanud Iwj (1-2-1983), Elemen Leader Skadud 11 Lanud Iwj (1-1-1985), Kasi Opslat Skadud 11 Lanud Iwj (1-4-1987), Instruktur Pnb Skadik 102 Wingdik Terbang Lanud Adi (1-4-1989), Pa Pnb Skadud 14 Wing 3 Lanud Iwj (1-10-1989), Pa Penerbang Skadud 3 Wing 3 Lanud Iwj (1-3-1990), Papok instruktur skadud 3 Wing 3 Lanud Iwj (1-1-1992), Danflightops "D" Skadud 3 Wing 3 Lanud Iwj (1-4-1994) Kadisops Skadud 3 Wing 3 Lanud Iwj (1-10-1996), Kasi Kambangja Disops Lanud Iwj (1-5-1997), Danskadik 102 Wingdikterbang Lanud Adi (1-6-1998), Pabandya Opsudstrat Paban II/Ops Sopsau (1-5-2000), Kabadan Uji Koopsau I (15-09-2001), Dostun Gol IV Seskoau (1-2-2002), Sahli Kabais TNI Bid Ilpengtek Bais TNI (15-8-2002), Athan RI Singapura KBRI / Luar Negri (1-7-2003), Paban Utama B-3 Dit "B" Bais TNI (1-10-2006), Danlanud Hnd (5-2-2010), Kas Koopsau I (1-4-2011), Pangkoopsau II (1-6-2012) , Wairjen TNI Itjen TNI (28-2-2014), Kasum TNI (31-12-2014) | TANDA KEHORMATAN: Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Swa Bhuwana Paksa Pratama , Bintang Swa Bhuwana Paksa Nararya , Satyalancana Kesetiaan XXIV, Satyalancana Kesetiaan XVI , Satyalancana Kesetiaan VIII , Satyalancana GOM VII (Aceh) , Satyalancana Seroja , Satyalancana Dwidya Sistha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo