Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gadis itu terbaring lemas dengan tatapan mata kosong. Perutnya buncit dengan tulang rusuk kiri dan kanan menonjol. Kendati usianya menjelang remaja, 13 tahun, berat tubuhnya hanya 10 kilogram. Dokter memvonis Kristin Lubalu, gadis itu, terkena busung lapar. Penderitaan itu diperparah dengan penyakit TBC yang ikut menggerogotinya.
"Saya anak kedua dari tiga bersaudara," katanya saat Tempo menjenguknya di Rumah Sakit Bhayangkara, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Rumah Kristin selalu direndam air jika hujan dan dibakar terik matahari jika kemarau tiba. "Rumah kami berlantai tanah dan beratap seng," katanya.
Tiba-tiba suara Kristin tercekat. Ia menangis menahan sakit dan muntah. Cairan berwarna kuning keluar dari mulutnya. Sesekali dia mencoba berdiri, namun gagal. Kaki kurusnya tidak mampu menopang perutnya yang buncit. Siang itu tidak terlihat ada saudara, orang tua, bahkan kenalan yang menemani gadis malang itu.
Sejak kecil Kristin ditinggal Linda Lubalu, ibunya, yang melancong entah ke mana. Ia dan saudaranya tinggal bersama neneknya di Desa Naibonat, Kecamatan Kupang Timur. Sebagai dukun beranak di sebuah desa kecil, penghasilan nenek Kristin tak cukup. Jangankan minum susu, sayuran saja tidak setiap hari disantapnya. "Kami hanya makan bubur campur garam," ujar Kristin.
Kristin yang tak terbiasa makan itu kini sulit menerima penganan bergizi. Perawat RS Bhayangkara yang memberinya ikan ditolaknya. "Ibu, saya tidak mau makan ikan, tidak enak. Saya mau nasi sama garam saja," katanya. Menu makan siang pasien Ruang Cempaka, kelas III anak-anak, hari itu adalah telur, tahu, tempe, sayur, ikan, daging, segelas susu, dan buah-buahan. "Kristin anak pintar. Kata ibu guru, adik harus minum susu, makan ikan dan sayuran. Nanti dokter marah, lho," kata Naomi, perawat itu. Siswi kelas 3 SD Inpres Naibonat, Kupang, itu membuang wajah. Makanan di depannya tetap ia tolak.
Kristin Lubalu hanya satu potret kecil kehidupan rakyat miskin di Kupang. Sejak 26 April lalu, tercatat ada 41 penderita busung lapar yang dirawat di rumah sakit wilayah tersebut. Di NTT sendiri ada 700 ribu anak dan balita yang akrab dengan kemiskinan. Kemelaratan itu pula yang memaksa anak-anak makan asal kenyangsesuatu yang menjadi biang busung lapar.
Penderitaan Kristin juga dialami Iman. Bungsu dari sembilan bersaudara itu tergolek lemah di rumah sakit umum di Kendari, Sulawesi Tenggara. Iman dirawat karena menderita gizi buruksebuah istilah bagi pasien yang secara kategoris dianggap sedikit lebih baik dari busung lapar. Perut bocah berusia dua tahun itu membuncit. Kedua tangan dan kakinya mengecil tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Iman hidup dan diasuh dalam keluarga melarat. Sebagai buruh tani kakao, Rasidi, sang ayah, tidak mampu membelikan makanan yang layak dan memenuhi standar gizi. Penghasilan yang cuma Rp 10 ribu per hari itu harus dicukupkan untuk menyuapi mulut sembilan anaknya. "Pendidikan saya cuma sampai SLTP, itu pun tidak tamat," kata Rasidi. Untuk menambal kebutuhan sehari-hari, Rasidi dibantu istri dan anaknya terpaksa memulung barang-barang bekas di gundukan sampah, sekitar lima kilometer dari rumahnya di Kelurahan Puwatu, Mandonga, Kendari.
Beban hidup Rasidi sedikit berkurang ketika putri pertamanya menikah, yang langsung diboyong suaminya. Harapan keluar dari balutan kemiskinan berbinar lagi ketika seorang pria meminang putri keduanya. Dia berpikir anak gadisnya itu akan mengikuti langkah sang kakak. Tapi harapan itu kandas. Usai menikah, keluarga muda itu menumpang di rumah Rasidi. Dua keluarga itu mau tidak mau terpaksa bersesakan di gubuk seluas 25 meter persegi yang hanya punya satu kamar. "Habis mau bagaimana lagi, Pak," katanya memelas. Kondisi Rasidi itu membuat tidak satu pun anaknya sekolah.
Bagi warga seperti Rasidi, program bantuan untuk orang miskin, yang kerap dikampanyekan pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak pernah mampir ke halaman rumahnya. Menurut dia, setelah ramai pemberitaan soal anaknya di media, lurah setempat baru turun tangan. "Saya diberi kartu khusus keluarga miskin sewaktu anak saya dibawa ke rumah sakit oleh istri gubernur," katanya.
Sebelumnya, jangankan mencicipi dana bagi orang miskin yang katanya triliunan rupiah itu, mendengar pun tidak. Saat ditanya soal dana kompensasi bahan bakar minyak, Rasidi juga menggelengkan kepala. "Apa itu, Pak?" katanya balik bertanya.
Cerita soal busung lapar itu merembet juga ke tempat lain, termasuk Jakarta. Rahmatullah, warga Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, pekan lalu dirawat di RS Koja, Jakarta Utara, karena busung. Saat Tempo menjenguknya, bocah laki-laki berusia 2,5 tahun itu lemah bersandar di dada Djunaedi, ayahnya. Ia terus menangis sejak infus menancap di tubuhnya. "Bapak, bapak," kata itu terus keluar dari mulutnya.
Djunaedi tidak bisa berbuat banyak melihat rintih anaknya. Program pos pelayanan terpadu (posyandu) bukannya tidak ada di lingkungan rumahnya. Namun, Rahmatullah tidak pernah dibawanya ke tempat itu. "Petugasnya tidak ramah. Lihat sorot matanya saja saya sudah segan," katanya kepada Ewo Raswa dari Tempo.
Sebagai buruh di pasar ikan Penjaringan, penghasilan Djunaedi tidak lebih dari Rp 20 ribu per hari. Uang segitu pun terkadang tidak genap diperolehnya. Di rumah, ia menanggung makan 11 mulut tiap hari.
Kristin, Iman, dan Rahmatullah memang tertolong, terutama setelah media massa ramai memberitakan. Tapi masih banyak korban busung lapar lainnya yang tak tersentuhmereka yang hanya menyeruput bubur dengan garam untuk makan siang, pagi, atau malam.
Johan Budi S.P., Jems de Fortuna (Kupang), Dedy Kurniawan (Kendari)
Busung Lapar Terhampar
Nasional Busung Lapar: 3.588 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 3.812.732 jiwa Meninggal Dunia: 90 jiwa
Nanggroe Aceh Darussalam Gizi Kurang dan Buruk: 148.047 jiwa Meninggal Dunia: 2 jiwa Daerah Sebaran: Lhok Seumawe dan Bireuen
Riau Busung Lapar: 3 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 50.983 jiwa Daerah Sebaran: Kepulauan Riau
Lampung Busung Lapar: 17 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 162.186 jiwa Meninggal Dunia: 2 jiwa Daerah Rawan: Bandarlampung
Banten Busung Lapar: 11 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 88.391 jiwa Meninggal Dunia: 4 jiwa Daerah Sebaran: Lebak, Serang, Tangerang
DKI Jakarta dan Bogor Busung Lapar: 7 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 165.417 jiwa Daerah Sebaran: Jakarta Utara dan Bogor
Jawa Barat Busung Lapar: 108 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 486.255 jiwa Daerah Sebaran: Tasikmalaya, Kuningan, Cirebon, Cianjur
Jawa Tengah Busung Lapar: 1 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 409.469 jiwa Meninggal Dunia: 3 jiwa Daerah Sebaran: Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sragen, Solo, Tegal, Semarang
Jawa Timur Busung Lapar: 1.875 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 666.250 jiwa Meninggal Dunia: 25 jiwa Daerah Sebaran: Madiun, Batu, Malang, Bondowoso, Jember, Kediri, Ponorogo, Banyuwangi
Kalimantan Barat Busung Lapar: 349 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 63.860 jiwa Daerah Sebaran: Tak Terdata
Kalimantan Selatan Busung Lapar: 16 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 45.379 jiwa Daerah Sebaran: Tak Terdata
Sulawesi Barat Busung Lapar: 3 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 21.577 jiwa Daerah Sebaran: Tak Terdata
Nusa Tenggara Barat Busung Lapar: 903 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 136.372 jiwa Meninggal Dunia: 21 jiwa Daerah Sebaran: Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Bima, Kota Bima, Dompu.
Nusa Tenggara Timur Busung Lapar: 285 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 178.027 jiwa Meninggal Dunia: 32 jiwa Daerah Sebaran: Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Sikka, Manggarai, Sumba Timur, dan Sumba Barat, Rote Ndao
Maluku Utara Busung Lapar: 10 jiwa Gizi Kurang dan Buruk: 16.943 jiwa Daerah Sebaran: Tak Terdata
Papua Gizi Kurang dan Buruk: 69.883 jiwa Meninggal Dunia: 1 jiwa Daerah Sebaran: Yapen Waropen, Jayapura, dan Jayawijaya
Sumber: Departemen Kesehatan dan Tempo News Room. Data Januari–Juni 2005
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo