Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Otonomi dan Perut yang Membusung

Otonomi daerah dituding menjadi sumber meledaknya wabah busung lapar. Pengelolaan kesehatan diserahkan kepada daerah, tapi anggaran cekak.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA Iman meruapkan rasa takut. Bocah dua tahun itu gentar ketika dua perawat Rumah Sakit Umum Sulawesi Tenggara mendekatinya. Tangisnya terdengar saat seorang perawat menusukkan jarum ke jarinya untuk mengambil contoh darah. Perutnya membuncit, tulang iganya menonjol. Pandangan sayunya terselip di matanya yang cekung. Tungkai kaki dan tangannya mengecil. Ia menangis lirih: Imam bahkan tak punya cukup tenaga untuk bersuara.

Bocah itu mengidap busung lapar? "Belum tentu. Saya yakin anak itu cuma kena gizi buruk," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Kendari, dr Jefri Siahaan. Saat dijenguk Tempo, Kamis pekan lalu, Iman sudah dua hari menginap di rumah sakit.

Sebelumnya, anak bungsu dari sembilan bersaudara itu hanya tergeletak lunglai di rumahnya yang sederhana di Kelurahan Puwatu, Kendari. Beruntung, ada Agista Ariyani Ali Mazi, istri Gubernur Sulawesi Tenggara, yang segera mendatangi rumah keluarga Iman. Agista tergerak karena membaca koran lokal yang memberitakan kondisi mengenaskan anak pasangan Rasidi dan Mburi itu. Ibu Gubernur segera memboyong Iman ke rumah sakit.

Rasidi, yang sehari-hari memulung sampah, mengaku tak mampu memberi makan yang layak bagi anak-anaknya. "Boro-boro ke posyandu yang jauhnya 4 kilometer dari rumah ini," katanya. Berpendapatan tak pernah lebih dari Rp 30 ribu per hari, mereka sudah bersyukur jika masih bisa mengepulkan asap dapur saban hari.

Di lingkungannya, Rasidi tak menanggung lara sendirian. Menurut Lurah Puwatu, Saharuddin L., dari 1.060 keluarga di wilayahnya, ada sekitar 540 keluarga yang semiskin Rasidi. "Jadi, balita yang mengalami gizi buruk kemungkinan juga cukup banyak," katanya mengaku.

Kenyataannya, menurut data Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara, seluruhnya terdapat lebih dari 700 balita yang mengalami gizi buruk di provinsi itu. Jumlah terbesar, eloknya, ada di ibu kota Provinsi Kendari. Sisanya tersebar di berbagai kabupaten, di antaranya Buton, Muna, dan Wakatobi (lihat, Kami Hanya Makan Bubur Garam).

Sulawesi Tenggara adalah wilayah kesekian di negeri ini yang terdeteksi kena wabah busung lapar. Semula kabar tentang munculnya penyakit itu merebak dari dua provinsi yang bertetangga: Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Lalu, seperti rentetan mercon-renteng, ledakan busung lapar muncul di mana-mana. Beberapa pejabat provinsi melaporkan di wilayahnya juga terdapat warga yang mengidap busung lapar.

Di Jawa Tengah, kawasan yang kondang sebagai lumbung beras, ditemukan lebih dari 400 ribu kasus. Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto buru-buru menjelaskan berbagai pencegahan yang telah dilakukan. Sedikit ke barat, kasus serupa ditemukan juga di Cirebon. Lebih dari 4.000 anak dipastikan menderita kekurangan gizi—12 di antaranya "ditetapkan" dalam kondisi paling parah.

Masih banyak lagi temuan serupa di Jawa Timur dan Lampung. Hingga pekan lalu, sekurangnya 90 anak balita meninggal dunia akibat busung lapar.

Busung lapar secara ringkas disebabkan oleh kurangnya asupan gizi. Dokter Rahmat Sentika, mantan Deputi Menteri Negara Urusan Wanita, mengatakan gejala ini disebabkan kurangnya energi-protein. Penyebabnya berbagai macam, mulai dari pola makan yang salah sampai kemiskinan.

Dari literatur, diketahui ada tiga macam gizi buruk: marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor. Masing-masing memiliki tanda-tandanya yang khas. Marasmus, misalnya, dikenali lewat kondisi balita yang amat kurus, dengan wajah seperti orang tua dan perut buncit. Tanda khas kwashiorkor, antara lain, adanya edema atau bengkak pada kaki, tangan, atau anggota badan lain, lesu dan terlihat sengsara. Marasmik-kwashiorkor merupakan kombinasi keduanya. Untuk semua kategori medis itu, di mata masyarakat hanya ada satu istilah: busung lapar.

Dokter Rahmat mewanti-wanti, dampak gizi buruk ini sungguh bikin perih. "Gizi buruk menyebabkan pembentukan otak tidak optimal karena kurangnya asam amino. Akibatnya, untuk lulus sekolah dasar pun mereka tak mampu." Data menunjukkan, sekitar 8,3 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun dicengkeram gizi buruk. Angka ini hanya sedikit lebih baik dari India.

Tetapi kenapa wabah busung lapar ini seperti meledak pada tahun ini? Dokter Rahmat menepis anggapan itu. Menurut dia, kasus busung lapar sebenarnya sudah ditemukan dalam dua tahun terakhir. Katanya, dalam dua tahun, balita penyandang gizi buruk hampir sepersepuluh dan pengidap gizi kurang mencapai separuh. "Laporan Departemen Kesehatan maupun Unicef semuanya menyatakan demikian."

Data yang digunakan untuk penyusunan Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 idem dito. Di sana disebutkan 5-17 persen anak Indonesia lahir dengan berat badan lahir rendah, sepertiga anak balita berstatus gizi buruk, dan hampir seperlimanya berstatus kurus. PNBAI adalah program buah kesepakatan antara beberapa kelompok kerja di lingkungan pemerintah, yakni Kelompok Kerja Kesehatan, Pendidikan, Perlindungan Anak, dan Penanggulangan HIV/AIDS.

Rahmat berpendapat, sejak diterapkan otonomi daerah, pos pelayanan terpadu (posyandu) dan puskesmas mengalami penurunan kemampuan. "Padahal di posyandu inilah bisa dideteksi anak-anak yang mengalami masalah gizi," katanya. Memang ada enam kegiatan pokok dalam setiap posyandu, mulai dari penimbangan berat badan balita hingga penyuluhan. Jika berat badan seorang anak diketahui di bawah standar, posyandu bergerak cepat. "Kepada yang bersangkutan akan segera diberikan makanan tambahan," ujar Rahmat, salah satu dokter yang pada 1982 ikut membidani lahirnya posyandu.

Menurut Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof dr Ascobat Gani MPH, kini dari sekitar 250 ribu unit posyandu, 40 persen lebih di antaranya tak berfungsi "Sebabnya adalah karena minimnya dana operasional," katanya.

Penurunan kemampuan puskesmas ini salah satunya disebabkan oleh dicabutnya program wajib kerja sarjana bagi dokter-dokter yang baru lulus. Jumlah bidan desa juga kian menyusut. Dari sekitar 68.700 desa di Indonesia, yang memiliki bidan hanya 37 persen saja. Padahal dulu nyaris semua desa memiliki bidan. Minimnya pasokan bidan ini disebabkan oleh dihapusnya Sekolah Pendidikan Kebidanan jenjang satu tahun, karena akan diganti dengan program D3 kebidanan yang baru dibuka pada tahun 2006/2007.

Institusi lain yang juga menjadi tonggak kegiatan posyandu, tetapi kini bagai mengalami "lumpuh layuh", adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Badan ini dulu ikut memantau status gizi keluarga lewat laporan yang diterimanya dari posyandu. Dengan kaki birokrasi yang menjangkau ke kabupaten/kota, BKKBN cukup ampuh mendeteksi setiap gejala gangguan kesehatan masyarakat itu.

Tetapi kini hal itu sulit dilakukan lagi. "BKKBN kini hanya memiliki instansi di tingkat provinsi. Desentralisasi menyebabkan tugas-tugasnya yang dulu kini diambil alih pemerintah kabupaten/kota," kata Kepala BKKBN Sumaryati. Celakanya, pemerintah daerah kemudian "mencangkokkan" fungsi pemantauan kesehatan warga itu ke instansi lain, seperti kantor catatan sipil dan kependudukan.

Seluruh kondisi itu menciptakan rangkaian musabab yang membikin pelayanan kesehatan di pedesaan susut drastis. "Kemampuan infrastruktur kesehatan menjadi menurun," Rahmat menegaskan. Dia menunjuk hal itu terjadi sejak diberlakukannya otonomi daerah. Konsekuensi otonomi adalah dana kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

Sialnya, nyaris di semua pemerintah daerah, anggaran terkuras untuk pembiayaan rutin seperti membayar gaji pegawai dan anggota parlemen. Di Kabupaten Takalar, sekadar mengambil contoh, 57 persen anggaran dijatahkan untuk gaji pegawai. Untuk kesehatan hanya disisakan tiga persen, sementara pendidikan cuma kebagian remah-remah satu persen saja.

Di Kota Kendari, yang membukukan APBD 2005 sebesar Rp 227,520 miliar, sebagian atau hampir tiga perempat anggaran dipakai untuk belanja rutin. Anggaran kesehatan hanya Rp 14 miliar. Ironisnya, dari dana secuil itu cuma kurang dari sepertiganya yang digunakan untuk pelayanan publik. Selebihnya dimanfaatkan untuk membeli mobil dan motor dinas, rehabilitasi rumah dinas dokter, serta perluasan puskesmas.

Sudah jatuh tertimpa tangga, anggaran yang disediakan untuk Departemen Kesehatan pun hampir semua dialokasikan untuk Asuransi Kesehatan (Askes). Dengan kata lain, nyaris semuanya digunakan untuk kegiatan kuratif, bukan preventif.

Alokasi anggaran yang pro-Askes itu sedikit-banyak bikin repot daerah. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo, Lestariyono, sejak anggaran kesehatan dikelola oleh PT Askes, tidak ada lagi dana untuk pemberian makanan tambahan bagi balita. "Hal itu berlangsung sejak Januari 2005," katanya.

Agar kegiatan posyandu di kawasan itu tak melempem, akhirnya Dinas Kesehatan setempat menyusun sendiri anggaran bagi pengadaan makanan tambahan. "Dananya tidak besar, karena program itu ditujukan bagi balita kurang gizi dari keluarga miskin," kata Lestariyono. Selama ini angka balita pengidap gizi buruk di Kulonprogo sekitar 300-an orang.

* * *

ADI, betulkah otonomi daerah adalah biang keladi dari semua malapetaka ini? Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari meyakininya. Ia bahkan sudah berancang-ancang bakal mengambil kembali (resentralisasi) 60 persen kewenangan daerah di sektor kesehatan dan pendidikan. Pernyataan itu dicetuskan Fadilah saat berkunjung ke Kupang, Senin pekan lalu.

Tapi survei yang dilakukan Bank Dunia dan Universitas Gadjah Mada menunjukkan fakta lain. Kata mereka, otonomi daerah justru meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi. Survei yang hasilnya diumumkan Kamis pekan lalu itu dilakukan di delapan provinsi dan meliputi 32 kabupaten/kota dengan 1.815 keluarga yang menjadi responden.

"Mayoritas warga Indonesia dapat merasakan adanya peningkatan dalam pelayanan publik sejak diterapkannya desentralisasi," kata Andrew Steer, Direktur Bank Dunia di Indonesia. Khusus sektor pelayanan kesehatan masyarakat, ada sekitar 65 persen yang menyatakan terjadinya peningkatan. Hanya sedikit yang menyatakan sebaliknya.

Hasil survei ini tampaknya bakal menjadi pembanding setara atas pendapat berbagai kalangan mengenai dampak buruk desentralisasi. Itulah sebabnya Ketua DPR Agung Laksono pagi-pagi sudah menentang keinginan Siti Fadilah menarik kembali kewenangan daerah. "Itu langkah mundur dan tidak sesuai dengan semangat reformasi," katanya.

Di Kendari, Iman tak mendengar debat Menteri Kesehatan dan Ketua DPR. Hidup bagi bocah itu terlalu buruk. Di tempat tidurnya, ia tergolek. Bahkan untuk bersuara pun ia tak bertenaga.

Tulus Wijanarko, Dedy Kurniawan (Kendari), Imron Rosyid (Solo), Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus