Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Busung Lapar itu

Karena kurangnya perhatian pemerintah, ribuan posyandu terbengkalai. Padahal pos pelayanan kesehatan cuma-cuma itu pernah menjadi tumpuan harapan warga tak mampu.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari telah tergelincir ketika Sukirman dan istrinya tiba di rumah sambil menggendong anak bungsu mereka. Keringat, debu, dan bau matahari masih lengket di tubuh. Ketiga anak-beranak dari Kampung Cibiru, Desa Cileles, itu baru saja berjalan kaki belasan kilometer pulang-pergi dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Ketika Tempo menemuinya Selasa pekan lalu, Sukirman, 40 tahun, tengah melepas lelah di serambi rumahnya. Ia baru saja mengantar Imah, anak bungsunya, berobat. Panas tinggi yang telah dua hari mendera anak berumur dua tahun itu membuatnya waswas. Apalagi belakangan muncul wabah polio dengan gejala panas tinggi pula. "Pemerintah sekarang tak memperhatikan kesehatan rakyat kecil," keluhnya dengan mata menerawang.

Ingatannya melayang pada 10 tahun silam ketika pos pelayanan terpadu (posyandu) biasa membantu setiap kampung di Kabupaten Lebak. Bidan yang bertugas mengontrol kesehatan anak-anak selalu datang seminggu sekali untuk memberikan penyuluhan dan pengobatan cuma-cuma. Sebagai ketua RT, Sukirman pun ikut menjaga kelangsungan hidup posyandu. "Saya selalu mengajak warga mengontrol kesehatan anaknya," ujarnya.

Di masa lalu, posyandu dimaksudkan sebagai pos layanan masyarakat untuk menciptakan keluarga yang sehat dan sejahtera. Kegiatannya meliputi konseling, pelayanan KB, imunisasi, penimbangan anak, dan gizi. "Karena saat itu semua kebijakan tersentralisasi, kondisi kesehatan masyarakat pun terpantau," kata Deputi Menteri Urusan Peranan Wanita, Dr Rahmat Sentika, pekan lalu.

Kebijakan kesehatan yang terpusat itu terwujud nyata dalam program posyandu, pekan imunisasi, karang gizi, penyuluhan KB (Keluarga Berencana), dan bidan desa. Kartu Menuju Sehat, yang dipakai untuk mencatat kondisi gizi balita, dipantau dengan teliti. Imunisasi dan obat-obatan tersebar merata, bidan desa pun diperbanyak. "Begitu berat balita di bawah garis merah, semua langsung teriak," kata Dr Sentika.

Selain menimbang balita, posyandu juga memberikan makanan tambahan berupa susu formula dan bubur kacang hijau. Selain iuran warga, ada pula bantuan pemerintah lewat Dinas Kesehatan. Semua di bawah pantauan puskesmas, Dinas Kesehatan, dan BKKBN dari tingkat pusat sampai daerah. Maka, program imunisasi, KB, dan peningkatan gizi balita pun sukses. Saat itu lagu Aku Anak Sehat pun diluncurkan sehingga hampir semua anak Indonesia hafal bait-bait lagu kampanye posyandu itu.

Namun, sejak krisis ekonomi melanda, paguyuban posyandu lumpuh dan nyaris tak berfungsi. Lagu Aku Anak Sehat mendadak jadi jarang dinyanyikan. Selain tak ada dana dan perhatian kecamatan, kunjungan bidan pun tak lagi ada. Karena itu, warga harus rela berjalan kaki dan berpanas-panas datang ke puskesmas untuk memeriksakan anak mereka. Padahal jarak ke puskesmas di kota kecamatan bisa mencapai belasan hingga puluhan kilometer dari desa mereka.

Sukirman lalu mengajak Tempo menengok sebuah bangunan tak jauh dari rumahnya. Dulu warga memakainya untuk kegiatan posyandu. Tapi rumah bercat putih itu kini terbengkalai. Dindingnya retak-retak, pintu dan kusen-kusennya raib, papan nama posyandu yang terbuat dari besi juga sudah diturunkan. "Plang ini jatuh menimpa seorang anak," tuturnya. Posyandu itu sudah tak berfungsi sejak tiga tahun lalu.

Sejak posyandu mati di kampungnya, warga desa pun kerap kembali mendatangi orang pintar atau dukun bila keluarga mereka sakit. Tapi, karena diagnosis sang dukun sering ngawur, si sakit malah bertambah parah. "Kemarin ada anak-anak sakit, ketika dibawa ke dukun katanya kerasukan setan. Setelah dibawa ke rumah sakit, katanya anak itu kekurangan gizi," katanya.

Kematian ratusan posyandu itu diakui Bupati Lebak, Mulyadi Jayabaya. "Semuanya tersebar di 195 desa," ujarnya. Dampaknya pun mulai terlihat. Baru-baru ini Dinas Kesehatan Lebak menemukan 42 balita menderita campak, 76 terkena lumpuh layuh, dan 1.973 kekurangan gizi. Lumpuhnya posyandu karena tak ada kucuran dana akhirnya membuat pemerintah tak bisa mengontrol kesehatan masyarakat.

Lebih dari 60 persen dari 6.502 posyandu di Provinsi Nusa Tenggara Timur juga mati. Kendalanya hanya satu: tak ada biaya operasional. Posyandu yang masih berjalan hanya mengharap swadaya masyarakat. Pemerintah tak menyediakan dana insentif khusus untuk menggairahkan posyandu. Akibatnya, Nusa Tenggara Timur kini termasuk daerah yang terancam "wabah" busung lapar, kurang gizi, dan lumpuh layuh.

Bal Bima Alves, 32 tahun, mengaku bahwa sejak 2002 anaknya tak pernah mendapat layanan kesehatan karena posyandu tak berfungsi. Pemberian makanan tambahan padat gizi juga terhenti. Padahal, karena deraan kemiskinan, ia hanya mampu memberikan jagung dan ubi rebus untuk anak-anaknya. Belakangan Yasinta Monteiro, anaknya, kena busung lapar. "Kami tak bisa ke puskesmas atau dokter karena mahal," katanya kepada Jems de Fortuna dari Tempo.

Ratusan posyandu di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, dalam keadaan yang tak jelas wujudnya. Secara fisik keberadaannya tak tampak, namun sejumlah warga mengakui posyandu di desa mereka masih aktif. Salah satunya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Wates. Tapi Nyonya Iin, istri perangkat desa, mengakui aktivitas posyandu tak seperti di masa lalu. "Semua tergantung bidan. Jika tidak datang, ya, berarti nggak ada acara," ujarnya.

Di kaki Gunung Kelud itu, posyandu ditempatkan di rumah-rumah kepala dusun. Rumah itu pun tak menyediakan tempat khusus. Paling-paling di depan rumah hanya terpampang papan putih kecil bertuliskan posyandu. Simbol lain yang menunjukkan posyandu hanya sebuah pamflet usang bergambar seorang ibu menggendong bayi, yang diterbitkan Departemen Kesehatan di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Meski keberadaannya tidak seperti dulu, warga Desa Sidomulyo masih mempercayakan kesehatan bayinya pada posyandu. Namun, karena fasilitas sangat minim, banyak orang tua yang secara ekonomi mampu cenderung membawa bayinya ke rumah bidan atau dokter untuk imunisasi. "Yang tak mampu, ya, harus menunggu welas asih bidan yang datang ke posyandu," kata Iin kepada Dwidjo Maksum dari Tempo.

Untuk ukuran jumlah, posyandu di Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bisa dibilang luar biasa. Ada 930 buah posyandu yang tersebar di 88 desa, di 12 kecamatan di kabupaten itu. Hanya empat dusun yang tak punya posyandu. Namun, tak semua posyandu aktif. Beberapa posyandu di pelosok dusun di Kecamatan Samigaluh dan Kokap sudah pingsan. Aktivitas posyandu itu maksimal hanya sebulan sekali. Itu pun hanya sebatas penimbangan balita.

Banyak kendala yang dihadapi posyandu untuk berkiprah. Salah satunya, makin sulit mencari kader PKK (pendidikan kesejahteraan keluarga) yang mau jadi sukarelawan. Padahal, untuk melaksanakan kegiatan, setidaknya butuh lima kader. "Wanita muda sebagian memilih menjadi TKW (tenaga kerja wanita) atau bekerja di pabrik," kata Wiwik Toyo, Ketua Penggerak PKK Kulonprogo. Sedangkan PKK hanyalah kerja sosial dan tidak dibayar.

Repotnya, sejak urusan kesehatan masyarakat dikelola PT Askes pada Januari 2005, kini tak ada lagi dana untuk posyandu, apalagi untuk pemberian makanan tambahan balita. Dulu dana dari pusat langsung ke puskesmas, lalu puskesmas yang menyalurkannya hingga ke desa. "Tapi kini, selain tak ada anggaran, data penduduk yang berhak mendapat pelayanan kesehatan gratis versi PT Askes sangat njomplang dari kondisi riil," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo, dr Lestariyono.

Akhirnya, setelah hantu busung lapar muncul, pemerintah mulai teringat kembali akan program posyandu yang telah lama tersia-siakan. Saat ini pemerintah mengalokasikan Rp 75 miliar untuk merevitalisasi posyandu PKK. "Dana itu untuk selama enam bulan," kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Dengan anggaran itu, 250 ribu posyandu di seluruh Indonesia masing-masing akan mendapat Rp 50 ribu per bulan.

Beberapa daerah pun secara proaktif telah menganggarkan dana ekstra. Pemerintah Kabupaten Lebak, misalnya, menerapkan model pelayanan kesehatan jemput bola bagi keluarga miskin. Untuk program ini, mereka harus menyiapkan Rp 6 miliar per tahun dari APBD. Selain itu, 100 unit motor disediakan untuk operasional bidan desa yang bertugas menghidupkan kembali 1.534 buah posyandu di daerahnya. "Target kami, seminggu sekali posyandu harus beraktivitas," kata Bupati Lebak, Mulyadi.

Tentu semua berharap lagu Aku Anak Sehat tak lagi hanya jadi nyanyian sumbang yang menyedihkan.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Faidil Akbar (Lebak) dan Syaiful Amin (Kulonprogo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus