Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter Hardiono D. Pusponegoro terperanjat. Begitu memasuki Ruang Dahlia di Rumah Sakit Umum Mataram, Nusa Tenggara Barat, dia melihat seorang anak di bawah usia lima tahun yang disuapi nasi bungkus, Rabu pekan lalu. Lauknya sambal dan ikan asin. "Kenapa anak ini diberi nasi?" Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia ini bertanya pada seorang ibu. "Anak ini suka, kok," jawab perempuan itu enteng. Dia juga ikut mengunyah nasi bungkus yang sama.
Jika si anak bergizi bagus, Hardiono tak akan terkejut. "Apalagi mereka mengaku sudah sering memberi makan anaknya dengan nasi," katanya. Masalahnya, bocah bernama Yando yang baru berusia 28 bulan itu menderita kurang energi-protein (KEP) alias bergizi buruk. Dia bertubuh ceking dengan berat badan 5,8 kilogram. Yando berada satu ruang dengan 15 anak lainnya yang bernasib sama.
Menurut Rachmat Sentika, seorang dokter anak dari Jakarta yang ikut ke Ruang Dahlia bersama Hardiono, anak yang kurang energi-protein tak bisa diberi makanan orang dewasa. Enzim dalam perutnya belum kuat untuk menghancurkan makanan. "Sama saja dengan mencekiknya. Bisa membahayakan jiwanya," kata Rachmat.
Penyakit kurang energi-protein, yang diderita Yando dan kawan-kawannya, berjenjang kadarnya. Yang paling ringan disebut kurang gizi. Pada tahap ini, berat badan anak hanya 60-80 persen dibandingkan dengan bocah normal.
Jika keadaan kurang gizi dibiarkan, bisa menyebabkan kwashiorkor. Penyakit karena kekurangan protein ini diperkenalkan Dr Cecile Williams pada 1933, sewaktu ia berada di Gold Coast, Afrika. Istilah kwashiorkor diambil dari bahasa daerah setempat, artinya penyakit yang timbul pada anak pertama karena telantar setelah adiknya lahir. Si anak menjadi kekurangan protein setelah disapih.
Ciri yang paling menonjol pada penderita kwashiorkor terlihat pada perutnya yang buncit. Berat badannya juga jauh dari normal. Itu sebabnya penyakit ini di Indonesia sering disebut busung lapar. Penderita busung lapar akan mudah terserang infeksi seperti diare, infeksi saluran pernapasan atas, TBC, polio, dan penyakit menular lainnya.
Apabila si anak mengalami kekurangan energi dan protein sekaligus, ia akan menjadi kurus sekali. Gejala ini disebut sebagai marasmus, berasal dari bahasa Yunani yang berarti kurus-kering. Ada juga bocah yang memiliki gejala marasmus maupun kwashiorkor. Dalam dunia kedokteran, ia disebut mengalami marasmik-kwashiorkor.
Menurut Hardiono, sejumlah bocah di NTB dan juga daerah lain mengalami kwashiorkor atau busung lapar. Ini amat berbahaya karena akan berpengaruh pada perkembangan otaknya. Jika tak segera ditangani serius, pertumbuhan otaknya bisa berhenti. Usia yang paling rentan adalah dari nol hingga dua tahun. "Sebab, pada usia itu, otaknya berkembang setiap jam," katanya.
Buat menghindari dampak buruk, si anak perlu diberi asupan formula berupa campuran susu skim (tanpa lemak), gula, dan minyak. Formula ini diberikan secara bertingkat sesuai dengan kondisi tubuhnya. Ada formula 75 atau F75 yang berarti dalam setiap 100 cc mengandung 75 persen kalori, ada pula F100.
Umumnya orang tua penderita busung lapar tak paham mengenai asupan yang mesti diberikan kepada anaknya. Sebagai contoh, Nyonya Rodia yang kini menjaga anaknya, Humaeroh, 18 bulan, yang sedang dirawat di Ruang Kenanga Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Serang. Warga Kubang, Kemericik, ini bingung jika ditanya soal asupan formula.
Yang dia tahu, suaminya, Hawasih, pontang-panting cari duit buat makan sembilan anaknya. Namun, apa daya, dia hanya buruh bangunan. Walaupun istrinya sudah ikut banting tulang menjual kue, keluarganya tetap kurang sejahtera. Rodia mengaku hanya mampu memberikan makan nasi dan garam kepada anak anaknya. "Kalau berasnya tidak cukup, ya, dibikin jadi bubur," katanya.
Celakanya, pihak rumah sakit yang menangani anak-anak busung lapar kerap pula kekurangan makanan formula. Ini berdasarkan pemantauan Dokter Hardiono dan Rachmat, yang mengunjungi kawasan NTB dan Banten pekan lalu. Penyebabnya, terlalu banyak pasien yang mesti dilayani, sementara dana bantuan dari pemerintah belum turun. "Saat itulah saya baru paham kenapa sampai ada anak gizi buruk yang menyantap makanan orang dewasa," kata Dokter Rachmat.
Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia, rata-rata anak bergizi buruk mencapai 8,3 persen dari jumlah bayi, yakni sekitar 1,8 juta balita. Diperkirakan 30 persen di antaranya disertai tanda-tanda klinis busung lapar. Ini sungguh memprihatinkan. "Jadi, bakal ada satu generasi yang tak bermutu nanti," katanya.
Siapa yang mesti disalahkan? "Itu refleksi sistem informasi yang tidak berjalan," kata Prof Budi Utomo, peneliti dari Pusat Penelitian Kesehatan Sejahtera Universitas Indonesia. Dia menegaskan, pemerintah telah kecolongan. "Masalah gizi buruk semestinya sejak dulu ditangani," katanya.
Budi menganjurkan agar pemerintah segera memperbaiki sistem informasi kesehatan masyarakat. Sebenarnya sejak 1982 sistem seperti ini sudah ada, yaitu kewaspadaan pangan dan gizi anak. Pelaporannya berjenjang mulai dari tingkat paling bawah, yaitu pos pelayanan terpadu (posyandu), puskesmas, lalu ke Dinas Kesehatan hingga ke Departemen Kesehatan dan BKKBN Pusat.
Pada masa itu, posyandu yang menemukan anak kurang gizi segera melarikannya ke puskesmas atau rumah sakit untuk mendapat perawatan. "Negara sudah mengeluarkan biaya ratusan miliar untuk membangun jaringan seperti ini," kata Rachmat, yang menggodok posyandu pada 1982.
Hardiono juga mengungkapkan, ketika bertugas di salah satu puskesmas di NTB pada 1977, dia tak pernah menemukan bocah busung lapar. Waktu itu petugas puskesmas sudah dibekali sepeda motor untuk mengelilingi desa dan menimbang anak-anak, sehingga semuanya bisa terpantau. "Saya tak pernah menemukan kasus busung lapar," katanya.
Sayangnya, sistem ini lenyap sejak 1997. Dan meledaklah kasus busung lapar. Untuk mencegah keadaan lebih parah, Hardiono maupun Rachmat menganjurkan agar pemerintah melakukan penimbangan massal. Misalnya dengan menerapkan bulan penimbangan atau pekan penimbangan. Dari sini akan ditemukan data faktual tentang gizi buruk yang terjadi di Indonesia.
Hanya, langkah itu harus diikuti dengan penyediaan pangan yang cukup dan peningkatan daya beli masyarakat. "Sebagai contoh, harga bahan makanan pokok seperti ikan di NTB sebenarnya lebih murah dibandingkan dengan di Jakarta. Tapi masyarakat tetap tidak mampu membelinya," ujar Hardiono.
Bila dua masalah utama itu teratasi, baru bisa disosialisasi pentingnya makanan bergizi bagi anak. Para ibu pun perlu diberi penjelasan bagaimana menangani anak-anak penderita busung lapar. Sehingga, tak ada lagi makan nasi berlauk sambal dan ikan asin di rumah sakit.
Nurlis E. Meuko, dan Faidil Akbar (Banten)
Akibat Gizi yang Buruk
Kurang energi-protein. Itulah istilah yang biasa digunakan dalam dunia kedokteran. Istilah ini untuk menggambarkan gejala umum akibat kekurangan gizi. Kadarnya bertingkat, dari yang paling rendah yaitu kurang gizi sampai pada penderita kwashiorkor alias busung lapar. Inilah ciri-cirinya:
Kurang Gizi
Kwashiorkor (busung lapar)
Marasmus (kurus kering)
Marasmik-Kwashiorkor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo