Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA dasawarsa silam, tampang "makhluk angkasa luar" itu hanya terlihat di televisi. Kini mereka ada di sekitar kita. Sejak beberapa bulan lalu, busung lapar dengan mudah ditemukan di berbagai daerah, dari pedesaan di Nusa Tenggara Timur hingga pinggiran Tangerang, yang hanya belasan kilometer dari Jakarta.
Hingga pekan lalu, sudah 49 jiwa direnggut busung lapar. Lima juta anak lain menderita kurang gizi, ratusan ribu lagi mengidap gizi buruk. "Akarnya adalah kemiskinan," kata Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab. Jelas, dong.
Pada saat ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan lebih dari 30 juta orang. Itu angka pemerintah. Bank Dunia memperkirakan angka kemiskinan di Indonesia kini mencapai separuh penduduk Indonesia, atau lebih dari 110 juta jiwa. Pengeluarannya di bawah US$ 2 per hari atau Rp 570 ribu per bulan.
Yang masuk kategori miskin absolut sekitar 20 persen, dengan pengeluaran di bawah US$ 1 per hari. Ukuran Bank Dunia memang berbeda dengan Badan Pusat Statistik, yang menggunakan batas 2.100 kalori per hari atau sekitar Rp 122 ribu per bulan.
Krisis ekonomi 1997 banyak dituding sebagai penyebab ambruknya kehidupan di Indonesia. Pada 1996, tingkat kemiskinan di Indonesia sudah tinggal 11 persen (versi Bank Dunia 50,1 persen). Tapi, dua tahun kemudian kemiskinan berlipat menjadi 24 persen (Bank Dunia di atas 65 persen).
Dua tahun terakhir ini ada sedikit perbaikan. Orang miskin versi pemerintah masih 16-17 persen, sedangkan versi Bank Dunia sudah di bawah 50 persen. Riset BPS memperlihatkan, kemiskinan banyak terjadi di pedesaan, antara lain dipicu jumlah penduduk yang padat, tanah yang semakin mandul, harga jual hasil panen yang supermurah, serta tiadanya alternatif sumber penghasilan.
Berbeda dengan perkotaan. Hasil penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan tingkat upah buruh di perkotaan merupakan tuas yang menaik-turunkan angka kemiskinan. Pada saat upah buruh rendah, persentase kemiskinan melonjak, begitu pula sebaliknya.
Tahun lalu, misalnya, kenaikan upah 22 persen dapat menekan kemiskinan hingga 16 persen. Sialnya, tak banyak jalan untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Satu di antaranya adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Dengan target pertumbuhan 5,5 persen pada 2005, pemerintah berharap dapat menggunting angka penduduk miskin 1,65 persen. Persentase orang miskin pada 2006 diharapkan turun lagi menjadi 13,3 persen, dengan catatan pemerintah dapat menggapai pertumbuhan 6,1 persen.
Dengan kaitan yang sangat erat itu, tak mengherankan bila dalam kampanye calon presiden yang lalu para kandidat mengobral janji menarik investasi sebesar-besarnya dari luar. Investasi akan mengerek angka pertumbuhan, dan membuka lapangan kerja. Namun investasi yang terpusat di kota tak akan berdaya mengurangi kemiskinan di pedesaan.
Di tengah wabah busung lapar, pekan lalu pemerintah melempar lagi gagasan usang, yaitu mengucurkan kredit kepada usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Yang baru dari gagasan ini adalah rencana penggunaan asuransi untuk menjamin pengembalian kredit dari UMKM, yang biasanya tak mampu memberikan jaminan. "Supaya bank tak rugi," ujar Alwi. Tahun ini, menurut catatan Bank Indonesia, alokasi kredit untuk UMKM mencapai Rp 60,4 triliun.
Melihat gagasan Alwi, uang sepertinya bukan penghalang utama bagi pemerintah untuk memberantas kemiskinan. Dalam anggaran tahun lalu, dana yang disiapkan pemerintah untuk memberantas kemiskinan mencapai Rp 19,9 triliun. Namun, dengan dana yang tak bisa dibilang kecil itu, busung lapar, sebagai puncak gunung es kemiskinan, masih saja berkibar-kibar. "Busung lapar lebih disebabkan koordinasi yang macet," ujar Sumedi Andono Mulyo, Kepala Sub-Direktorat Pembangunan Daerah Tertinggal Bappenas.
Thomas Hadiwinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo