Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah melewati pe-run-ding-an yang rumit selama sete-ngah tahun, dan ter-akhir pada pu-taran kelima di Helsinki dua pe-kan lalu, GAM akhirnya se-tuju tetap berada di dalam Republik Indonesia. Salah satu syaratnya, warga Aceh dibolehkan mendirikan partai lokal. Hal ini cukup mengejutkan ba-nyak pihak.
Tentu, semua sikap GAM itu di bawah kendali Malik Mahmud al-Haytar, 67 tahun. Sejak tiga tahun lalu, Hasan di Tiro, 87 tahun, pucuk pemimpin GAM yang kini bermukim di Swedia, menunjuk Malik menjadi perdana menteri. Kini, sang ”wali negara” Hasan di Tiro sudah begitu tua dan dilaporkan sering sakit-sakitan. Praktis, sehari-hari Malik menjadi orang ”nomor satu”.
Meski dulu namanya jarang muncul, Malik bukanlah orang baru bagi gerak-an bersenjata itu. Dia adalah Menteri Negara GAM sejak kelompok pemberontakan itu berdiri pada 1976. Kini, di bawah kendalinya, sejarah politik gerak-an itu tampaknya berubah: memilih damai dan bertarung lewat jalan demokratis. ”Rakyat Aceh sudah terlalu menderita akibat konflik dan juga bencana tsunami,” ujar Malik.
Gaya bicaranya pun kini terdengar agak bijak. Misalnya, dia meminta semua pihak, baik pendukung GAM maupun RI, agar yakin dan tenang dengan proses perubahan politik di Aceh nanti. Kepada wartawan Tempo Nezar Patria, Malik menjelaskan alasan mengapa GAM berkeras menuntut partai lokal. Berikut petikan wawancara lewat telepon, Rabu pekan lalu.
Mengapa tuntutan partai lokal ini sangat penting bagi GAM?
Sejak berada di dalam Republik Indonesia, rakyat Aceh selalu kecewa. Sebabnya, pemerintahan yang pernah berdiri di Aceh tak betul-betul mewakili aspirasi yang berkembang di masyarakat. Dengan pengalaman itu, dalam upaya penyelesaian masalah Aceh, GAM menuntut agar rakyat Aceh punya partai politiknya sendiri, yang sesuai de-ngan aspirasi rakyat Aceh.
Ada kecurigaan, dengan partai lokal itu, GAM hendak menguasai parlemen Aceh dan lalu membuat referendum untuk merdeka?
Dalam pembicaraan di Helsinki, kita tak pernah menuntut atau malah menyebut soal referendum. Yang kita minta, partai lokal bisa berdiri di Aceh. Kami tak pernah keluar dari keperluan tersebut.
Apakah GAM akan bertransformasi menjadi partai politik lokal?
Mendirikan partai politik adalah hak bagi semua orang Aceh, termasuk bagi GAM sendiri. Kami mau proses demokrasi sungguh-sungguh berlaku di Aceh.
Partai milik GAM itu akan tetap membawa program merdeka?
Sesuai dengan apa yang telah dise-pa-kati di dalam memorandum of understanding (MoU), bahwa Aceh tetap di bawah Republik Indonesia. Dalam konteks itu, ide merdeka menjadi tidak re-levan.
Kesempatan partai lokal pasti akan dipakai juga partai lain yang berbasis nasional. Apakah GAM siap bersaing dengan kekuatan politik itu?
Ya, secara demokratis kita siap bertanding dengan partai lain.
Artinya, siap bertanding dengan partai nasional seperti Golkar, PPP, PAN, PKS, dan lain-lain yang selama ini mendominasi politik di Aceh?
Ya, saya rasa demikian.
Anda yakin GAM bisa menang dalam pemilu lokal nanti?
Ya, kami yakin. Soalnya begini. Partai yang bertanding itu, atau partai yang mewakili GAM itu, adalah partai yang membawa aspirasi rakyat Aceh. Kemudian, pemilu itu diadakan secara demokratis. De-ngan kondisi itu, Kami yakin akan menang. Insya Allah apa yang diharapkan rakyat Aceh bisa tercapai.
Kalau GAM kalah dalam pemilu, apakah akan kembali ke gerakan bersenjata?
Kalau kalah pun, kami tidak akan kembali ke gerakan bersenjata. Dan memang bukan itu tujuan kami. Partai lokal yang berbasiskan kepenting-an Aceh nanti akan ba-nyak muncul. Semua orang Aceh akan ikut dalam pemilu lokal nanti. Karena itu, bagi kami tak ada persoalan siapa menang dan siapa kalah.
Soal pelaksanaan perjanjian damai itu, apakah amnesti lebih dulu atau pelucutan senjata?
Soal proses, saya belum bisa bicara. Kami terikat MoU. Tapi yang penting adalah menghentikan konflik lebih dulu, baru proses keamanan bisa berjalan.
Apakah GAM setuju menyerahkan semua senjata?
Menurut perjanjian, begitulah yang akan terjadi.
Panglima TNI bilang penarikan pasukan sejalan dengan pelucutan senjata. Kalau GAM menyerahkan 30 persen senjatanya, TNI non-organik yang ditarik dari Aceh juga 30 persen.
Sorry, saya tak bisa berkomentar masalah ini. Soalnya, ada klausul yang mengatakan, sebelum MoU diteken, kita tak bisa membuka materi kesepakatan itu ke publik. Saya menghormati kesepakatan itu.
Anda siap kembali ke Aceh untuk bertarung dalam pemilu lokal itu?
Ya. Semua anggota GAM yang sekarang berada di luar Aceh siap pulang.
Termasuk pemimpin GAM Teungku Hasan di Tiro?
Ya, saya rasa demikian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo