Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERMULA dari sirkus keliling, Yansen Manansang kini menjadi pebisnis suaka margasatwa ternama. Pria 77 tahun ini menekuni dunia satwa sejak dini bersama saudara kandungnya, Frans Manansang dan Tony Sumampau. Ayah mereka, Hadi Manansang, adalah kepala sirkus oriental pada 1965. Hingga 20 tahun kemudian, keluarga ini mendirikan Taman Safari Indonesia di -Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Taman Safari Indonesia (TSI) Group kini mengelola lima lokasi.
Nama Taman Safari Indonesia muncul di tengah penyidikan jaringan perdagangan ilegal satwa dilindungi, Dicky Rusvinda dan Abdul Hopir, di Bandung, Januari lalu. Taman Safari diduga menyimpan satwa-satwa dilindungi milik Dicky. Hopir juga diduga pernah menjual kucing emas ke Taman Safari. Kepada Mustafa Silalahi dari Tempo, Yansen membantah tuduhan itu. Selama wawancara di salah satu restoran Plaza Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 4 April lalu, ia ditemani sejumlah anak buahnya. Salah satunya kurator Taman Safari, Imam Purwadi, yang diduga pernah membeli satwa dilindungi dari pedagang ilegal.
Polisi menyita satwa dilindungi yang diduga barang hasil perdagangan ilegal dari tempat penampungan Taman Safari. Pihak Anda bisa dituduh terlibat.…
Memang ada satwa yang dititipkan ke kami. Rencananya akan kami laporkan ke balai konservasi sumber daya alam (BKSDA). Begitu sudah dibuat suratnya, besoknya polisi datang. Itu barang bukti yang sudah diincar. Itulah, kami kena sial. Kami kan benar, sudah melaporkan. Barangnya ada. Lagi pula, kami punya waktu tiga bulan untuk melaporkan. Kami tidak salah.
Kami mengantongi bukti kurator Taman Safari, Imam Purwadi, pernah membeli hewan dilindungi kepada salah satu jaringan perdagangan ilegal satwa dilindungi.
Saya sudah panggil Pak Imam. Soal itu, bukan urusan Taman Safari. Itu urusan pribadi. Pak Imam memang yang menangani satwa. Tapi bukan dia yang bertanggung jawab soal pembelian satwa. Jadi itu tidak ada kaitannya dengan kami.
Imam: Uang itu pinjaman. Atas nama saya sendiri. Tidak ada kaitannya dengan Taman Safari.
Kami memiliki dokumen yang menyebutkan uang itu untuk pembelian satwa Taman Safari.
Mengenai pembelian hewan, kami tak ada (transaksi seperti itu). Kami lembaga konservasi yang resmi. Kami sudah banyak sekali menangkarkan hewan. Kami, misalnya, memiliki gajah sebanyak 43 ekor dan komodo 40-50 ekor. Saya monitor semua. Kami lembaga besar. Seperti di Taman Safari Bali, jalak Jawa yang tadinya tidak ada, kami tangkarkan, lalu kami lepas.
Taman Safari juga menjadi tempat peni-tipan satwa dilindungi yang disita polisi. Beberapa sumber kami dari kalangan pemerhati satwa mengatakan ada sejumlah satwa titipan yang kemudian statusnya “diputihkan”.
Semua hewan yang sudah diputihkan, setiap dapat, kami laporkan. Tiap bulan, setiap ada satwa yang lahir, misalnya, itu semuanya kami laporkan. Itu aturan, hak dan kewajiban sebagai lembaga konservasi. Kalau dititipin, mau tidak mau saya terima, meski kami sudah punya banyak. Itu kewajiban kami. Mau kami jual atau tukar? Ke mana? Ke luar negeri? Semuanya mesti izin, riwayatnya harus jelas. Jadi tidak mudah.
Proses “pemutihan” itu, misalnya, terjadi ketika satwa-satwa yang dilindungi tersebut berasal dari para pedagang di pasar gelap. Karena takut terbongkar, hewan-hewan penitipan itu statusnya dibuat seolah-olah legal. Apa tanggapan Anda soal ini?
Semua kejadian di Taman Safari itu dilaporkan (ke BKSDA).
Bagaimana dengan keberadaan gudang penampungan yang pada Januari lalu digeledah polisi?
Tidak ada gudang. Itu untuk mengarantina satwa-satwa.
Imam: Itu untuk satwa-satwa yang terpisah dari grup mereka. Karena berantem, ada yang tersisih. Kami butuh tempat seperti itu. Kalau dijadikan satu terus, satwa-satwa itu akan mati. Jadi kami harus bawa mereka ke kandang seperti itu.
Bagaimana sebenarnya mekanisme penitipan hewan dilindungi di Taman Safari?
Kami karantina dulu. Itu diawasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Semua ada prosedur operasi standarnya. Lalu ada gudang-gudang peni-tipan itu.
Taman Safari Indonesia Group memiliki Batang Dolphin Center di Jawa Tengah. Kami mendapat informasi bahwa tempat itu menampung lumba-lumba dari nelayan.
Itu memang pusat lumba-lumba milik Taman Safari. Kami tidak berburu lumba-lumba, itu tempat perawatan.
Apakah satwa adalah bisnis utama TSI Group?
Mengelola satwa itu mahal karena makanan dan perawatan mereka. Maka, kalau kita bicara, kebun binatang itu bukan bisnis. Apalagi semua hewan itu milik negara. Bisnis utama kami adalah hotel, restoran, suvenir, dan lain-lain yang ada di Taman Safari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo