Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bermula dari Baja Trikora

Sejumlah direktur dan komisaris PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terbang ke kawasan industri Morowali di Sulawesi Tengah, pertengahan Maret lalu.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja di cold rolling mill PT Krakatau Steel, Cilegon, Banten, 2010./ Dok.TEMPO/Seto Wardhana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur utama perusahaan baja milik negara itu, Silmy Karim, memimpin rombongan menuju pabrik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel. Smelter penghasil bahan baku baja nirkarat itu dibangun mulai medio 2015 dan beroperasi pada akhir 2017. “Saya bawa tim melihat seperti apa di sana,” kata Silmy kepada Tempo, Senin, 1 April lalu.

Smelter di Morowali itu baru beberapa tahun berdiri, jauh bila dibanding pabrik baja Krakatau Steel di Cilegon, Banten, yang telah berumur setengah abad. Tapi, di balik smelter Morowali, ada Tsingshan Holding Group, raksasa baja dunia asal Cina. Di negara asalnya, Tsingshan baru berdiri pada 1992.

Tsingshan dan Krakatau kini bagai langit dan bumi. Padahal Krakatau didirikan Presiden Sukarno pada 1960. Pembangunan pabrik baja itu bertujuan mendukung industri nasional yang mandiri dan bernilai tambah tinggi.

Cikal-bakal pengolahan bijih besi sebenarnya muncul pada 1861. Pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun tanur di Lampung untuk mengolah bijih besi. Alat ini berbahan bakar batu bara. Fasilitas pengolahan itu mampu menghasilkan baja kasar untuk membuat suku cadang pabrik gula, karet, dan peralatan pertanian. Pada era pendudukan Jepang, sebuah tanur dibangun di Kalimantan Selatan, berbahan bakar batu bara. Namun gejolak perang dan revolusi fisik menyebabkan perintisan industri baja terhenti.

Pada 1956, pemerintah mulai memperhatikan industri baja. Menteri Perindustrian dan Pertambangan saat itu, Chaerul Saleh, bersama Djuanda dari Biro Perancang Negara—kini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional—menyusun cetak biru industri baja nasional. Biro Perancang Negara menggandeng konsultan asing untuk merintis industri baja yang bernama “Proyek Pabrik Baja Trikora”.

Studi kelayakan disusun. Cilegon dipilih sebagai lokasi pabrik karena memiliki beberapa kelebihan. Di sana tersedia lahan luas tanpa perlu mengalihfungsikan area pertanian. Sumber airnya pun berlimpah. Akses terbuka dari berbagai pulau untuk mendatangkan besi tua melalui Pelabuhan Merak juga menjadi daya tarik Cilegon.

Penandatanganan kerja sama pembangunan dengan Tyazpromexport (All Union Export-Import Corporation) asal Uni Soviet dilakukan pada 7 Juni 1960, dilanjutkan dengan peletak-an batu pertama pada 20 Mei 1962. Pembangunan terhenti karena gonjang-ganjing politik.

Proyek Trikora kemudian berlanjut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1970. Seremoni operasi dilakukan pada 31 Agustus 1970. PT Krakatau Steel (Persero) lantas disahkan dengan akta notaris pada Oktober 1971. Selama dekade pertama, Krakatau Steel bergerak membangun kawasan operasi terpadu di Cilegon.

Komisaris Krakatau, Ridwan Jamaluddin, menilai industri ini harus ada kalau negara ingin maju dan mandiri. Menurut dia, Krakatau Steel mencapai era kejayaan saat dipimpin Tunky Ariwibowo, yang memang ahli di sektor ini.

Sayangnya, menurut Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara Fajar Harry Sampurno, Krakatau Steel ditelantarkan. Dari sisi pasar, misalnya, Krakatau sempat “dibiarkan” saat dihajar serbuan barang impor tanpa label Standar Nasional Indonesia. Kini perusahaan memikul utang puluhan triliun rupiah.

Fajar memastikan pemegang saham berkomitmen menyelamatkan Krakatau. “KS sangat penting bagi negara,” ucapnya. Penyelamatan akan mencakup tiga aspek, yakni restrukturisasi usaha, sumber daya manusia, dan keuangan.

Bagi Silmy, nilai strategis Krakatau Steel terlihat bila perusahaan ini tidak hanya memiliki smelter, tapi juga pasokan hulunya, yakni tambang. “Dari tambang masuk ke smelter, lalu ke proses furnace, kemudian iron making, steel making, dan seterusnya.” Dari hulu sampai hilir, industri baja punya nilai strategis.

Saking strategisnya, kata Silmy, India sampai membuat Kementerian Baja. “Inilah nilai kompetitif suatu negara.”

RETNO SULISTYOWATI

Menambal Utang Pabrik Baja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus