Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stainless steel bisa saja tahan karat. Tapi perusahaan milik negara yang memproduksinya, Krakatau Steel, tidak tahan utang yang menjerat. Setelah merugi tujuh tahun beruntun, juga gali lubang tutup lubang utang jangka pendek, perusahaan baja pelat merah itu akhirnya melambaikan bendera putih.
Pada Februari lalu, Direktur Keuangan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Tardi menyurati tiga bank milik pemerintah: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Mandiri. Isinya menyebutkan emiten berkode KRAS itu sudah tidak sanggup lagi membayar utang perusahaan. “Seharusnya Pak Tardi mengancam gagal bayar sejak tahun lalu,” kata Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara, di kantornya di Jakarta, Jumat, 5 April lalu, membenarkan surat Tardi.
Isu gagal bayar utang Krakatau Steel itu kemudian merebak di antara pelaku pasar sepanjang Maret lalu. Apalagi tiga bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) tersebut tercatat paling banyak menggelontorkan kredit buat Krakatau. Mandiri yang paling besar.
Gunungan utang Krakatau Steel sudah bukan rahasia lagi. Hingga 28 Februari 2019, Krakatau punya batas kredit mencapai US$ 2,268 miliar atau Rp 32 triliun dengan kurs Rp 14.100. Adapun sisa utang pada akhir Februari lalu sekitar US$ 1,887 miliar atau Rp 26,6 triliun. Menurut Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim, bunga utang perusahaan tiap tahun mencapai Rp 2 triliun.
Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengatakan utang Krakatau sudah terlampau besar. Kemampuan perusahaan membayar seluruh kewajiban perusahaan makin jatuh. “Kalau dites sekarang, apakah sudah masuk kategori kesulitan keuangan sebelum akhirnya bangkrut, ini sudah masuk,” tutur Alfred, Selasa, 2 April lalu. Menurut Alfred, sejak 2015 pun kondisi Krakatau sudah masuk kategori tersebut.
Selama bertahun-tahun, manajemen Krakatau dianggap terlalu “baik”. Perusahaan masih rajin membayar utang kepada bank. Padahal, “Seharusnya bilang dari dulu kalau dia sudah mau mati,” ucap Fajar.
Ancaman gagal bayar itu nyatanya manjur. Pada 22 Maret lalu, ketiga bank Himbara melunak. Mereka menyetujui proposal restrukturisasi utang yang diajukan Krakatau. Pada Jumat tiga pekan lalu itu, bertempat di kantor Menteri BUMN Rini Soemarno, Krakatau dan ketiga bank tersebut meneken dokumen persetujuan pokok restrukturisasi (master restructuring agreement). “Kalau sukses, ini akan menjadi restrukturisasi terbesar di Indonesia,” ujar Silmy Karim.
Menurut Silmy, kesepakatan itu tak lepas dari turun tangannya Rini. Tiga hari sebelum penandatanganan, Selasa, 19 Maret lalu, Rini memanggil Silmy dan ketiga direktur utama bank Himbara serta pejabat lain, seperti Fajar Harry. Dalam pertemuan di rumah pribadi Rini di Jalan Taman Patra V, Kuningan, Jakarta, dia meminta restrukturisasi segera dilakukan. “Bu Rini turun untuk mempercepat,” kata Silmy.
Silmy mengakui 60 persen kredit Krakatau yang mencapai US$ 2,2 miliar itu berasal dari Himbara. Bank Mandiri menjadi kreditor terbesar dengan kredit jangka pendek US$ 225 juta (Rp 3,179 triliun) dan Rp 830 miliar. Kredit jangka pendek BNI Rp 2,772 triliun dan US$ 25 juta (Rp 353 miliar). Adapun BRI memberikan kredit jangka pendek Rp 280 miliar dan US$ 50 juta (Rp 707 miliar). Ketiga bank ini juga secara patungan menyalurkan kredit jangka panjang US$ 395 juta (Rp 5,582 triliun).
Dilantik pada 6 September 2018, Silmy melihat kapal sedang oleng dan bocor di sana-sini. Selain ada masalah utang yang menumpuk, pabrik peleburan baja tanur tinggi atau blast furnace Krakatau meleset dari target. Biaya investasinya membengkak US$ 8,4 juta. Proyek ini pun baru selesai akhir 2018, melenceng dari target awal pada Maret 2017. Pabrik sampai saat ini masih dalam uji coba operasi hingga Juni nanti. Padahal pabrik pengolahan berbasis batu bara itu menjadi tumpuan perusahaan untuk memangkas biaya produksi yang selama ini bertumpu pada gas.
Itu sebabnya, pada pekan pertama setelah dilantik, Silmy mengirim surat kepada Menteri Rini. Dia meminta restrukturisasi utang. Dalam surat itu Silmy juga meminta sinergi BUMN agar perusahaan konstruksi milik negara membuat kontrak jangka panjang penggunaan baja milik Krakatau. Bekas Direktur Utama PT Pindad ini juga memohon dukungan Kementerian BUMN dalam membendung serbuan baja impor.
Namun proses restrukturisasi utang berjalan alot. “Bank di luar kendali saya,” tutur Silmy. Baru setelah tujuh bulan dia memegang kemudi Krakatau restrukturisasi itu mendapat lampu hijau. “Tinggal kredit dari bank swasta karena negosiasi memang belum dimulai.”
Fajar Harry melihat setiap bank, kendati milik negara, punya perhitungan dan strategi dalam melihat kredit masing-masing. Itulah, menurut dia, yang membuat proses restrukturisasi agak alot. Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo sempat berjanji memberikan waktu untuk menjelaskan proses restrukturisasi. Namun rencana wawancara pada -Jumat, 5 April lalu, dibatalkan. Hingga akhir pekan lalu, ia tidak merespons lagi saat ditanyai perihal restrukturisasi kredit Mandiri di Krakatau. Begitu pula Direktur Corporate Banking BNI Putrama Wahju Setyawan.
Sementara itu, Cor-pora-te Secretary Bank BRI Bambang Tribaroto mengatakan Bank BRI selama ini bertindak sebagai salah satu kreditor KRAS dalam bentuk pembiayaan sindikasi. Menurut Bambang, KRAS beserta anak perusahaan beriktikad baik untuk terus menjalin relasi bisnis bersama Bank BRI sekaligus melakukan perubahan atas perjanjian pembiayaan. “Ini merupakan bagian dari rencana transformasi bisnis dan keuangan KRAS yang dirumuskan dalam beberapa inisiatif sebagaimana akan diatur dalam perjanjian selanjutnya,” kata Bambang, Sabtu, 6 April 2019.
Salah satu bank swasta yang menggelontorkan kredit besar ke Krakatau adalah CIMB Niaga. Nilainya US$ 200 juta untuk kredit jangka pendek. Silmy mengakui sudah bertemu dengan direksi CIMB Niaga. Ia juga menemui petinggi Standard Chartered- untuk membicarakan tawaran restrukturisasi. “Kalau tawaran awal, baru memperpanjang masa pinjaman saja,” ucapnya.
Saat dimintai konfirmasi tentang tawaran restrukturisasi Krakatau, Direktur Business Banking CIMB Niaga Rahardja Alimhamzah menjawab diplomatis. Menurut dia, pembiayaan untuk Krakatau adalah bentuk dukungan CIMB Niaga bagi pengembangan usaha industri baja. “Industri baja sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan di Indonesia saat ini dan ke depan,” kata Rahardja secara tertulis, -Jumat, 5 April lalu.
RESTRUKTURISASI utang hanyalah bagian kecil dari restrukturisasi besar Krakatau Steel. Selain memperbaiki postur utang, Krakatau Steel dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara nyatanya telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menyelamatkan Krakatau. Salah satunya melepas sejumlah aset dan anak perusahaan yang bukan inti bisnis. Kementerian BUMN dan Krakatau sudah menentukan sepuluh aset yang bisa menyelamatkan perusahaan.
Tiga aset dan perusahaan yang paling “membantu” itu di antaranya pembangkit listrik PT Krakatau Daya Listrik di kawasan industri Cilegon, Banten; produsen air bersih untuk kawasan industri Cilegon, PT Krakatau Tirta Industri; dan pelabuhan curah terbesar di Indonesia, Pelabuhan Cigading, di bawah bendera PT Krakatau Bandar Samudera. “Hasil penjualannya bisa menutup sisa kredit yang harus dibayar dan tidak berkelanjutan,” kata Fajar Harry Sampurno.
Berdasarkan dokumen skema penyehatan yang diperoleh Tempo, dari penjualan anak-anak usaha itu, Krakatau mengincar pendapatan hingga US$ 662 juta atau Rp 9,359 triliun. Hasil penjualan anak perusahaan ini kemudian digunakan untuk menutup sebagian utang senilai US$ 1,037 miliar atau Rp 14,659 triliun. Di antaranya kredit investasi pabrik peleburan baja tanur tinggi dari bank non-Himbara sebesar US$ 156 juta dan dari Himbara sebanyak US$ 118 juta.
Untuk memuluskan penjualan ini, Krakatau sudah memulai negosiasi dengan sesama BUMN. Pada Selasa, 26 Maret lalu, misalnya, Silmy Karim menandatangani kesepakatan awal penjualan Krakatau Daya Listrik kepada PT PLN (Persero). “Saya menandatangani kesepakatan kerahasiaan dengan PLN,” ucap Silmy tanpa mau menjabarkan detail kesepakatan. Menurut Fajar, dari penjualan itu, Kementerian BUMN dan Krakatau akan memperoleh pemasukan hingga US$ 250 juta.
Silmy juga menyatakan sudah memulai pembicaraan dengan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Elvyn G. Masassya untuk membahas penjualan Pelabuhan Cigading. Saat dimintai konfirmasi, Elvyn menyebutkan pembelian Pelabuhan Cigading masih dalam kajian perusahaan. “Semua aksi Pelindo II berbasis kerja sama bisnis,” tutur Elvyn, Kamis, 4 April lalu.
Fajar menyebutkan valuasi Pelabuhan Cigading tidak jauh berbeda dengan nilai Krakatau Daya, yakni sekitar Rp 4 triliun. Selama ini, dia menambahkan, Krakatau terlalu bergengsi untuk melepas anak usahanya. Padahal kebijakan itu bertujuan menyelamatkan kapal induknya. “Semua ditahan, padahal induknya sudah mau mati,” ujarnya.
Seorang pejabat di lingkungan Kementerian BUMN mengungkapkan, strategi melepas anak usaha Krakatau ke sesama perusahaan pelat merah dijalankan untuk menghindari hantaman politik. Kementerian khawatir upaya melego anak usaha ke swasta akan dianggap sebagai privatisasi BUMN. Namun Fajar menepis kekhawatiran itu. “Kalau lepas anak usaha atau aset, tidak apa-apa. Kalau melepas induknya, baru harus izin DPR,” ucapnya. Silmy menambahkan, Krakatau juga punya opsi membeli saham kembali.
Tepat pada saat penandatanganan kesepakatan pokok restrukturisasi utang antara Krakatau dan Himbara, Rini Soemarno mengeluarkan satu perintah penting. Rini secara resmi meminta dimulainya pembahasan integrasi Krakatau dengan induk BUMN pertambangan, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). “Wacananya begitu. Semua smelter akan disatukan ke Inalum, termasuk Krakatau Steel,” kata Fajar.
Ditanyai tentang perintah Menteri Rini untuk memulai penggabungan Krakatau dengan Inalum, Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Pemerintah PT Inalum (Persero) Rendi Witular mengatakan integrasi tersebut masih dikaji. “Krakatau Steel adalah perusahaan hilir dalam rantai industri pertambangan,” tutur Rendi, Jumat, 5 April lalu. Namun integrasi ini rencananya baru akan terlaksana bila Krakatau berhasil selamat.
Penyelamatan Krakatau Steel
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo