Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI hasil analisis digital forensik telepon seluler milik Dicky Rusvinda, polisi mengungkap satu per satu jaringan besar perdagangan ilegal satwa dilindungi. Polisi menangkap Dicky pada 11 Januari lalu dan menyita ponselnya. Penyidik lantas “menguras” informasi dari telepon tersebut.
Hasil digital forensik menunjukkan sejumlah percakapan Dicky dengan sel pedagang satwa liar lain. “Mereka juga terkoneksi di media sosial,” kata Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Tertentu Kepolisian RI Komisaris Besar Adi Karya Tobing, Kamis, 4 April lalu.
Dicky adalah salah satu pentolan pedagang satwa liar di media sosial. Ia memiliki tujuh akun di Facebook. Pria berambut cepak itu bermitra dengan Abdul Hopir. Keduanya berdomisili di Bandung. Hopir diduga menjual satwa dilindungi ke Taman Safari Indonesia. Jaringan Dicky lebih luas. Ia mengaku kepada polisi menjual satwa liar Indonesia ke sepuluh negara di Asia dan Eropa. “Transaksi selalu dilakukan secara online,” ujar Komisaris Besar Adi Karya.
Penyidik mencokok sepuluh jaringan lain yang terkoneksi dengan Dicky. Di antaranya Tan dan Asi, jaringan Kudus, Jawa Tengah. Penyidik menangkap mereka di Kudus pada 25 Januari lalu. Tan adalah spesialis pedagang burung dilindungi dari kawasan timur. Penyidik menyita satu cenderawasih raja, satu kuskus, dua nuri raja Ambon, dan satu kakatua jambul kuning di gudang miliknya di Kudus.
Setelah itu, penyidik berturut-turut menangkap sembilan jaringan lain dalam rentang waktu sebulan. Ada 13 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Semua sudah ditahan. Barang dagangan mereka terdiri atas beragam satwa dilindungi. Kesamaan dari jaringan-jaringan ini adalah mereka memiliki gudang sendiri dan umumnya menjual lewat media sosial.
Penyidik menyita berbagai spesies yang selama ini jarang ditemukan di pasar online, seperti bekantan dan cenderawasih, serta gading gajah. “Ada total 205 satwa yang disita,” kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia saat jumpa pers bersama polisi, Selasa, 5 Maret lalu. Polisi menjerat mereka dengan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman maksimal satu tahun penjara.
Rangkaian pengungkapan ini turut membuka jaringan pedagang komodo. “Masih terkoneksi dengan Dicky juga,” tutur Komisaris Besar Adi Karya. Kepolisian Daerah Jawa Timur membongkar jaringan perdagangan komodo dari Nusa Tenggara Timur pada akhir Februari lalu. Mereka menangkap pria berinisial And, yang menjual lima komodo. Dari pemeriksaan, diketahui And mendapatkan komodo-komodo itu dari pengepul bernama Vikki, yang bermukim di Surabaya.
Polisi kemudian secara berturut-turut menangkap tiga pelaku lain yang berperan sebagai makelar komodo dan satwa dilindungi lain. Mereka adalah RSL, AW, dan RR. Semuanya berusia 30-an tahun. Komisaris Besar Adi Karya turut menahan dua tersangka lain, yaitu seorang pemilik rekening bersama, tempat menampung penjualan komodo di media sosial; dan seorang pedagang lain.
Ada enam komodo yang disita dari jaringan Jawa Timur itu. “Jaringan ini beroperasi sejak 2016,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur Komisaris Besar Akhmad Yusep Gunawan.
Keterangan itu cocok dengan kesaksian para tersangka. Saat pemeriksaan, Vikki mengaku sudah menjual 41 komodo dalam tiga tahun belakangan. Keberadaan 41 komodo itu hingga kini tak jelas. Vikki mengaku mendapatkan komodo itu langsung dari para pemburu. Mereka berasal dari desa-desa di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno, komodo-komodo itu diduga berasal dari luar Taman Nasional Komodo. “Namun, untuk memastikan habitatnya, pemerintah sedang menguji sampel DNA komodo yang disita itu,” ujarnya.
Pemerintah menutup Taman Nasional Komodo mulai Januari 2020 selama setahun untuk merevitalisasi kawasan itu. Meski sudah direncanakan sejak dulu, pengungkapan jaringan Vikki memicu percepatan penutupan taman tersebut. “Seluruh titik perburuan akan diawasi,” ucap Wiratno.
Kepada wartawan, Polda Jawa Timur menyebutkan pengepul membeli komodo dari para pemburu senilai Rp 6-8 juta. Harga itu melonjak saat berada di pasar, menjadi Rp 15 juta. Di luar negeri, harga seekor komodo bisa mencapai Rp 500 juta. Komodo adalah satwa eksotis asli Indonesia yang digemari di mancanegara dan selalu dicari di pasar gelap internasional.
Barang bukti berupa kepala burung julang Sulawesi saat rilis di Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Jakarta, 5 Maret lalu. ANTARA/Jaya Kusuma
Penjualan satwa dilindungi ke mancanegara melewati proses yang rumit. Rantai perdagangan makin panjang karena melibatkan proses ekspedisi antarnegara yang lebih ketat. Makelar harus membayar ekstra para petugas yang membantu meloloskan paket satwa. Saat di luar negeri, makelar juga mengeluarkan ongkos untuk membuat surat izin satwa-satwa ter-sebut.
Dokumen yang diperoleh Tempo mencantumkan Dicky Rusvinda mematok harga orang utan betina senilai US$ 7.500 atau Rp 105 juta dengan kurs saat ini. Ia menerima pesanan ke semua negara. Polisi mencatat Dicky pernah mengirimkan satwa liar Indonesia ke Thailand, Malaysia, Bangladesh, Sri Lanka, Brasil, Pakistan, Arab Saudi, Dubai, Vietnam, dan Rusia. “Dia tak pernah mau bertemu langsung dengan pembeli,” kata Komisaris Besar Adi Karya.
Dari hasil analisis digital forensik telepon seluler milik Dicky, Adi Karya mengatakan, polisi mengetahui pola kerja tiap komplotan. Selain menerapkan pengamanan berlapis saat berdagang di media sosial, mereka menerapkan pola pengiriman terputus tiap kali bertransaksi.
Anggota jaringan tak akan meladeni pembeli yang tak mengantongi rekomendasi dari pembeli lain yang sudah dikenal lebih dulu. Tujuannya adalah menghin-dari jebakan polisi. Mereka pun akan selalu menggunakan alamat berbeda bahkan meminjam telepon orang lain untuk memesan jasa kurir. “Pola distribusinya mirip sekali dengan jaringan narkotik,” ujar Adi Karya.
Dalam menghadapi kejahatan ini, menurut Adi Karya, ruang gerak polisi terbatas. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, kata dia, sudah tak sesuai dengan perkembangan kejahatan perdagangan satwa. Selain hukuman kepada pelaku yang masih terlalu ringan, yakni maksimal setahun penjara, undang-undang yang mengatur perdagangan ilegal satwa dilindungi belum sekuat aturan hukum narkotik.
Menurut Adi Karya, polisi tak bisa melakukan undercover buying untuk menjerat pedagang satwa ilegal. Sedangkan para pedagang satwa ilegal itu menerapkan pola yang rumit tiap kali bertransaksi demi menghilangkan jejak untuk menghindari polisi.
MUSTAFA SILALAHI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo