Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENANGAN Koalisi Merah Putih dalam voting Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat dinihari pekan lalu, memuluskan jalan Partai Golkar menduduki kursi ketua parlemen. Ini skenario politikus pendukung Prabowo Subianto beroposisi terhadap pemerintah presiden terpilih Joko Widodo.
Ada tiga kandidat yang muncul di Golkar: Bendahara Umum dan Ketua Fraksi Golkar di parlemen, Setya Novanto; Sekretaris Fraksi Ade Komarudin; serta Wakil Ketua Umum Fadel Muhammad. Dari ketiganya, Setya paling berpeluang karena diuntungkan sebagai orang dekat Ketua Umum Aburizal Bakrie. "Teman-teman di Koalisi yang menyokong," kata Setya, Rabu dua pekan lalu. Calon dari Golkar ini akan satu paket dengan calon wakil Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera, Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional, dan Fadli Zon dari Partai Gerindra.
Demi memuluskan langkah, Setya rajin mendekati media massa. Para wartawan biasanya diundangnya ke Tee Box, kafe miliknya, di Jakarta Selatan. Kepada para wartawan, ia membantah terlibat dalam sejumlah kasus korupsi. Tapi Setya membantah mendekati media massa. Menurut dia, para wartawan itulah yang mendatanginya untuk wawancara. "Supaya saya tak dituduh orang berkasus terus," ujarnya.
Namanya memang dikaitkan dengan banyak kasus. Di parlemen, ia dijuluki "Master Anggaran" karena kelihaiannya memainkan proyek-proyek pemerintah dan mendapatkan komisi dari sana. Ia juga pernah tersangkut pengalihan piutang Bank Bali pada 1998 sebesar Rp 798 miliar, kasus korupsi Pekan Olahraga Nasional di Riau, dan terakhir ia diduga terlibat memainkan tender pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri.
Kasus-kasus tersebut diungkit para pendemo yang rutin menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi selama dua pekan terakhir. Meski datang dengan nama organisasi berbeda, dalam foto-foto, para pendemo berwajah sama. Mereka meminta KPK menangkap Setya.
Afandi Tomagola, koordinator lapangan demonstrasi itu, awalnya bersedia menjelaskan tuntutan dan organisasinya kepada Tempo. Ketika waktu dan tempat bertemu telah disepakati di sebuah kafe di kawasan Cikini, Afandi membatalkannya. "Untuk apa tanya-tanya?" katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Roem Kono meyakini demonstrasi itu bagian dari intrik internal persaingan menjadi calon Ketua DPR. Sebagai kandidat terkuat, Setya dirongrong dengan kasus korupsi. Ade dan Fadel memantau demo-demo itu, tapi mereka mengaku tak paham siapa penggerak di baliknya. "Persaingan wajar, tapi jangan terlalu kasar," ujar Roem.
Demo-demo itu tak urung membuat Setya rungsing. Selain mengumpulkan media untuk menepis tudingan bahwa ia terlibat di banyak kasus korupsi, Setya mengajak pentolan pendemo bertemu. "Setelah saya jelaskan, mereka menjadi sahabat saya," katanya.
Agar langkahnya mulus setelah ditetapkan Golkar sebagai kandidat Ketua DPR, Setya juga banyak bermanuver bersama Koalisi Merah Putih untuk melapangkan jalannya ke kursi Senayan-1. Ia salah satu penggagas peninjauan ulang terhadap Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berkat manuvernya, jabatan Ketua DPR dan MPR tak otomatis menjadi jatah partai pemenang, yakni PDI Perjuangan.
Sukses mengakali MD3, Setya pula orang di balik tuntutan pemilihan kepala daerah dilakukan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setiap pekan ia aktif mengumpulkan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Gerindra untuk menyusun strategi mewujudkan skenario itu. Setya aktif melobi Partai Demokrat agar bergabung dengan koalisi partainya atau minimal netral agar dukungan untuk koalisi PDIP-Hanura-Partai Kebangkitan Bangsa gembos.
Manuver itu juga mulus. Demokrat bersikap netral dan pemilihan kepala daerah kembali ke sepuluh tahun lalu, yakni melalui DPRD. Jurus Setya menaklukkan Demokrat adalah memberi insentif Ketua MPR. Menurut Bambang Soesatyo, kolega Setya di Golkar, keputusan pemilihan kepala daerah membuat jatah Demokrat tak terkutik. "Tetap Ketua MPR," ujarnya.
Juru bicara Demokrat, Ruhut Sitompul, membantah ada kesepakatan ini. Menurut dia, partainya berposisi sebagai penyeimbang dua kubu yang berseteru dan tidak mendukung salah satu paket pimpinan Dewan. "Tidak ada itu kesepakatan jabatan," kata Ruhut.
Tanpa dukungan Demokrat, sebenarnya langkah Setya menuju pucuk pimpinan parlemen tetap mulus. Pada periode mendatang, jumlah kursi Koalisi Merah Putih sebanyak 292. Dengan masuknya Demokrat, yang memiliki 61 kursi, dukungan itu kian solid dan anggota parlemen dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur ini makin tak terbendung melaju menjadi pemimpin legislator.
Langkah kuda Setya di Golkar bukan tanpa ganjalan. Ade dan Fadel juga bermanuver untuk meraih dukungan di lingkup internal. Keduanya membangun opini agar politikus Golkar memilih kandidat Ketua DPR bukan "orang tercela". Klausul ini dimasukkan ke syarat kandidat. Demo-demo menuntut KPK menangkap Setya mengkonfirmasi intrik ini untuk mempengaruhi prerogatif Aburizal Bakrie jika musyawarah mufakat tak tercapai.
Pada Rabu pekan lalu, Ade mengumpulkan anggota Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia, organisasi pendiri Golkar. Di organisasi ini, anggota parlemen dari Purwakarta itu menjabat ketua umum. Ia meminta anggotanya hadir dalam rapat pengambilan keputusan partai pada Jumat pekan lalu. "Saya hanya kulonuwun," ujar Ade.
Di parlemen, lobi Ade juga kuat. Tak seperti Setya yang memelihara jaringan di Koalisi Merah Putih, Ade meluaskan pendekatan ke partai-partai lawan Golkar. Pada 11 September lalu, misalnya, ia diundang ke peringatan ulang tahun Puan Maharani, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di parlemen. "Dalam politik, komunikasi itu harus," katanya.
Fadel juga terus bergerak. Sejumlah pengurus Golkar menyebut Fadel sebagai lone ranger karena tak memiliki pendukung di partai. Fadel tak menampik kenyataan ini. Dengan jabatannya, ia mendekati Aburizal agar dipilih sebagai kandidat Ketua DPR. Saat Musyawarah Pimpinan Nasional Kosgoro 1957 dua pekan lalu di Ancol, Fadel berada satu mobil dengan bos Grup Bakrie itu. "Saya menjemput Aburizal di rumahnya," ujar Fadel.Â
Kriteria calon tak tercela bisa berbalik kepada Fadel. Sejumlah petinggi Golkar mengingatkan bahwa mantan Gubernur Gorontalo ini masih tersangkut kasus dugaan korupsi anggaran daerah sebesar Rp 5,4 miliar pada 2001. Berkas penyidikannya masih ditahan Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Fadel tak ambil pusing. "Indonesia timur ingin saya menjadi pemimpin Dewan," katanya.
Dalam rapat pleno Golkar pada Jumat pekan lalu itu, tercapai kesepakatan jalan tengah. Ade akan dipromosikan sebagai Ketua Fraksi Golkar menggantikan Setya. Adapun untuk Fadel disediakan jabatan Ketua Mahkamah Kehormatan DPR. "Saya serahkan kepada Aburizal," ujar Ade. Sedangkan Fadel mengatakan, "Saya akan patuh instruksi partai."
Wayan Agus Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo