Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUAN Maharani berhenti sejenak ketika membacakan sepuluh lembar rekomendasi Rapat Kerja Nasional IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Air matanya mengalir di depan 1.593 peserta yang hadir di Marina Convention Center, Semarang, pada Sabtu malam dua pekan lalu itu.
"PDI Perjuangan menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia atas dukungannya sehingga kami mampu memenangi pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014," kata Puan, putri Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, yang menempati posisi Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum PDI Perjuangan.
Rekomendasi yang krusial bagi organisasi menyangkut dua hal. Pertama, menegaskan posisi politik partai banteng sebagai pendukung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, partai ini berada di luar. Kedua, usul agar Megawati ditetapkan kembali sebagai ketua umum, periode 2015-2020, yang akan disahkan pada kongres April tahun depan.
Megawati memimpin PDI Perjuangan sejak 1993, ketika partai itu masih bernama PDI. Artinya, pada akhir periode 2020, ia telah memimpin partai selama 27 tahun. Ia merangkap jabatan ketua umum ketika menjadi presiden pada 2004.
Sebagian kalangan partai itu menafsirkan air mata Puan sebagai bentuk kekecewaan atas pencalonan kembali ibunya. "Enggak ada alasannya kok nangis," kata seorang politikus PDIP. Dimintai komentar soal ini, Puan mengatakan, "Itu sudah kemarin." Ia mengaku pusing oleh pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Orang dekatnya, Bambang Wuryanto, membantah dugaan bahwa Puan menangis karena kecewa. Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di Dewan Perwakilan Rakyat ini hanya membenarkan Puan masygul karena manuver para pengurus daerah "menodong" Mega agar mau memimpin PDIP lagi. "Mbak Puan sudah tahu gelagatnya," ujarnya.
Cerita bermula dari acara syukuran kemenangan pemilu di rumah peristirahatan milik Mega di Gadog, Ciawi, Bogor, Jawa Barat, pada 14 September lalu. Berkumpul di sana para petinggi PDIP berikut para kepala daerah dari partai itu, pengurus daerah, serta anggota DPR. Jokowi dan Kalla juga hadir. "Kumpul-kumpul, nyanyi," kata Ketua PDIP Tubagus Hasanuddin.
Mega menyanyikan tiga lagu untuk dilelang. Hasilnya dipakai untuk membiayai pembangunan kantor PDIP di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Salah satunya Cinta Hampa dari grup lawas D'Lloyd. Jokowi juga menyumbangkan lagu. "Terkumpul Rp 4,8 miliar," ujar Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Baskara.
Di salah satu ruangan, 18 ketua PDIP provinsi meriung, antara lain dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Kepulauan Riau, Bali, Nusa Tenggara Timur, Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Menurut Hasanuddin, yang juga Ketua PDIP Jawa Barat, obrolan ringan berubah menjadi serius ketika membahas tantangan pemerintahan Jokowi menghadapi serangan koalisi partai penyokong Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa—Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Contohnya pergulatan dalam pembahasan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. "Masih akan ada serangan lain," kata Hasanuddin.
Maka pemimpin yang kuat mutlak diperlukan. Di sisi lain, ada persoalan suksesi kepemimpinan di PDIP menjelang kongres. "Kesimpulannya, Ibu Mega masih diperlukan." Pembahasan lanjutan disepakati dilakukan di Semarang di sela-sela rapat kerja nasional yang akan digelar lima hari kemudian.
Rakernas IV PDIP dibuka pada Jumat siang dua pekan lalu. Mega menyampaikan pidato yang menegaskan garis politik PDIP ke depan sebagai penopang pemerintah. "Jangan biarkan Jokowi sendirian," ujarnya.
Di acara internal, Jokowi tampil menyampaikan paparan mengenai pemasaran partai politik. Namun ada yang mengejutkan di akhir pidato. "Saya usul agar Ibu Mega tetap menjadi ketua umum untuk lima tahun ke depan," katanya. Pada pagi hari sebelum Rakernas dibuka, Ketua PDIP Jawa Tengah Heru Sudjatmoko sudah menyeruduk. "Arah kami meminta Mega menjadi ketua umum lagi," ucap Heru kepada pers.
Pada Jumat malam, 31 ketua PDIP provinsi bertemu di rumah dinas Heru Sudjatmoko, Wakil Gubernur Jawa Tengah. "Puan ketua panitia, kok pertemuan di rumah Heru," ujar politikus PDIP mempersoalkan. Sebagian yang hadir merupakan politikus PDIP yang menjabat sebagai gubernur, seperti di Nusa Tenggara Timur, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat.
Rapat digelar sekitar pukul 23.00 sampai 01.00. Mereka mematangkan teknis penyampaian usul. Hasanuddin dan Heru seragam menyatakan gerak cepat dilancarkan karena kebetulan ada Rakernas IV, yang diadakan hanya tujuh bulan menjelang kongres. Diputuskan pula agar mempercepat penyampaian usul mengingat Mega berencana terbang ke Bali via Surabaya pada Sabtu siang.
Ketua PDIP Sulawesi Utara, yang juga Bendahara Umum PDIP, Olly Dondokambey, diutus melobi pemimpin sidang Andreas Parera agar Heru sebagai tuan rumah mendapat kesempatan pertama dalam memberi pandangan umum. "Tapi Pak Olly tak memberitahukan materinya," kata Heru.
Esok harinya, Heru tampil pertama kali. "Saya di sini mewakili 32 DPD yang lain," ujarnya. Dia pun memanggil para ketua yang lain untuk berdiri di depan mendampinginya. Heru kemudian menyampaikan usul kepada Mega agar bersedia menjadi ketua umum lagi, sekaligus meminta Mega langsung menjawab. Semua mata tertuju kepada Mega, yang duduk di podium. Tapi Puan tak ada di dalam ruangan.
Ketika Mega meraih pengeras suara, semua peserta Rakernas berdiri dengan sikap sempurna. Mega lalu berpidato menyampaikan kesediaannya. Teriakan "merdeka" dan "hidup Mega" membahana. "Tapi saya sudah tua, tahun depan 68. Kalian pikirkan itu," kata Mega.
Ia pun menyebutkan kongres nanti hanya mengukuhkannya sebagai ketua umum dan memilih pengurus pusat. Ketua steering committee Hasto Kristiyanto dan sekretarisnya, Ahmad Baskara, pun mengaku tak tahu sebelumnya.
Hasanuddin membantah main rahasia. Dia berdalih, peserta obrolan Gadog didaulat mengabarkannya kepada pengurus daerah lain dan cabang masing-masing. Tapi, menurut Heru, "Saya diwanti-wanti agar merahasiakan. Supaya tak ada pro-kontra." Buru-buru dia menjelaskan, pro-kontra yang dikhawatirkan mengenai teknis pengusulan, bukan figur Mega.
Heru mengaku ditegur oleh seorang pengurus pusat gara-gara tak mengabari Puan. Teguran muncul pada Ahad pagi ketika mengantar Puan ke Bandar Udara Ahmad Yani. "Pak Heru, yang seperti itu secara substansi baik, tapi kenapa sih tidak memberi tahu saya dan Mbak Puan?" ujarnya menirukan pengurus itu. Namun Heru mengaku tiba-tiba didapuk menjadi juru bicara sehingga tak sempat mengabari Puan.
Manuver tersebut mempercepat Rakernas karena para pengurus tak menyampaikan pandangan selain dukungan buat Mega. Walhasil, waktu 10 menit yang diberikan kepada tiap pengurus yang totalnya 33 hanya terpakai beberapa puluh menit. Agenda rapat komisi dimajukan sehingga penutupan Rakernas yang semestinya Ahad siang dipercepat menjadi Sabtu malam. "Konsumsi enggak ada yang makan," kata seorang pengurus.
Manuver Semarang memukul Puan, yang menurut sejumlah politikus PDIP menguasai Jawa Tengah, basis pendukung ideologis terbesar Bung Karno dan PDIP. Putri Taufiq Kiemas-Mega ini menangguk suara terbanyak untuk PDIP di Jawa Tengah dalam pemilu legislatif 2014, yakni 369.972 suara.
Dia memimpin tim pemenangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo-Heru. "Bu Mega beberapa kali mengadakan rapat pemenangan Ganjar tanpa Puan," ujar seorang pengurus Jawa Tengah. Pemilihan sejumlah bupati dan wali kota di Jawa Tengah pun ditangani Puan.
Beberapa politikus PDIP menyatakan Mega mengetahui skenario itu. Beberapa tokoh daerah pernah menyampaikan permintaan agar Mega memimpin lagi meski tak mendapat tanggapan memuaskan. Namun politikus yang dekat dengan Puan mengatakan gelagat Mega mau memimpin lagi sudah tercium. "Pernah dalam pidato dan pernyataan dalam rapat pengurus pusat," tuturnya.
Mega menolak diwawancarai perihal pencalonannya dan regenerasi di partainya dengan alasan tak etis membicarakan diri sendiri. Dia minta diwakili Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo. Namun Tjahjo tak menanggapi permintaan wawancara.
Politikus yang berseberangan dengan Puan mengatakan Puan menggalang dukungan menjadi ketua umum di beberapa daerah, termasuk Jawa Tengah dan Bengkulu. Sebagai ketua bidang politik, Puan juga menguasai banyak posisi strategis di partai dan fraksi. Tapi kinerjanya, terutama di DPR dan pemilu, tak kinclong. Perolehan 19 persen dalam pemilu lalu dianggap kegagalan Puan. Di sisi lain, PDIP membutuhkan trah Sukarno sebagai perekat, tapi Mega tak memberi sinyal mau memimpin lagi.
Bambang Wuryanto membantah kabar bahwa Puan bergerilya mencari dukungan. "Tapi memang ada pihak yang berpikir seperti itu," ujarnya.
Hasanuddin menampik anggapan bahwa gerilya Puan di partai menjadi salah satu faktor pendorong pencalonan Mega. Heru mengelak ketika ditanyai soal itu. "Kami sepakat tak menjawab pertanyaan itu," katanya Rabu pekan lalu.
Muncul pula tudingan bahwa pencalonan Mega yang begitu cepat didorong manuver kader yang mengusung Jokowi sebagai ketua umum. "Menggunakan relawan Projo," ujar politikus di DPR yang dekat dengan Puan. Kader dan simpatisan PDIP Pro-Jokowi (Projo) lahir pada Desember 2013 untuk menyokong Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP. Pencalonan itu disebut sebagai upaya desukarnoisasi di PDIP.
Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi membantah tuduhan itu. "Kami mendukung penuh Bu Mega ketimbang PDIP dipimpin kader yang belum memiliki sejarah," kata mantan Wakil Ketua PDIP Jakarta ini, Kamis pekan lalu. Dia membenarkan wacana soal Jokowi sempat muncul, tapi pupus karena PDIP mutlak membutuhkan trah Sukarno. "Namun belum ada trah Sukarno yang seperti Bu Mega."
Menurut politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko, Jokowi mengaku mendengar isu pencalonannya di Semarang. "Makanya Pak Jokowi menyatakan mendukung Bu Mega untuk membuktikan bahwa dia tak bermain," ujarnya.
Adapun Mega mengaku kaget oleh ucapan Jokowi itu. "Kebetulan saya lagi makan salak, hampir saja ketelen bijinya," katanya Sabtu dua pekan lalu.
Jobpie Sugiharto, Riky Ferdianto, Rofiuddin (Semarang), Anang Zakaria (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo