Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEKAN sebelum Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Setya Novanto mendapat kabar menyenangkan dari koleganya di Partai Demokrat. Nurhayati Assegaf, Ketua Fraksi Demokrat, menjamin partainya akan bersama Koalisi Merah Putih—kelompok partai pendukung Prabowo Subianto pada pemilihan presiden Juli lalu—dalam pengambilan keputusan rancangan peraturan itu.
Kabar tersebut diterima Setya ketika Ketua Fraksi Partai Golkar itu bertemu dengan Tempo, Rabu dua pekan lalu. Nurhayati menghubunginya melalui telepon. Sepanjang berkomunikasi, Setya tertawa riang. "Jadi kabar baik, ya?" ujarnya. Ia pun mengajak Nurhayati bertemu esok harinya. Begitu telepon ditutup, Bendahara Umum Golkar itu berujar senang, "Aman."
Hari itu, Koalisi Merah Putih ketar-ketir terhadap sikap Partai Demokrat yang tidak jelas, apakah mendukung pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada pagi hari itu, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono merilis pidato di ÂYouTube, yang menyatakan mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun, kata Yudhoyono, sikap itu tak mencerminkan keputusan partainya.
Usul mengembalikan pemilihan ke DPRD diusung kubu partai-partai pendukung Prabowo Subianto, yaitu Golkar, Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. Mereka mengklaim, pemilihan oleh DPRD membuat mereka bisa menguasai pemerintah daerah. Sebab, gabungan kursi partai-partai ini lebih besar daripada koalisi pendukung Joko Widodo, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Partai NasDem, yang akan mengisi Dewan periode 2014-2019.
Dari hitung-hitungan Setya, kubunya bisa kalah dalam voting jika Demokrat mendukung pemilihan langsung. Dengan 148 kursi, Demokrat paling menentukan arah angin. Jika Demokrat bergabung dengan suara PDIP, PKB, dan Hanura, mereka unggul lima suara dari Koalisi Merah Putih, yang hanya memiliki 237 kursi.
Esoknya, sikap Partai Demokrat ternyata terus berayun-ayun. Ketua Harian Demokrat Sjarifuddin Hasan seusai rapat di rumah Yudhoyono di Cikeas, Bogor, memastikan fraksinya akan mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung. "Jika ada yang membangkang, akan kami beri sanksi," ujarnya.
Pernyataan Sjarifuddin itu dikukuhkan oleh keterangan pers Nurhayati Assegaf. Sebagai ketua fraksi, kata Nurhayati, ia akan segera membuat surat mengesahkan keputusan Pengurus Pusat Demokrat. "Kami dukung pemilihan langsung dengan sepuluh syarat yang belum masuk rancangan," ujarnya. Syarat yang diajukan sebenarnya normatif, misalnya setiap calon kepala daerah harus mengikuti uji kompetensi publik, tak melakukan kampanye hitam, dan tak menyuap pemilih.
KEPUTUSAN Demokrat itu tak tecermin dalam Sidang Paripurna DPR, Kamis pekan lalu. Diwarnai hujan interupsi, rapat selama 15 jam itu diskors tiga kali. Pemimpin rapat, Priyo Budi Santoso dari Golkar, menunda rapat agar fraksi-fraksi melakukan lobi karena Demokrat menginginkan sepuluh syarat pemilihan langsung dimasukkan sebagai opsi ketiga, di luar pemilihan langsung atau pemilihan melalui DPRD.
Menurut Eva Kusuma Sundari, politikus PDIP, kolega-koleganya bertemu khusus dengan politikus Demokrat yang dipimpin Nurhayati mendiskusikan opsi itu. Kepada Nurhayati, kata Eva, PDIP dan dua partai koalisinya menjamin akan mendukung penuh keinginan Demokrat. "Mau lima puluh opsi asal mendukung pemilihan langsung kami sokong," ujarnya.
Ketika para politikus keempat partai menggalang lobi, telepon Pramono Anung berdering sepanjang malam itu. Wakil Ketua DPR dari PDI Perjuangan ini dikontak Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Kepada Pramono, Djoko mengaku diminta Presiden Yudhoyono menyampaikan pesan tentang sikap Demokrat.
Hari itu, Yudhoyono dan Djoko sedang berada di Amerika Serikat, antara lain menghadiri pelbagai sidang di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Menurut Pramono, Djoko mengatakan Demokrat akan bersama PDI Perjuangan mendukung pemilihan secara langsung. "Karena itu, saya sampaikan bahwa PDIP mendukung opsi yang diajukan Demokrat," kata Pramono.
Djoko membenarkan bahwa ia menelepon Pramono atas permintaan Yudhoyono. "Presiden mendukung pemilihan langsung dengan syarat ada sepuluh perbaikan," ujarnya. Djoko mengaku hanya berkomunikasi dengan Pramono tentang RUU Pemilihan Kepala Daerah. Ia mengatakan tak tahu jika pesan yang sama disampaikan Yudhoyono sendiri atau orang lain kepada politikus-politikus partainya di Demokrat.
Seusai forum lobi selama empat jam, para peserta rapat paripurna kembali ke ruang sidang. Hari hampir berganti ke ÂJumat dinihari. Benny Kabur Harman, yang menjadi juru bicara Demokrat, memaparkan sepuluh syarat yang mereka minta dijadikan opsi pengesahan dan dicantumkan dalam RUU. Secara bergantian politikus PDIP, Hanura, dan PKB menyatakan mendukung keinginan itu.
Penentangan datang dari Golkar, PPP, dan Gerindra, juga PKS. Mereka mengatakan opsi ketiga itu mustahil karena keputusan sejak awal hanya tinggal memilih satu dari dua opsi: langsung atau melalui DPRD. Sempat ricuh karena para politikus berlomba mengajukan interupsi, Priyo kembali menskors sidang. Politikus PDIP yang paling sengit meminta skors hingga maju ke meja Priyo.
Pasalnya, Priyo hendak mengetuk palu memutuskan pilihan tinggal dua opsi. Menurut Arya Bima dari PDIP, ketukan palu Priyo itu akan memupus keinginan Demokrat. Walhasil, PDIP khawatir ditutupnya opsi ketiga itu akan membuat 129 politikus Demokrat menolak ikut voting. Jika itu yang terjadi, PDIP dipastikan kalah karena jumlah suara mereka jauh di bawah Koalisi Merah Putih.
Rapat diskors lagi seperempat jam. Saat lobi itu, politikus PDIP kembali meyakinkan Nurhayati dan kawan-kawan akan mendukung opsi ketiga jika sidang dimulai lagi. Ketika para politikus memasuki kembali ruang sidang, Ruhut Sitompul mendatangi Max Sopacua, Wakil Ketua Umum Demokrat. Kepada Max, juru bicara Demokrat itu menanyakan keputusan akhir partainya. "Dia bilang Demokrat akan netral," kata Ruhut. "Saya tanya apakah sudah atas sepengetahuan SBY. Max menjawab, instruksinya melalui pesan seluler ke Nurhayati."
Sebelum sidang diskors, Ruhut mengaku sempat bertelepon dengan Yudhoyono ihwal sikap akhir partainya. Karena menurut dia baterai teleponnya soak, percakapan terputus. Menurut Ruhut, setahu dia, Yudhoyono sejak awal mendukung pemilihan langsung. Ia menduga dalam percakapan terputus itu Yudhoyono hendak menyampaikan perintahnya. Maka, ketika Max memberitahukan bahwa Yudhoyono sudah memerintahkan netral, ia percaya.
Priyo kembali membuka sidang dengan menyilakan Benny berbicara pertama untuk mengemukakan keputusan Demokrat. Benny mengulang permintaan opsi ketiga. Interupsi kembali bertubi antara pendukung dan pengecam. Fahri Hamzah dari PKS, misalnya, mengatakan opsi ketiga sudah tertutup karena keputusan kini tinggal ada dua opsi.
Saat ribut-ribut di ruang sidang itu, Sjarifuddin Hasan masuk ke ruang balkon tempat masyarakat dan para wartawan memantau jalannya sidang. Diiringi lima ajudan, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah ini berbicara lewat telepon, menutupnya, lalu menerima panggilan lagi. Ia berbicara pendek-pendek. Wajahnya tegang. Ia bahkan sempat salah masuk lorong. Rupanya, ia memanggil Agus Hermanto, Wakil Ketua Umum Demokrat, yang ada di ruang sidang.
Sebagai Menteri, Sjarifuddin berada di kursi pemerintah bersama Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan. Ketika Agus tiba, Sjarifuddin berbicara serius dengannya. Agus hanya mengangguk. "Ada perubahan sikap Demokrat," ujar Sjarifuddin tanpa penjelasan lebih mendetail.
Di ruang sidang, Benny, yang duduk di sebelah Nurhayati, bersiap berbicara lagi, setelah terpotong karena interupsi. Priyo lagi-lagi memutuskan opsi tinggal dua. PDIP menolak serta meminta politikus Golkar itu mencabutnya dan kembali membuka opsi ketiga yang diajukan Demokrat. Priyo mengalah. Ia mencabut dua opsi itu, menerima opsi ketiga, dan menyilakan Benny melanjutkan pernyataannya.
Agus Hermanto terlihat setengah berlari menghampiri Benny, yang sudah menyalakan mikrofon. Ia berbisik, yang direspons Benny dengan anggukan. Dengan kalimat yang terukur, Benny membuat pernyataan yang mengubah sidang dinihari itu. "Demokrat memutuskan menjadi kekuatan penyeimbang. Karena itu, kami bersikap netral dan walk out dari ruang sidang," katanya. Aneh, ketika koalisi PDIP sudah menyatakan mendukung usul mereka, Demokrat meninggalkan gelanggang.
Pernyataan Benny disambut gemuruh tepuk tangan politikus partai Koalisi Merah Putih. Adapun politikus PDI Perjuangan, PKB, dan Hanura hanya melongo melihat 123 orang Demokrat meninggalkan ruang sidang. Hanya enam yang bertahan. "Ini rekayasa politik untuk menampilkan pencitraan," kata Yasona Laoli. "Seolah-olah mereka pejuang kedaulatan rakyat. Setelah kami dukung, Demokrat malah meninggalkan kami."
Dengan mundurnya Demokrat, hasil rapat paripurna itu sudah bisa ditebak. Koalisi Merah Putih menang telak dengan dukungan 226 suara, sementara pendukung pemilihan kepala daerah langsung hanya 135. Enam anggota Demokrat dan sebelas politikus Golkar mengambil sikap berbeda dari partainya dan menyatakan mendukung pemilihan langsung. Di antara mereka ada pendukung Joko Widodo dalam pemilihan presiden, seperti Nusron Wahid, Agus Gumiwang, dan Poempida Hidayatulloh dari Golkar.
SIKAP Demokrat itu rupanya sudah dirancang sejak awal. Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy mengatakan walkout partai berlambang bintang Mercedes itu dilakukan pada dinihari sebagai skenario agar tak terlalu mencolok melakukan manuver. Menurut dia, Demokrat sebenarnya bisa mundur sejak pukul tujuh malam. "Itu skenario dan janji Demokrat sejak awal," ujarnya.
Menurut seorang politikus Demokrat, gong dari seluruh skenario itu adalah komunikasi Sjarifuddin Hassan Âdengan ÂYudhoyono yang diteruskan Agus Hermanto kepada Benny Kabur di menit akhir. Karena itu, meski Priyo sudah mencabut dua opsi dan menerima syarat yang diajukan Demokrat sebagai satu pilihan, Benny malah menanggapinya dengan menyatakan mundur dari ruang sidang.
Sjarifuddin Hassan berkelit mengkonfirmasi komunikasinya dengan Yudhoyono. Ia berjanji menjelaskan manuver partainya itu kepada Tempo pada Jumat malam pekan lalu. Ia meminta dihubungi lagi setelah menerima tamu. Namun, hingga dinihari, Sjarifuddin tak jua membalas pertanyaan. Dengan alasan yang sama, Agus Hermanto tak mau menanggapi perihal ia menjadi perantara perintah Yudhoyono. Nurhayati setali tiga kepeng. "Saya tak mau berkomentar tentang peristiwa semalam," katanya kepada Febriana Firdaus dari Tempo.
Langkah kuda Demokrat itu tak lepas dari bagi-bagi kekuasaan yang ditawarkan Koalisi Merah Putih. Mereka akan mendapat jatah kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Partai lain akan menguasai parlemen: Golkar untuk kursi Ketua DPR, sementara wakil ketua dari Gerindra, PAN, PPP, dan PKS. "Itu tak ada kaitannya dengan RUU Pilkada," ujar Benny Kabur membantah.
Menurut Romahurmuziy, ajakan koalisi dari PDI Perjuangan tak disertai insentif politik. Padahal, kata dia, dalam politik, insentif berupa bagi-bagi kekuasaan di parlemen ataupun pemerintahan sangat penting. Bagi Demokrat, bergabung dengan koalisi PDIP juga belum tentu mengungguli suara Koalisi Merah Putih. Joko Widodo perlu dua partai agar mendapat sokongan kuat di parlemen.
Di Washington, Presiden Yudhoyono menyatakan kecewa atas hasil voting di Senayan. Ia mengklaim telah meminta Ketua Kehormatan Demokrat Amir Syamsuddin mengusut "pembelot yang menggagas walkout". Yudhoyono berjanji partainya akan menggugat peraturan itu ke Mahkamah Konstitusi. Namun, menurut Romahurmuziy, "Pidato itu bagian dari pelengkap skenario manuver Demokrat."
Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq, Riky Ferdianto, Wayan Agus Purnomo, Muhammad Muhyiddin
Putar Balik Demokrasi
Hasil pemungutan suara oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat membalikkan arah demokrasi Indonesia. Kelompok fraksi pendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD memenangi voting. Rezim pemilihan secara langsung yang dimulai pada 2005 berakhir.
Pemilihan oleh DPRD
Pemilihan langsung
Kantong Suara Dua Kubu
Koalisi Merah Putih—Golkar, PPP, PAN, Gerindra, plus Demokrat—menggagalkan pemilihan langsung untuk menguasai eksekutif di daerah. Koalisi PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura diperkirakan hanya akan menang di Bali dan Kalimantan Barat pada pemilihan gubernur melalui DPRD, seperti terlihat pada perolehan kursi kedua kubu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo