Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT partai itu sudah lebih dari dua tahun lalu, tapi perdebatannya masih terekam kuat di ingatan Bambang Wuryanto. Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Dewan Perwakilan Rakyat ini masih ingat bagaimana Megawati Soekarnoputri tiba-tiba menahan palu yang digenggam Tjahjo Kumolo. "Dengarkan dulu, jangan digedok," kata Ketua Umum PDI Perjuangan itu seperti ditirukan Bambang kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Megawati lalu meminta sang Sekretaris Jenderal menyimak protes para pengurus yang mempersoalkan rencana menetapkan Puan Maharani sebagai ketua fraksi. Beberapa pengurus yang hadir dalam rapat di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, sore itu mempertanyakan kapasitas putri bungsu Mega ini memimpin pasukan di Senayan.
Sebagai pendatang baru, Puan diragukan bisa membawa pasukan banteng dan mengendalikan permainan politik "beringas" di gedung wakil rakyat. Puan tak hadir dalam rapat sore itu sehingga tak bisa ditanyai soal penugasan tersebut. Mega akhirnya mengambil jalan tengah: menunda rapat hingga esok harinya.
Esoknya, Mega panjang-lebar menjelaskan soal sejarah PDIP sebagai partai ideologis. Setelah itu, palu sidang diayunkan. Rapat memutuskan putri Mega itu menggantikan Tjahjo Kumolo sebagai ketua fraksi.
Banyak orang memang bertanya mengapa Puan, yang belum genap satu periode menjadi anggota DPR, langsung meloncat jadi ketua fraksi. Ia baru tiga tahun menjadi anggota Dewan setelah lolos Pemilihan Umum 2009 dari daerah pemilihan Jawa Tengah V. Puan juga baru setahun duduk sebagai Ketua PDIP Bidang Politik dan Hubungan Antar-Lembaga, hasil Kongres PDIP di Bali, April 2010. Masuknya Puan di arena kongres itu menutup peluang Muhammad Prananda Prabowo, kakaknya sendiri, masuk ke jajaran pengurus.
Prananda adalah anak kedua Megawati dari suami pertama, Letnan Satu Penerbang Surindro Suprijarso. Nanan alias Uweng, begitu ia biasa dipanggil, masih dalam kandungan ketika Surindro dinyatakan hilang dalam kecelakaan pesawat di Biak, Papua Barat, pada 1970. Kakak Prananda, Mohammad Rizky Pratama alias Tatam, baru berusia dua tahun.
Beberapa politikus PDIP menyatakan nama Puan dan Prananda dimunculkan Taufiq dan Mega menjelang kongres di Bali, 2010. Ini terkait dengan perbedaan pandangan di antara keduanya. Kala itu, Taufiq, yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, menyatakan tak keberatan jika Partai Demokrat menawarinya koalisi.
Namun Mega ngotot PDIP tetap di luar kekuasaan dan beroposisi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Prananda berada dalam satu garis dengan ibunya, berani berbeda sikap dengan Taufiq," ujar salah satu politikus PDIP.
Seorang politikus senior PDIP menyebutkan perselisihan itu memicu Taufiq dan Mega mendorong anak-anaknya tampil di jalur politik. Dalam satu jumpa pers sebelum kongres, Mega mengenalkan anak-anaknya kepada publik. "Prananda dan Puan adalah anak saya. Mereka bagian dari anak-anak muda PDIP yang punya potensi," katanya. Mega yakin kedua anaknya siap ditempa untuk memimpin.
Politikus PDIP, Eva Kusuma Sundari, mengatakan Megawati menyiapkan proses regenerasi di partainya dalam lima tahun terakhir. Salah satunya menempa anak-anaknya dalam kegiatan partai. Trah Sukarno diharapkan bisa mempertahankan garis ideologi partai. "Mereka punya beban sejarah melanjutkan ajaran Sukarno," ujar Eva.
Menyusul Mega dan Guruh Sukarno Putra, Puan dan Prananda masuk sebagai bagian generasi kedua PDIP. Juga Puti Guntur, putri Guntur Soekarnoputra, anak sulung sang Proklamator. Seperti sepupunya, Puan, Puti akan dilantik menjadi anggota parlemen pada pekan depan. Dia mewakili daerah pemilihan Jawa Barat.
Di antara tiga cucu Sukarno di PDIP, karier Puan paling menjulang. Ia lebih dulu masuk politik dan langsung ditempa ayah-ibunya. Mega mengajak dia ke diskusi-diskusi politik, menjadi penonton atau peserta. Dia menemani ayahnya bertemu dengan politikus yang berseberangan dengan ibunya. Salah satunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di luar DPR, Puan sering memimpin acara nasional partai, turun ke daerah-daerah kantong suara partai, dan rutin menyambangi daerah pemilihannya. Karena itu, kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Puan dikenal menguasai lapangan politik di dalam dan di luar partai.
Berbeda dengan adiknya, Prananda kalah moncer. Di PDIP, ia masuk struktur karena posisinya sebagai Kepala Ruang Pengendali dan Analisa Situasi PDIP. Tugas-tugasnya lebih berbau konsep dan bersentuhan dengan Ketua Umum. Misalnya menyusun strategi partai dan mengawasi apakah ada penyimpangan terhadap keputusan kongres. "Ia mirip Sukarno muda, kuat dalam kajian ideologis," kata Ganjar.
Prananda mengecek segala persiapan yang terkait dengan kegiatan Mega di daerah. Dia menemani kunjungan politik Ketua Umum ke luar negeri, melaporkan perkembangan pemilihan kepala daerah dan pencalonan anggota legislatif, serta memantau perilaku kader partai di legislatif. Walhasil, dia kerap disebut sebagai figur penting di balik layar Mega. Ayah dua anak ini adalah ghostwriter pidato ibunya sekaligus teman Mega bertukar gagasan—sebelum ibunya mengambil keputusan-keputusan strategis. Salah satunya keputusan Mega menarik Joko Widodo dari Solo untuk berlaga di pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Keputusan Mega itu bertolak belakang dengan Taufiq Kiemas, yang ingin PDIP berkoalisi dengan Demokrat menyokong Fauzi Bowo. Perbedaan gaya dan talenta kedua anaknya membuat Mega menguji mereka dengan cara masing-masing. Keduanya diminta memimpin pemenangan pemilihan kepala daerah di dua basis PDIP: Prananda di Bali; Puan di Jawa Tengah.
Disokong ibu mereka, keduanya kerap dilanda isu rivalitas—semacam sibling rivalry. Puan dianggap anak ayahnya; Prananda dipandang anak ibunya. Isu rivalitas kian kencang ketika belakangan terungkap Prananda ikut berperan di balik "operasi senyap" menyiapkan Jokowi sebagai calon presiden. Dari turut mengusulkan Jokowi membaca deÂÂdication of life dalam Rapat Kerja ÂNasional III PDIP di Ancol, Jakarta, pada September 2013, sampai ikut membentuk tim sebelas unÂÂtuk menyiapkan Jokowi sebagai presiden.
Pencalonan Jokowi sendiri kurang disukai sejumlah politikus PDIP di sekitar Puan. Akibat rivalitas itu, PDIP disebut-sebut tak kompak menyokong Jokowi-Jusuf Kalla. Mega terpaksa turun gelanggang menjelaskan kabar tak sedap itu.
Di depan kadernya saat apel siaga di Semarang, tiga hari sebelum pemungutan suara pemilihan presiden, Mega berbicara. Katanya, "Ada yang menyebut Puan mendukung Prabowo, Prananda tak cocok dengan Puan, dan mereka bertentangan." Akibatnya, menurut Mega, keluarganya disebut pecah.
Kepada Tempo yang mewawancarainya April lalu, Puan membantah rivalitas dengan kakaknya. Dia mengaku senang karena Prananda kini ikut terjun ke dalam perahu politik yang sama. Prananda sendiri menolak diwawancarai. Berulang kali ditemui Tempo di berbagai kesempatan, pebisnis telekomunikasi ini lebih suka cengar-cengir dan menghindar. Tentang perjalanan karier politiknya, dia hanya bilang begini: "Biarlah waktu yang membuktikan."
Eva Sundari beranggapan Puan dan Prananda adalah aset Mega yang tak perlu bersaing satu sama lain. Mereka, seperti halnya generasi muda PDIP yang lain, punya waktu untuk membuktikan diri dan saling menyokong antarkader. Ini syarat PDIP bagi setiap kader bila ingin layak disebut pengurus atau pemimpin partai. Mega, menurut Eva, dengan caranya sendiri telah membawa kedua anaknya menempuh jalan tersebut—dan menyatukan kekuatan mereka ke dalam partai: Puan di lapangan, Prananda dalam ideologi.
Agustina Widiarsi, Rofiuddin, Muhammad Rizki, Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo