Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pil Pahit Bank Indover

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lin Che Wei, CFA*

Likuidasi Bank Indover menarik untuk dibicarakan hari-hari ini. Penyelamatan bank ini, dengan injeksi dana 545,6 juta euro adalah bukti bahwa Indonesia tidak mempunyai mekanisme dan prosedur yang cukup baik dalam pengelolaan krisis.

Krisis yang melanda dunia memang belum menyentuh sektor riil. Hal ini karena tingkat kemapanan finansial dan keterlibatan masyarakat Indonesia di pasar modal masih rendah. Namun krisis yang serius bisa segera melanda jika terjadi krisis kepercayaan terhadap sektor perbankan. Terutama karena Indonesia merupakan negara yang mempunyai ketergantungan yang sangat besar pada bank konvensional. Krisis yang menimpa sebuah bank dapat dengan mudah memicu risiko sistemik yang menggoyahkan kepercayaan terhadap sektor perbankan.

Belajar dari pengalaman krisis pada 1997-1998, Indonesia telah cukup banyak membenahi sektor perbankan. Tingkat permodalan bank di negeri ini salah satu yang paling tinggi di Asia. Kredit macet, non-performing loan, bank-bank saat ini juga relatif sangat rendah.

Namun krisis yang terdahulu juga telah memberikan pelajaran pahit dalam hal penanganan krisis. Pengambil keputusan tidak berani mengambil langkah penting atau darurat di tengah situasi gawat. Penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikucurkan di zaman krisis moneter telah menyeret beberapa petinggi Bank Indonesia ke meja hijau, bahkan ada yang dipenjara. Akibatnya, muncul keengganan di antara mereka untuk mengambil langkah darurat dalam keadaan mendesak.

Kemungkinan likuidasi Bank Indover oleh pemerintah Belanda telah memicu naiknya status risiko yang dihadapi Indonesia, baik risiko pemerintah maupun risiko perbankan. Hal ini terlihat dari naiknya credit default swap ke level yang sangat tinggi begitu berita kemungkin­an likuidasi Bank Indover diumumkan.

Mengacu pada pengalaman dunia dan domestik, bailout terhadap institusi keuangan yang mempunyai risiko sistemik sangat penting. Keputusan segera harus diambil sebelum timbul kerugian yang lebih besar. Keterlambatan bailout pemerintah Amerika atas Freddie Mac, Fannie Mae, dan AIG, adalah pelajaran berharga. Dalam skala Indonesia, pada 1998, keputusan untuk tidak mem-bailout BDNI juga telah menimbulkan kepanikan nasabah yang memicu krisis keuangan yang lebih dalam.

Bank Indover berstatus cukup unik, yakni ­dimiliki Bank Indonesia, bank sentral. Di mata investor dan kreditor, tentu saja Indover dipandang lebih ”aman” ketimbang bank swasta—meskipun status bank ini masih sedikit di bawah bank-bank milik pemerintah yang memiliki jaminan implisit dari pemerintah Indonesia.

Pada masa krisis keuangan seperti ini, munculnya berita utama ”bank milik bank sentral Republik Indonesia akan dilikuidasi” tentu merisaukan. Kreditor dan perbankan internasional pasti khawatir. Jika bank milik bank sentral saja tidak diselamatkan, bagaimana nasib bank-bank swasta di Indonesia jika nanti tertimpa krisis? Pandangan seperti ini tentu tidak benar. Namun, di masa krisis seperti ini, orang cenderung bertindak ”jual dulu, pikir belakangan”. Maka kurang cepatnya pena­nganan krisis dapat berakibat signifikan.

Dampak dari keraguan akan kredibilitas bank-bank Indonesia pascakrisis Bank Indover sudah mulai terlihat. Perbankan internasional banyak mengajukan pertanya­an soal itu. Kendati kondisi fundamental bank-bank di Indonesia cukup nyaman, risiko dan persepsi negatif terhadap kredibilitas bank sentral bisa berdampak buruk.

Berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui bailout plan cukup menenangkan pasar. Namun kritik dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional—yang notabene bagian dari pemerintah—atas rencana bailout ini menunjukkan betapa kurangnya koordinasi internal. Ini juga menunjukkan kurangnya kesadaran atas potensi krisis kepercayaan apabila Indover dilikuidasi. Kontroversi perlu atau tidaknya bailout mestinya dilakukan secara internal, bukan melalui debat terbuka yang hanya memicu ketidakpastian dan meningkatkan risiko.

Pada keadaan seperti ini, bailout perlu dilakukan untuk mencegah risiko sistemik. Langkah darurat peme­rintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sudah tepat. Dengan catatan, mereka yang membuat Indover runtuh harus dikejar. Jumlah yang harus dikeluarkan pemerintah untuk bailout sangat kecil dibandingkan risikonya. Tentu saja langkah ini sangat mudah menimbulkan kritik dari politikus yang cenderung hanya mencari kesalah­an dari apa pun yang dilakukan pemerintah.

Saat ini para pengambil keputusan sedang menghadapi dilema atas dua pilihan sulit. Pilihan pertama, melakukan tindakan darurat yang perlu untuk membatasi kerugian meskipun langkah ini tidak seratus persen sesuai dengan koridor aturan. Pilihan kedua, tidak bertindak apa pun, mengambil posisi aman dan tidak bisa disalahkan secara administratif. Pilihan kedua ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar dan sistemik.

John F. Kennedy pernah menyatakan, ”Neraka yang paling dalam disediakan bagi mereka yang dalam keadaan krisis (moral) tapi memilih tetap ­mempertahankan sikap netral.” Pengambil keputusan yang hanya ingin mencari jalan aman dalam situasi krisis menunjukkan kualitas dan karakter mereka. Dalam era pemberantas­an korupsi, maka meminimasi potensi kerugian bagi pengambil keputusan menjadi lebih penting ketimbang menekan potensi kerugian dari negara dan bangsa.

Contoh pahlawan yang tidak dihargai dan masuk penjara karena mengambil tindakan darurat di masa krisis sudah banyak. Kita benar-benar membutuhkan suatu mekanisme penanganan krisis yang baik. Perlu ada jamin­an dan perlindungan bagi pengambil keputusan darurat yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas risiko pribadi. Pucuk pimpinan tertinggi negara ini dan Dewan harus dapat membuat mekanisme untuk melindungi Indonesia dari krisis.

*) ­Pendiri Independent Research & Advisory Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus