Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN orang berkaus putih bertulisan “maisug”, bahasa Tagalog yang berarti “berani”, memadati Taman Rizal di Kota Davao, Filipina, Ahad, 28 Januari 2024. Jalan-jalan ditutup selama acara “Hakbang ng Maisug” (“Melangkah dengan Berani”) yang berlangsung hingga malam tersebut. Mereka adalah para tokoh dan pendukung mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah taman berdiri sebuah panggung besar tempat para elite politik, termasuk Wali Kota Davao Sebastian “Baste” Duterte dan Wakil Presiden Filipina Sara Duterte-Carpio, berpidato dan penyanyi menghibur penonton. Sebastian adalah anak bungsu Duterte yang menggantikan kakak perempuannya, Sara, sebagai wali kota. Forum ini adalah upaya dinasti politik Duterte menggalang dukungan untuk menolak amendemen konstitusi, yang didorong oleh Presiden Filipina Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., putra diktator Ferdinand Marcos Sr.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidatonya, Sebastian mengaku terluka oleh rencana Bongbong. Menurut dia, Bongbong menggunakan kekuasaannya untuk berpolitik dan bermain drama dan membandingkannya dengan ayahnya, Duterte, yang menggunakan kekuasaannya untuk “menghilangkan pemberontakan, khususnya di Kota Davao”. “Jika Anda (Bongbong) tidak menunjukkan cinta dan aspirasi kepada negeri ini, lebih baik mundur,” katanya, seperti dikutip Manila Standard.
Sara juga mengecam rencana amendemen konstitusi itu. “Penting untuk melihat dan memahami bahaya yang mengintai saat kita menyerahkan konstitusi kita ke tangan orang-orang yang mempunyai kepentingan pribadi dan politik,” ujarnya. “Mari kita melawan perubahan konstitusi kita melalui ‘uang sebagai imbalan prakarsa rakyat’.”
Di Manila, pada hari yang sama, Presiden Bongbong Marcos meluncurkan “Bagong Pilipinas” (“Filipina Baru”) untuk mendorong perubahan konstitusi. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengadopsi resolusi yang menyatakan dukungan yang “kuat dan tanpa syarat” kepada Bongbong atas kepemimpinan dan komitmennya untuk mengarahkan negara menuju Filipina Baru pada 29 Januari 2024.
Bongbong hendak mengubah konstitusi melalui prakarsa rakyat, yakni dukungan lewat tanda tangan dari sedikitnya 12 persen jumlah pemilih terdaftar di Komisi Pemilihan Umum dan setiap daerah pemilihan legislatif harus diwakili oleh sekurang-kurangnya 3 persen pemilih. Bila hal itu terpenuhi, Komisi akan menggelar pemungutan suara mengenai apakah pemilih mendukung amendemen Pasal 17 dalam Konstitusi 1987, yang bakal memungkinkan semua anggota Kongres memberikan suara mengenai usulan amendemen konstitusi di majelis konstituante.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr., di Istana Malacanang, di Manila, Filipina, 10 Januari 2024. Reuters/Ezra Acayan
Metode prakarsa rakyat ini menguntungkan Dewan Perwakilan Rakyat, yang punya 314 anggota, melebihi anggota Senat, yang hanya 24 anggota. Dewan kini dipimpin Martin Romualdez, sepupu Bongbong, yang diduga sebagai pemrakarsa amendemen.
Bongbong mengklaim bahwa amendemen itu bertujuan mendorong perubahan ketentuan yang memudahkan investasi asing. “Saya bertemu dengan tokoh-tokoh hukum kita dan mencoba mencari jalan, karena itulah yang akan mereka diskusikan, yakni ketentuan-ketentuan ekonomi yang telah saya bicarakan selama bertahun-tahun,” katanya, seperti dikutip kantor berita Filipina PNA, 31 Januari 2024.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Sosial Ekonomi Filipina Arsenio Balisacan mengatakan “pembatasan yang tidak perlu” dalam ketentuan ekonomi dalam konstitusi harus dihilangkan untuk menarik lebih banyak investor asing. Joey Salceda, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sependapat dengan Balisacan dan mengatakan bahwa amendemen konstitusi sangat penting dalam meningkatkan kepercayaan investor terhadap negara tersebut.
Namun para penentang khawatir amendemen itu akan membuka jalan bagi perpanjangan masa jabatan presiden. Konstitusi 1987, yang lahir setelah gerakan rakyat menggulingkan pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos yang korup, menetapkan bahwa masa jabatan presiden hanya satu periode atau enam tahun dan tak bisa diperpanjang. Tujuannya adalah mencegah efek inkumben, ketika calon presiden inkumben terpilih lagi dan dapat berkuasa lama seperti Marcos, meskipun dengan aturan sekarang pun dinasti politik masih merajalela di negeri itu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Davao, Paolo Duterte, memperingatkan konstituennya agar tidak mendukung upaya Bongbong ini. “Kepada semua warga Davao, jangan jual jiwamu hanya dengan 100 atau 10 ribu peso (Rp 28 ribu-2,8 juta) untuk ditukar dengan tanda tanganmu. Jika kalian ingin mengikuti antek-antek orang yang bermimpi menjadi hebat di Kongres menuju kehancuran, itu adalah pilihan kalian,” ujar putra sulung Rodrigo Duterte tersebut.
Marcos dan Duterte adalah dua dinasti politik terbesar di Filipina. Keduanya bersatu dalam pemilihan umum 2022 dengan mengajukan Bongbong Marcos sebagai calon presiden dan Sara Duterte sebagai calon wakil presiden. Mereka menang besar dalam pemilihan itu. Namun Duterte tak pernah mendukung Bongbong sebagai presiden dan pernah menyebut penggantinya itu sebagai “anak manja” dan “pemimpin yang lemah”. Duterte juga tidak suka putrinya memberi jalan kepada Bongbong dan mencalonkan diri sebagai wakil presiden alih-alih calon presiden.
Koalisi bernama Uniteam itu kemudian pelan-pelan retak. Sara harus menarik permintaannya untuk mendapat dana intelijen sebesar 650 juta peso atau hampir Rp 182 miliar setelah Kongres menolaknya. Sara juga menentang keputusan Bongbong untuk memulai kembali perundingan perdamaian dengan kelompok komunis, sikap yang sejak dulu ditentang ayahnya.
Perselisihan dua dinasti itu merembet ke luar isu amendemen. Duterte mengklaim telah melihat nama Bongbong dalam daftar pantauan tersangka pengguna narkotik ketika ia menjadi Wali Kota Davao pada awal 2000-an. “Bongbong Marcos sedang teler saat itu. Sekarang dia adalah presiden, dia masih teler,” kata Duterte. “Kita punya pencandu narkoba yang menjadi presiden.”
Bongbong hanya menertawakan tuduhan itu. “Saya pikir itu karena fentanil,” ujarnya. Fentanil adalah obat pereda nyeri. Dia membalikkan tuduhan tersebut kepada Duterte, yang pernah mengaku memakai obat pereda nyeri opioid. “Setelah lima-enam tahun, hal itu akan berdampak padanya. Itu sebabnya, menurutku, seperti itulah jadinya. Jadi saya harap dokternya bisa merawatnya dengan lebih baik dan tidak mengabaikannya saat dia mengalami masalah.”
Duterte juga gusar mendengar kabar bahwa penyelidik Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah tiba di negeri itu untuk mengumpulkan berbagai bukti mengenai pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia dalam program pemberantasan narkotik di masa pemerintahannya. Politikus 78 tahun itu menentang penyelidikan ICC. Pemerintahannya dulu bahkan menarik diri dari keanggotaan Statuta Roma, yang menjadi dasar ICC.
Sempat pula beredar rumor bahwa Duterte berencana menggulingkan Bongbong, tapi Duterte membantah isu tersebut. Pejabat tinggi pertahanan Filipina juga menepis rumor itu dan mengatakan militernya, yang punya sejarah panjang perihal rencana kudeta, tetap profesional dan akan mengikuti rantai komando. “Petualangan sebelumnya sudah menjadi masa lalu,” kata Menteri Pertahanan Gilberto Teodoro Jr. kepada Time. “Perwira kami tidak terlalu mudah tertipu oleh hal-hal seperti itu.”
Meskipun sudah berbeda jalan dengan Bongbong, Sara Duterte mengaku akan tetap berada di kabinet kecuali Presiden memecatnya. “Saya tidak pantas menerima perlakuan tercela yang saya terima dari sektor-sektor di lingkungan Presiden,” ujarnya tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sara diketahui tengah bersaing dengan Martin Romualdez, yang berminat mencalonkan diri pada pemilihan presiden 2028.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pecah Kongsi Dua Dinasti"