Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bagaimana Kami Menetapkan Karya Seni Pilihan Tempo 2023

Tempo kembali memilih karya para perupa, koreografer, dramawan, musikus, dan sastrawan dalam Karya Seni dan Sastra Pilihan Tempo 2023.

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGUMULAN-PERGUMULAN baru senantiasa ditunjukkan oleh para pelaku dunia sastra dan seni kita. Demikian juga sepanjang 2023. Tarik-menarik antara eksperimen dan konvensionalitas, ketegangan antara isi dan bentuk, dialektika antara kritik sosial dan seni untuk seni, juga pertarungan antara klise dan tidak klise mewarnai pergulatan estetis para seniman kita. Berbagai fenomena dapat kita baca. Ada seniman yang berusaha keras mengejar kejutan-kejutan, ada yang mengedepankan critical thinking, ada pula yang mengolah kesubliman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembaca, melanjutkan tradisi Tempo, pada awal tahun kami selalu menengok tahun sebelumnya untuk melihat perkembangan karya sastra dan seni. Pada awal Februari 2024, kami merefleksikan capaian-capaian yang dibuat sastrawan dan seniman kita sepanjang 2023. Kami mencoba melihat mana-mana karya yang memberikan terobosan-terobosan tapi juga menyajikan kematangan. Tanpa terobosan, sastra dan seni kita mudah terjun ke kejumudan atau kemacetan. Namun terobosan yang tidak diimbangi kedalaman hanya memperlihatkan hura-hura inovasi. Kami mengundang beberapa penulis, akademikus, juga pengamat seni yang erat kesehariannya dengan karya para seniman. Kami berdiskusi dengan hati-hati mengenai masalah itu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari seni rupa, kami melihat galeri bertumbuh di Ibu Kota. Pameran-pameran tunggal dan bersama, bursa seni, dan festival pun marak didatangi penikmat seni hingga kolektor muda. Kami memantau pameran-pameran di Bali, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, serta Jakarta dan menuliskan review untuk pameran yang kami anggap kuat. Kami melihat seni rupa subur dengan tema dan medium yang beragam. Bukan hanya seni kontemporer, seni rupa tradisional pun bisa diangkat ke level yang bermakna bagi dunia urban. Jika melihat pameran Subandi di Bentara Budaya Yogyakarta yang mengolah kembali berbagai idiom gambar pakuwon-pakuwon Jawa, misalnya, sungguh akan terasa kita menikmati sebuah pameran surealis.

Tahun lalu, banyaknya perupa perempuan yang berpameran tunggal juga harus dicatat. Ayurika, Nadiah Bamadhaj, Lusiana Limono, dan Bibiana Lee, misalnya, sangat kuat menyuarakan tubuh, feminisme, dan kelompok minoritas. Ayurika secara berani menghadirkan tubuh-tubuh perempuan yang mengelak dari tatapan ideal “male gaze”. Tubuh-tubuh yang gembrot dan dalam kondisi hamil ditampilkan dari angle yang sangat tidak lazim. Perupa senior seperti Nunung W.S., meski sudah sepuh, secara mengesankan juga tetap berenergi menghadirkan lukisan-lukisan abstrak dalam kanvas ukuran besar di Galeri Nasional Indonesia.

Setidaknya kami memantau hampir 40 pameran tunggal. Para juri yang kami undang adalah pengamat seni Hendro Wiyanto dan Bambang Bujono serta jurnalis Tempo di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta yang sehari-hari terlibat dalam penulisan resensi seni rupa. Para juri menganggap semua medium yang digunakan setara dalam penilaian, dari pameran karya rajut, cat minyak kanvas, grafis, sampai instalasi digital. Para juri sepakat bahwa ungkapan baru, kematangan, serta keutuhan perupa dalam menyajikan karya di pameran menjadi parameter penilaian utama. 

Pengunjung melihat karya lukisan di pameran tunggal perupa Diyanto di Lawangwangi Creative Space dengan judul "Simfoni Patetik Diyanto" di Bandung, Juni 2023. Tempo/Prima Mulia

Dari puluhan pameran yang dibahas, pilihan juri mengerucut pada empat nama: Diyanto, Tromarama, Nadiah Bamadhaj, dan Albert Yonathan. Mereka mempunyai keunikan dan kekuatan masing-masing. Diyanto, perupa Bandung yang dekat dengan kelompok teater dan dikenal sering menangani tata panggung (skenografi) pertunjukan teater, dari Teater SAE sampai Studiklub Teater Bandung, memamerkan karya-karya kanvas berukuran sangat besar yang telah ia “peram” selama bertahun-tahun di Galeri Lawangwangi, Bandung. Kanvas Diyanto menyuarakan emosi zaman ini yang kacau-balau. Realitas-realitas pedih negeri ini, dari penembakan misterius, kekacauan reformasi, sampai sirkus korupsi, menciptakan sebuah dunia yang patetis. Kanvasnya adalah alegori simfoni kekacauan dan kegilaan. Sebagai seorang “Homo Theatricus”, Diyanto tampak memontasekan berbagai adegan tragis dalam imaji-imaji teater.

Adapun Nadiah Bamadhaj, perupa asal Malaysia yang telah menjadi warga Indonesia, menyajikan karya-karya perlawanan feminis tapi estetis dan mudah dipahami. “Nadiah berhasil mengartikulasikan critical thinking feminisme dalam karya-karyanya berupa obyek vagina, misalnya, yang sederhana,” kata salah seorang juri. Secara teknis, juri juga melihat ia terampil mengolah medium. “Dia canggih membuat gambar dengan cara menyusun lapisan-lapisan kertas sehingga serasa gambar nan patung,” tutur juri lain.   

Pementaskan teatrikal Laksamana Malahayati di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 September 2023. Antara/Indrianto Eko Suwarso

Kelompok perupa kontemporer Tromarama yang baru ditahbiskan majalah ArtAsiaPacific sebagai The Artist of 2023 juga masuk radar pantauan juri. Pada September 2022, kami menyaksikan pameran Tromarama di Galeri ROH Projects, Jakarta, yang menyajikan 18 instalasi yang merefleksikan penggunaan teknologi sehari-hari. Dalam pameran itu, Tromarama menyajikan berbagai problem hiper-realitas. Meleburnya offline reality dengan online reality ini yang juga menjadi isu utama pameran Tromarama di Hong Kong tahun lalu. Tromarama menarik karena tema dan medium karya-karya mereka selalu bertolak dari persoalan-persoalan digitalisasi semua lapisan kehidupan.

Adapun Albert Yonathan adalah seniman yang setia mengolah keramik. Sudah sangat jarang seniman keramik kini berpameran tunggal. Albert lahir di Bandung pada 1973. Ia belajar di Studio Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (2002-2007 dan 2010-2012), kemudian menempuh studi pascasarjana di Ceramic Department Kyoto Seika University, Jepang (2014-2016), hingga lulus program doktoral di sana (2016). Ia kini menetap di Tokyo. Dalam pameran tunggalnya bertajuk “Capturing Silence” di Jogja National Museum, Yogyakarta, November 2023, Albert mengaku sebagai sekularis. Karyanya sama sekali tak bertolak dari gagasan-gagasan spiritual. Namun, tatkala melihat bagaimana keramik-keramik ditata secara repetitif dalam lingkaran dan bagaimana keramik-keramik yang pecah, retak, dan tak selesai juga bisa membuat makna, itu mengingatkan pada gagasan Zen Buddhisme. 

Beririsan dengan maraknya khazanah seni rupa merayakan dunia multimedia, menarik memperhatikan sejumlah seniman seni pertunjukan pada 2023 menyajikan pertunjukan sarat teknologi dengan serius. Kami mencatat pertunjukan Teater Garasi, Waktu Batu. Rumah yang Terbakar, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Agustus tahun lalu, yang membaurkan akting dengan multimedia, seni video canggih, ke semua dimensi ruang. 

Pementasan Teater Garasi bertajuk "Waktu Batu. Rumah yang Terbakar", di JNM Bloc, Jogja National Museum, Yogyakarta, Juli 2023. Artjog.id

Yang juga istimewa adalah eksperimen Deden Bulqini membuat seri pertunjukan dengan tokoh utama robot sederhana. Deden sebelumnya lebih banyak berada di belakang layar dalam pertunjukan teater. Ia, misalnya, banyak menata videografi pertunjukan Teater Koma. Kini ia menyajikan karya sendiri dengan subyek robot.

Karya-karya semacam ini bisa disebut sebagai terobosan yang cukup berarti untuk seni pertunjukan kita. Dengan makin berlimpahnya eksperimen, bukan berarti seni pemeranan konvensional teater mati. Teater ini tetap bertahan dan masih ada yang menggigit tahun lalu. Kisah panglima laut Aceh, Malahayati, yang disutradarai Iswadi Pratama, misalnya, menyedot perhatian karena set panggung diisi lambung kapal yang ukurannya sama dengan kapal tradisional asli. Penampilan Teater Salindia sebagai salah satu grup terbaik Festival Teater Jakarta 2023 yang mementaskan terjemahan The Maid karya Jean Genet juga memukau. Dimainkan tiga perempuan yang berganti-ganti peran, menjadi nyonya dan pembantu yang saling mengintimidasi, pertunjukan itu mengembalikan kekuatan seni pemeranan realisme.

Nama Irwan Ahmett menjadi perbincangan khusus dalam diskusi dewan juri. Sama dengan Deden Bulqini, Irwan bertolak dari dunia seni rupa tapi karyanya menjadi lintas batas, menembus pengotak-ngotakan seni. Karya-karya performance-lecture-nya bahkan dianggap bisa memperluas definisi monolog dalam pertunjukan teater. Itulah sebabnya penyelenggara pertunjukannya yang berjudul Satu Sekoci dengan yang Kubenci di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Agustus 2023, adalah Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Sebagian besar penontonnya pun khalayak teater. Seorang diri di panggung, ia menyuarakan isu kerusakan lingkungan di Jakarta. Penampilannya bagai monolog kritis.

•••

DALAM pemilihan buku sastra, kami menerima lebih dari 120 judul buku prosa dan puisi, baik yang berbentuk cetak maupun soft file (PDF), dari para penerbit dan penulis. Antusiasme para penerbit dan penulis cukup besar. Beberapa buku masih datang seusai penjurian dan penilaian, bahkan ketika pengumuman para nomine. Seperti tahun sebelumnya, kami mengundang Oka Rusmini, penulis dan jurnalis; Seno Gumira Ajidarma, penulis dan pengajar di Institut Kesenian Jakarta yang juga Ketua Akademi Jakarta; serta Faruk, pengajar S-3 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bersama mereka, kami menyisir ratusan judul buku dan memerasnya menjadi 15-20 buku kategori prosa dan puisi. Setelah itu, diskusi kami lanjutkan untuk menentukan lima besar nomine.

Untuk lima besar prosa, kami memperdebatkan lima karya, yakni novel Orang Keren Tidak Menengok ke Arah Ledakan (Rio Johan); Malam Seribu Jahanam (Intan Paramaditha); Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta (Anton Kurnia); Mimi Lemon (Cyntha Hariadi), serta Sentimentalisme Calon Mayat (Sony Karsono). Adapun lima besar buku kumpulan puisi adalah Tiket Masuk Bioskop (Afrizal Malna), Arunika (Alit S. Rini), Kopi dan Kepo (Hasan Al Banna), Rumah c19 (Sindu Putra), dan Kadang Rumah Tak Memberimu Pulang (Theoresia Rumthe). 

“Hampir semua karya prosa mengambil tema-tema kecil yang membuat kita ‘menghela napas’, gaya berceritanya tenang,” ujar salah satu juri. Karya Cyntha yang mendedahkan persoalan feminisme pascamodern, misalnya, pengisahannya tanpa emosi, berbeda jauh dengan hampir semua karya novelis perempuan lain yang apabila menyuarakan feminisme penuh dengan kemarahan, emosi, dan bahkan makian. Cyntha bercerita dengan dingin tentang hal-hal sederhana di wilayah domestik: menjadi ibu, melihat anak tumbuh, dan lain-lain. “Penulisannya halus dan canggih, menjadikannya lebih dari biasa dan dramatik,” ucap juri lain. Akan halnya karya Sony Karsono, Sentimentalisme Calon Mayat, para juri sepakat cerita pendek ini memberikan kesan biasa di awal cerita. Tapi, makin dibaca dan dipahami maknanya, ada sesuatu yang berat. Ada luka terduka dalam kisah buku itu. Buku ini bercerita tentang keabsurdan Surabaya. 

Pemilihan buku puisi tak kalah seru dalam diskusi. Penulisan karya Afrizal Malna, sastrawan yang cukup produktif, tak diragukan lagi lewat Tiket Masuk Bioskop Autobiografi. Dalam karya ini, Afrizal mengangkat tema kematian dan hari tua. Sesuatu yang tak biasanya ada pada diri Afrizal. “Paru-paru saya bertambah tua. Mungkin perlu renovasi, membersihkannya, mengganti catnya dengan warna-warna cat masa kini yang lebih kabur dan lembut…. Tubuh yang sebelumnya bekerja untuk bertahan, di usia tua, tampaknya perlahan-lahan mulai menyerah, lapuk dan usang…. Apakah puisi bisa tua?” tulis Afrizal dalam pengantar bukunya. Maut sebagai tema semua puisinya ia olah secara tak konvensional melalui phantasmagoria game video horor sampai tokoh mitologi Yunani, Achilles. Menurut para juri, selipan tokoh Achilles membuat kita memasuki dunia kematian dengan cara yang “riang”. “Saya tak memasuki tema kematian dari perspektif ketuhanan,” kata Afrizal dalam diskusi di sebuah kafe di Jalan Kayutangan, Malang, Jawa Timur, pada acara Borobudur Writers & Cultural Festival, November 2023, setelah ia membacakan sajak-sajak kematiannya itu di Universitas Negeri Malang. 

Karya Afrizal bersanding dengan karya Alit S. Rini, Arunika. Karya ini berkaitan dengan dunia antropologis penulisnya. Buku ini mempertanyakan situasi di Bali, termasuk persoalan “warna” atau sistem hierarki dalam masyarakat Bali. Larik dalam puisi Alit mengalir, menukik, dan tak tersendat sama sekali, menyentuh hal personal, sastrawi, dan indah. Sementara itu, dalam karya Hasan Al Banna, pembaca diajak piknik belajar bahasa (dijelaskan kembali homonim, homograf, homofon, juga rima) dengan humor. Dengan begitu, pembaca bisa merenungkan betapa pentingnya seorang penyair memahami beragam “rambu” penulisan puisi dan berbahasa Indonesia dengan baik. Adapun judul buku Sindu Putra, Rumah c19, terilhami oleh pandemi Covid-19. Uniknya, penyair yang juga pegiat seni dan sastra di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ini adalah seorang dokter hewan. 

Melihat mutu karya-karya sastra yang masuk ke redaksi Tempo, para juri menilai dunia sastra Indonesia 2023 baik-baik saja. Secara khusus para juri melihat banyaknya kumpulan puisi baru dan bermutu dari Bali. Hal ini tidak lepas dari jasa (almarhum) Umbu Landu Paranggi yang bertahun-tahun menstimulasi berkembangnya komunitas-komunitas sastra. Selain itu, beberapa tahun terakhir kebijakan Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Bali sangat mendukung tumbuhnya sastra. Sejak 2020, Dinas Kebudayaan Bali menyelenggarakan Festival Seni Bali Jani yang mengedepankan seni modern. Dalam festival itu, sastrawan dilibatkan dan diberi penghargaan sehingga bisa menerbitkan karya-karyanya. Hal ini, menurut para juri, bisa dicontoh pemerintah daerah lain.

•••

DIBANDING sastra dan seni lain, ekosistem musik berbeda karena bersentuhan dengan industri album dan bisnis pertunjukan. Pada 2023, di mana-mana konser musik beragam genre menyedot perhatian anak-anak muda lintas generasi, lintas bahasa, dan lintas genre musik. Mereka seakan-akan membalas dendam, haus pesta-pora, seusai masa pandemi. Kita ingat tatkala rencana kedatangan Coldplay ramai dibincangkan sejak awal tahun lalu. Perang tiket berlangsung beberapa bulan sebelum grup musik ini manggung. Tiket seharga jutaan rupiah hingga yang termahal Rp 11 juta habis hanya dalam hitungan tak lebih dari 12 menit.

Bersama David Tarigan, pengamat musik; dan Nyak Ina Raseuki, pengajar Jurusan Penciptaan dan Pengkajian Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, tim juri internal Tempo mendata lebih dari 155 album yang diproduksi para musikus sepanjang 2023. Setelah itu, kami memendekkan daftar menjadi sepuluh besar. Dalam sepuluh daftar itu, rupanya terselip album Krakatau Ethno, yang beranggotakan Nyak Ina. Untuk obyektivitas, kami meminta Nyak Ina tidak ikut menilai album tersebut. Hingga kemudian sepuluh judul album kami peras lagi menjadi lima, lalu tiga album.

Untuk pemilihan ini, kami memperhatikan album-album alternatif yang tidak mainstream. Karena itulah tiga album kami pilih menjadi nomine, yaitu Rimpang dari Efek Rumah Kaca, Galaksi Rima Sakti karya Krowbar, dan Gelap Gempita milik Sukatani. Juri menganggap album Galaksi Rima Sakti memberikan tawaran baru musik hiphop yang sekaligus bernuansa musik lantai dansa akhir 1980-an. Mereka juga cukup nakal menghadirkan satire. Adapun lewat album Gelap Gempita, Sukatani, yang personelnya sepasang musikus dari Purbalingga, Jawa Tengah, menawarkan kelokalan yang unik. Rimpang karya Efek Rumah Kaca, seperti album-album sebelumnya, selalu mencuri perhatian baik dari segi musikalitas maupun liriknya. Album ini makin menunjukkan keutuhan dan kesolidan grup musik itu. 

Personil band Efek Rumah Kaca (dari kiri) Poppie Airil, Akbar Bagus, Choili Mahmud, Reza Ryan, di Kios Ojo Keos, Cilandak, Jakarta Selatan, Mei 2023. Tempo/Febri Angga Palguna

Para juri berdiskusi sembari mendengarkan berulang kali lagu-lagu dalam album terpilih. Tidak mudah begitu saja memutuskan. Juri mempertimbangkan unsur musikalitas, syair, dan pesan yang disampaikan lewat lagu. Bahkan juri, setelah berkali-kali berdiskusi, masih meminta waktu untuk beberapa hari mendengarkan album-album itu. “Rasanya pemilihan tahun ini tidak selancar tahun lalu. Tahun lalu, begitu mendengar, saya langsung dapat feel-nya sebagai pemenang,” ujar Nyak Ina, yang akrab dipanggil Ubiet. 

Pembaca, dengan segala pertimbangan, inilah karya sastra dan seni terbaik 2023 menurut kami. And the winner is...

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mereka yang Menawarkan Kesubliman, Kekritisan, dan Kelokalan". Penanggung Jawab: Seno Joko Suyono; Penyunting: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Mustafa Ismail; Pemimpin Proyek: Dian Yuliastuti; Penulis: Hendro Wiyanto, Bambang Bujono, Faruk HT, Oka Rusmini, David Tarigan, Dian Yuliastuti, Yosea Arga Pramudita, Ihsan Reliubun; Periset Foto: Ratih Purnama Ningsih (Koordinator), Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji

Penyunting Bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian; Desainer: Djunaedi, Rio Ari Seno

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus