Aca Sugandhy
Pengamat lingkungan, tata ruang, dan keterpaduan pembangunan; mantan asisten Menteri Negara KLH Bidang Tata Ruang
KAWASAN Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) ramai dibicarakan lagi. Pada musim hujan begini, penyimpangan pembangunan atas tata ruang di wilayah tersebut, karena banyaknya kasus korupsi, membawa akibat yang nyata: musibah banjir di Jakarta. Musibah seperti ini diperlukan untuk memberi pelajaran sekaligus mengingatkan kita terhadap kesalahan yang telah kita perbuat dalam melanggar peraturan perundang-undangan.
Ciri-ciri alam kawasan Puncak yang berada di wilayah administratif Bogor-Cianjur adalah suatu tatanan ekosistem tata air yang merupakan rahmat Tuhan, dengan keberadaan dua gunung api yang relatif masih aktif, yaitu Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak. Secara umum kawasan Puncak dan sekitarnya mendapat curah hujan rata-rata di atas 3.000 milimeter per tahun, yang terjadi hampir sepanjang tahun.
Secara hidrologi dan hidrogeologi kawasan Bopunjur merupakan areal efektif sebagai peresapan air permukaan menjadi imbuh alamiah bagi air tanah. Sejumlah mata air, situ, danau di lereng gunung dan potensi air tanah dangkal di kawasan yang lebih datar telah tercipta dengan serasi. Sistem siklus tata air dalam daerah aliran Sungai Ciliwung-Cisadane merupakan satu kesatuan tatanan hidrologi dengan DKI Jaya, dengan total kemampuan resapan air 750 juta meter kubik per tahun.
Sejak tahun 1960-an, vegetasi di sana terbagi ke dalam lima kelompok. Perhutanan ada di lokasi yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai usaha pertanian, pertanian lahan kering?termasuk kebun teh?banyak ditemukan di kawasan lereng bukit, kebun campuran di daerah aliran sungai, persawahan di dataran sampai dengan hulu Sungai Ciliwung, dan perumahan serta vila di kawasan dataran dan lereng.
Masalahnya, selain mempunyai peran yang strategis dalam ekosistem tata air, kawasan Puncak juga merupakan kawasan pengembangan pariwisata. Maka, sejak tahun 1970, laju pembangunan di kawasan Puncak meningkat dengan pesat. Semakin banyak pendatang?terutama orang-orang kaya dari Jakarta?yang membangun vila dan bungalow di sana. Berkembangnya pembangunan menyebabkan terjadinya perubahan lahan dari kawasan konservasi tanah dan air menjadi lahan permukiman tanpa terkendali. Perkembangan lahan permukiman diikuti pula dengan penurunan lahan hutan dan perkebunan sebesar 8 hingga 20 persen dalam tempo 10 tahunan.
Perkembangan tersebut umumnya menyimpang dari rencana rinci tata ruang kawasan Bopunjur, yang menetapkan kawasan fungsi lindung dan kawasan budi daya melalui Keppres Nomor 79 Tahun 1985, yang merupakan penyempurnaan Keppres Nomor 48 Tahun 1983. Akibatnya, daya dukung konservasi tanah dan air terlampaui, sehingga terjadilah musibah banjir pada awal tahun 1996, yang mengakibatkan hampir 5.200 hektare wilayah Jakarta terendam air. Penyimpangan yang dilakukan dalam proses perizinan pembangunan oleh oknum-oknum aparat pemerintah daerah, pengembang yang mau mengambil keuntungan, maupun demi kepuasan membangun vila untuk prestise beberapa pejabat sampai ke jenderal, berjalan terus sampai musibah banjir kembali melanda pada bulan Januari-Februari 2002.
Sebenarnya, bukan tidak ada usaha pemerintah untuk mengendalikan kawasan itu. Tahun 1963, misalnya, keluar Peraturan Presiden Nomor 13 tentang penertiban pengembangan baru di areal itu. Karena aturan-aturan itu terus dilanggar, tahun 1990-an Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah memberi peringatan keras pada pejabat dan pejabat daerah yang melanggarnya. Peringatan itu kemudian di-instruksikan untuk dilakukan tindak lanjut berupa pembongkaran tanpa pandang bulu terhadap bangunan-bangunan yang menyimpang. Namun, penyimpangan malah semakin merajalela, bahkan sudah jauh merambah ke kawasan fungsi lindung. Padahal, agar aturan tidak ketinggalan zaman, pemerintah selalu memperbaruinya. Keppres Nomor 79 Tahun 1985, umpamanya, telah diperbarui dengan Keppres Nomor 114 Tahun 1999. Namun apalah artinya suatu perundangan-undangan apabila tidak ditaati.
Musibah banjir yang terjadi pada bulan Januari-Februari 2002 ini bukan disebabkan bencana alam, tapi jelas karena penyimpangan pola pemanfaatan ruang di kawasan Bopunjur. Penyimpangan itu diperburuk oleh pola pembangunan di DKI yang mengonversi danau, situ, rawa genangan air (termasuk konversi kawasan hutan bakau di Kapuk seluas kurang lebih 1.000 hektare), penyempitan daerah aliran sungai, menjadi kawasan permukiman serta kebiasaan masyarakat membuang limbah dan sampah ke saluran pembuangan air dan sungai.
Menyadari ciri-ciri dan hukum alam yang berlaku serta musibah bencana banjir yang terus melanda, harus ada upaya pencegahan dalam waktu jangka pendek dan panjang. Dalam jangka pendek, ada enam tindakan yang bisa dilakukan. Pertama, menyetop IMB baru dan IMB yang telah dikeluarkan yang berlokasi di kawasan fungsi lindung. Kedua, menginstruksikan kewajiban penanaman pohon di seluruh kawasan Bopunjur. Ketiga, merehabilitasi dan meningkatkan fungsi kawasan genangan air seperti danau, situ, dan rawa. Keempat, memperbaiki bantaran sungai dan badan-badan sungai yang menyempit.
Kelima, mewajibkan mereka yang telah mendirikan bangunan di kawasan fungsi lindung untuk menyesuaikan pembangunannya agar tidak mengganggu fungsi lindung dengan melakukan penyesuaian rekayasa pembangunan, membuat sumur resapan, dan membuat waduk penampung run off bagi kawasan genangan air yang telah dikonversi. Keenam, meningkatkan gerakan peduli dan waspada masyarakat di sepanjang bantaran sungai dan kawasan genangan air seperti situ, danau, rawa, terhadap bencana banjir dan kekeringan.
Untuk jangka panjang, tindakan yang bisa dilakukan adalah, pertama, melakukan pemetaan pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah di kawasan fungsi lindung dan budi daya di tahun 2002. Kedua, melakukan perhitungan daya dukung kawasan hulu, resapan air, dan kawasan genangan air di Bopunjur dan Jatabek. Ketiga, melakukan evaluasi rencana tata ruang kawasan Bopunjur dan Jatabek sebagai dasar untuk kebijakan pembangunan sampai dengan tahun 2010; dan keempat, meningkatkan upaya penegakan hukum dan pengembangan pajak, sistem insentif dan disinsentif.
Tindakan yang dilakukan masyarakat dalam menyikapi musibah banjir saat ini mudah-mudahan tidak berlalu bersamaan dengan berhentinya musim hujan. Sebab, apabila perilaku kita yang menyimpang demi mengeruk keuntungan dan kepuasan pribadi dengan mengorbankan keserasian alam berjalan terus, bencana kekeringan sedang menghadang di depan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini