Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Indra Widjaja:"Kami akan Melepaskan BII"

INDRA Widjaja bukan tukang sihir. Ia boleh hebat dalam transaksi finansial, jago dalam rekayasa keuangan, tapi menyulap nasib Bank Internasional Indonesia (BII), Indra seperti tak berdaya. Sejak krisis ekonomi meletup lima tahun lalu, bank warisan keluarga Widjaja ini tak pernah lepas dari jepitan persoalan.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun lalu, BII disuntik modal Rp 7,6 triliun. Tapi upaya ini tak membuat bank papan tengah ini kembali bugar. BII tetap terseok-seok dalam kubangan kredit macet. Oktober lalu, pemerintah sekali lagi menambahkan kapital Rp 11 triliun, tapi bank milik kelompok usaha Sinar Mas itu tak juga lolos dari persoalan keuangan. Pekan ini, bank haus uang tersebut membutuhkan tambahan dana lagi. Tak tanggung-tanggung: Rp 3 triliun. "Jika tidak segera diinjeksi, BII akan jebol," kata Indra. Nadanya genting. Persoalan BII memang tidak berdiri sendiri. Bank yang sahamnya kini dikuasai pemerintah Indonesia itu terseret prahara yang menimpa Sinar Mas. Asia Pulp & Paper Co. (APP), anak perusahaan Sinar Mas yang membawahkan bisnis pulp dan kertas, terbelit utang macet US$ 13 miliar (Rp 130 triliun)?sekitar US$ 1,2 miliar di antaranya pinjaman kepada BII. Pinjaman sedahsyat ini sebagian besar dipakai Sinar Mas untuk mengejar ambisinya: menjadi produsen pulp dan kertas nomor satu di dunia. Sebelum 1995, Sinar Mas tercatat sebagai investor asing terbesar ke Cina. Keluarga Widjaja membangun lima kilang kertas dengan investasi lebih dari US$ 4 miliar (Rp 40 triliun). Malang bagi Sinar Mas, ambisi yang berlebihan itu disapu topan krisis keuangan Asia pada 1997. Harga dolar melonjak, permintaan dunia akan kertas merosot. Sejak Maret tahun lalu, APP menyatakan tidak mampu membayar cicilan dan mengajukan tawaran restrukturisasi kepada konsorsium kreditor. Sampai hari ini, negosiasi pembenahan utang itu tersendat-sendat. Terakhir, dalam pertemuan di Jakarta awal bulan ini, Sinar Mas mengajukan perpanjangan utang 13 tahun dengan tingkat suku bunga 1,8 persen (setara dengan suku bunga antarbank Singapura) plus tambahan 0,15 persen. Konsorsium kreditor merasa tawaran itu menunjukkan bahwa keluarga Widjaja tak punya niat melunasi utang. "Suku bunganya terlalu kecil, pelunasannya terlampau lama," kata seorang bankir asing. Bagi BII, utang macet Sinar Mas, secara tak langsung, bisa dianggap selesai. Pemerintah Indonesia telah mengambil alih tagihan raksasa itu dan menggantinya dengan surat utang (obligasi). Tapi, dalam jangka pajang, ancaman kredit macet itu akan tetap menghantui nasib BII. Jika pemerintah gagal menjual harta keluarga Widjaja yang kini diserahkan sebagai jaminan, kualitas aset BII akan mentok, bertumpuk pada obligasi pemerintah. Ini menjadi persoalan serius, terutama jika lemari kas BII sedang terbatas, seperti saat ini. Persoalan BII memang bukan 100 persen tanggung jawab Indra. Sejak 1999, Bank Indonesia memasukkan Indra ke dalam daftar orang tercela (DOT) dan melarangnya mengelola bank. Lulusan Universitas Nan-Yang Singapura itu dianggap lalai karena telah membiarkan BII melanggar aturan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Saat ini, Indra hanya dalam kapasitas sebagai Presiden Komisaris Grup Sinar Mas, pemilik 18 persen saham BII. Toh, semua persoalan bank ini seperti selalu disampirkan ke pundaknya. Boleh jadi limpahan tanggung jawab itu dibebankan karena Indra merupakan "putra mahkota" Grup Sinar Mas dalam bisnis keuangan. Selama ini, seperti ada pembagian teritori wilayah bisnis Sinar Mas. Teguh Ganda Widjaja, kakak Indra paling tua, mengelola industri kimia, pulp, dan kertas. Franky Widjaja kebagian mengurusi industri pertanian dan properti. Dan terakhir, Indra dalam bisnis keuangan. Ayah mereka, pendiri Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja, sejak beberapa tahun lalu "pensiun" dan kabarnya tidak terlibat lagi dengan persoalan Sinar Mas. Eka Tjipta, lelaki gaek dengan tujuh istri dan sedikitnya 30 anak itu, dikabarkan sakit dan berobat di Singapura. Tapi beberapa pengunjung Kebun Raya Singapura mengaku sering melihat Eka Tjipta berjalan-jalan di kawasan adem itu, terutama ketika hari masih gelap dan kelelawar belum pulang ke sarangnya. Apakah sakit dan pensiunnya Eka Tjipta merupakan salah satu siasat untuk melarikan diri dari kewajiban? Indra, sang Putra Mahkota, menjawab tegas, "Tidak. Akan kami bayar semua utang itu." Indra mengaku maklum, dengan timbunan kewajiban ratusan triliun yang kini ditanggung Sinar Mas, serangkaian kecurigaan dan tuduhan akan terus menuding ke arahnya. Kepada Febrina M. Siahaan dari TEMPO, laki-laki kelahiran Makassar 40 tahun silam itu mencoba meyakinkan bahwa Sinar Mas pasti membayar utang. Berikut ini petikan wawancara dengan Indra selama 25 menit di ruang kerjanya di lantai 37 Gedung BII, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Selasa pekan lalu. Mengapa BII harus kembali menambah modal? Tambahan modal ini diperlukan karena ada tagihan antarbank milik BII yang nyangkut pada sebuah bank yang telah ditutup. Menurut perjanjian, satu bulan setelah injeksi kapital tahun lalu, tagihan ini akan dibayar pemerintah. Saya tidak tahu siapa yang salah, tapi klaim ini ditunda-tunda terus. Kalau tagihan ini tak dibayar, modal kita bisa jebol, mungkin malah negatif. Waktu itu (Oktober lalu), kebutuhan injeksi kapital BII mencapai Rp 11 triliun. Kalau tagihan antarbank ini sekaligus diperhitungkan, suntikan modal akan bertambah Rp 2 triliun menjadi Rp 13 triliun. Tapi, waktu itu, klaim ini tidak sekaligus dibayar. Sekarang, dengan memperhitungkan bunga, jumlahnya sudah bengkak lagi menjadi Rp 3 triliun. Bukankah klaim ini dari dulu tidak bisa dibayar pemerintah karena transaksinya dengan pihak yang terafiliasi Sinar Mas? Terafiliasi bagaimana? Ini transaksi dengan Bank Umum Nasional. Sejak kapan Sinar Mas terafiliasi dengan Bob Hasan? Terserah saja orang mau bilang apa. Yang penting, faktanya bukan begitu. Apakah Sinar Mas akan ikut menambah modal sehingga bagian sahamnya di BII tidak menyusut? Tidak. Soal ini sudah kita bicarakan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bagian saham kita akan menurun, dipotong, karena kita tidak ikut nambah modal. Jadi, bukannya menambah, Sinar Mas malah mengurangi kepemilikan di BII. Jadi tidak benar kabar bahwa Sinar Mas akan menguasai BII kembali melalui penambahan modal kali ini? Kalau kami mau, tak perlu menunggu penambahan modal. Sekarang pun, saya masih punya hak, kalau saya punya uang, untuk membeli kembali semua saham BII yang kini dikuasai pemerintah. Semuanya. Tapi apa mungkin saya melakukan itu? Saya juga pernah ditanya di BPPN, apakah saya ingin menguasai BII kembali. Coba pikir, siapa yang tak mau mengambil kembali bank yang sudah kami bangun dari kecil jadi gede? Tapi, terus terang, kami tidak mampu membeli kembali BII. Bahkan kita punya rencana menyerahkan sisa saham ke BPPN untuk memotong utang kita. (Apakah itu berarti keluarga Widjaja benar-benar bokek? Mungkin tidak. Jika hanya melihat usahanya, harus diakui sinar keberuntungan bekas konglomerasi terbesar kedua setelah Grup Salim ini memang sedang meredup. Pabrik pulp dan kertas PT Indah Kiat dan PT Tjiwi Kimia, dua sumber uang Sinar Mas selama ini, tenggelam dalam kubangan kerugian. Dalam laporan keuangan yang belum dipublikasikan, tapi sempat diintip wartawan The Wall Street Journal, disebutkan bahwa kedua permata keluarga Widjaja itu merugi antara US$ 300 juta dan US$ 400 juta atau sekitar Rp 3-4 triliun sepanjang tahun lalu. Tapi, di luar negeri, nasib Sinar Mas tak seburuk itu. Coba pergilah ke Cina. Di Shanghai, Sinar Mas memiliki gedung perkantoran mewah di kawasan prestisius, Bund Center. Pencakar langit yang puncaknya dihiasi mahkota baja seberat 580 ton itu dibangun dengan investasi US$ 400 juta atau sekitar Rp 4 triliun. Kalau malam tiba, 16 sinar laser yang gemerlap di atas gedung mewah itu akan menjadikan langit Shanghai bagaikan Gotham City dalam film Batman. Dan bukan cuma di Shanghai. Di Provinsi Jiangsu, berdiri salah satu dari lima kilang kertas raksasa milik Sinar Mas. Awal Februari lalu, Far Eastern Economic Review menggambarkan kedahsyatan pabrik itu dengan besarnya yang "seluas 25 kali lapangan bola." Kilang kertas Sinar Mas di Cina kabarnya dibangun dengan kemewahan sebuah pabrik Rolls Royce. "Padahal konsumen Cina hanya perlu kertas sekualitas mobil Jepang," kata seorang bankir asing menyindir. Kalaupun punya uang, Sinar Mas tidak mungkin memakainya untuk membeli kembali BII. Bukan karena tak ingin, tapi tak bisa. Semua pengeluaran Sinar Mas berada di bawah mikroskop, pengawasan ketat, konsorsium kreditor. Untuk setiap pembelian barang di atas US$ 10 ribu atau Rp 100 juta, Sinar Mas harus mendapat persetujuan para pemberi utang.) Anda masuk DOT karena dianggap membiarkan kredit BII ke Sinar Mas membengkak luar biasa besar hingga US$ 1,2 miliar. Mengapa sampai begitu dahsyat? Bukankah ini melanggar BMPK? Kami tidak pernah mendapat teguran BI karena melanggar aturan kredit. Saya tegaskan, tidak pernah. Tapi, setelah krisis, tentu saja. Dolar melonjak mahal, sehingga utang dolar kita juga melonjak jauh melampaui modal bank. Jadi, ini bukan pelanggaran, hanya pelampauan. Kalaupun dihitung dengan kurs sebelum krisis, utang Sinar Mas berlipat kali modal BII. Ini bukan cuma melanggar, tapi gila-gilaan?. Tolong diingat, dalam aturan perbankan yang lama, satu perusahaan publik dianggap sebagai satu obligor (pemegang nama utang). Indah Kiat dan Tjiwi Kimia, meskipun sama-sama Sinar Mas, dianggap sebagai dua obligor yang berbeda. Jadi, Indah Kiat berhak mendapat kredit maksimal 20 persen dari modal BII. Begitu juga Tjiwi Kimia. Tapi, sekarang, peraturan itu diubah. Indah Kiat dan Tjiwi Kimia digabung jadi satu. Tentu saja kami melampaui BMPK. Setelah tidak lagi mengurusi langsung BII, Anda sibuk apa? Mikir utang. Pinjaman Sinar Mas harus dibayar. Utang ke kreditor, baik luar maupun dalam negeri, termasuk BPPN. Juga pinjaman kepada para pemegang surat utang Sinar Mas. Pokoknya banyak. Buat kami, yang namanya utang harus dibayar. (Bagaimana caranya melunasi utang, Indra tak punya jawaban. Negosiasi dengan para kreditor sangat alot. Yang menjadi soal, tampaknya, bukan cuma jumlah utang yang amat besar, US$ 13 miliar atau sekitar Rp 130 triliun, tapi soal kepercayaan. Sudah lama para kreditor merasa tertipu. Awal tahun lalu, APP tiba-tiba mengumumkan adanya kontrak valuta asing US$ 220 juta atau setara dengan Rp 2,2 triliun yang tak bisa dibayar. Padahal transaksi itu tak pernah nongol dalam laporan keuangan. Selain itu, Sinar Mas tak berhasil menjelaskan penggunaan hasil obligasi senilai US$ 400 juta atau sekitar Rp 4 triliun yang diterbitkan di Cina dua tahun lalu. Yang paling menghebohkan adalah hilangnya tagihan APP senilai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 10 triliun kepada lima perusahaan di Virgins Island. Investigasi The Asian Wall Street Journal menunjukkan bahwa kelima perusahaan itu dikelola oleh eksekutif Sinar Mas. Kuat dugaan transaksi itu hanya kedok pelarian uang. Terakhir, Agustus lalu, Pindo Deli Pulp & Paper, salah satu anak perusahaan Sinar Mas, tiba-tiba mengumumkan pembelian aset senilai US$ 170 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun dari keluarga Widjaja. Transaksi ini dilakukan setelah APP menghentikan pembayaran utang dan mengaku kehabisan duit. Sebuah kejutan yang tidak masuk akal! Para pemasok juga mulai kehilangan kepercayaan. Setiap melakukan kontrak kerja sama, Sinar Mas harus membayar di muka. Bahkan bengkel yang melakukan pemeliharaan rutin mesin-mesin pabrik kertas juga minta panjar. Keterbatasan ini mempersempit ruang gerak Sinar Mas. Menurut laporan Far Eastern Economic Review, Sinar Mas merugi US$ 30 ribu-US$ 50 ribu atau sekitar Rp 300-500 juta setiap jam jika ada mesin yang tak beroperasi.) Sejak diambil alih pemerintah, apakah BII menjadi semakin baik? Sama aja. Masalahnya ada pada tagihan antarbank tadi, bukan pada kinerja bank. Kalau tagihan itu tidak segera diselesaikan, dikelola siapa pun, bahkan orang asing sekalipun, hasilnya sama saja. Omong-omong, Anda masih percaya dengan BII? Masih menabung di sana? Tabungan pribadi? Ada, tapi cuma puluhan juta. Kalau sampai ratus-ratusan juta, mana ada? Kalaupun ada, disimpan di tempat lain, ya? Ah, yang benar saja. Kalau simpanan perusahaan memang ada sampai ratusan juta, bahkan ada yang miliaran. Tapi itu punya perusahaan. Kabarnya, Anda menarik uang Rp 600 miliar dari BII?. Anda cari buktinya. Atau kita taruhan. Kalau ada buktinya, Anda menang. Kenapa tidak sekalian dikatakan saya narik deposito Rp 10 triliun? Kenapa harus Rp 600 miliar? Kecil bener.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus