Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlukah Presiden Megawati melakukan reshuffle kabinet? (15 - 22 Februari 2002) | ||
Ya | ||
50,8% | 166 | |
Tidak | ||
42,2% | 138 | |
Tidak tahu | ||
7,0% | 23 | |
Total | 100% | 327 |
SAAT membuka rapat koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Nasional dua pekan lalu, Presiden Megawati Sukarnoputri mengatakan dirinya memimpin pemerintahan keranjang sampah. Alasannya, para pembantunya lebih sering menyampaikan laporan yang baik-baik saja. Sementara laporan atau informasi jelek cenderung disembunyikan.
Atas ucapannya tersebut, banyak kalangan menilai, Mega mestinya melakukan perombakan kabinetnya. Menteri yang dianggap tak becus diganti. Setidaknya begitu yang tercermin dalam jajak pendapat Tempo interaktif pekan lalu. Pertanyaannya, maukah Mega merombak kabinetnya?
Dari pengalaman orang-orang dekatnya, bongkar pasang pengurus atau pejabat tidak menjadi adat kebiasaan Ketua Umum PDIP itu. Ada yang menyebut, Mega memiliki kecenderungan lama mengambil sebuah keputusan, kemudian jika sikap telah diambil, ia akan ngotot mempertahankannya.
Hal lain yang membuat pesimis Megawati akan merombak kabinetnya adalah kenyataan bahwa pengisian kursi kabinet dilakukan berdasarkan kompromi dengan komponen partai-partai politik yang mendukungnya naik ke kursi nomor satu presiden. Dari sisi ini, reshuffle jelas bukan kebijakan politik yang populer bagi Mega di mata sekutu-sekutu politiknya.
Karena itu, meski banyak orang berpendapat, Mega mesti melakukan sejumlah perubahan atas kabinetnya yang dinilainya bobrok, kenyataan itu tak akan terjadi. Dan orang boleh saja beranggapan, sebutan "keranjang sampah" itu cuma keluhan dari orang yang tengah tak berdaya.
Jajak Pendapat Pekan Depan:
Pada saat perayaan bersama tahun baru Imlek ke- 2553 yang digelar Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia di Hall A Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Presiden Megawati Sukarnoputri mengeluarkan ketetapan pada tahun-tahun mendatang Imlek sebagai hari libur nasional. Sesungguhnya hampir tak ada yang baru dari keputusan itu. Tahun lalu, ketika masih menjabat presiden, Abdurrahman Wahid sudah menetapkan perayaan tersebut sebagai hari libur nasional fakultatif. Artinya hanya wajib bagi yang merayakannya. Meski banyak yang senang dengan keputusan Mega, ada yang mempertanyakan dasar keputusan tersebut. Mereka beralasan, Imlek bukanlah hari raya keagamaan namun lebih sebagai perayaan pergantian musim pada kelompok etnis Tionghoa. Jika pun ada upaya menghormati agama Konghucu, yang dianut mayoritas warga Tionghoa, mestinya hari khusus agama itulah yang ditetapkan sebagai hari libur nasional. Bagaimana pendapat Anda sendiri? Suarakan pendapat Anda melalui situs www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo