Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krisis ekonomi cuma mampir sebentar di Tenggarong. Pada tahun kelima, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ini sudah asyik bersolek.
Inilah maskotnya: Pulau Wisata Kumala. Pulau di tengah Sungai Mahakam seluas 76 hektare ini direncanakan memiliki fasilitas rekreasi sekaliber Singapura. Biayanya Rp 4 triliun. Kini di sana sudah ada planetarium senilai Rp 25 miliar, kereta gantung, serta resor modern. Di tepi pulau itu bertengger patung perunggu Lembuswana, maskot Kerajaan Kutai Kartanegara, bikinan pematung Nyoman Nuarta, yang didirikan dengan biaya Rp 37 miliar.
Paling nikmat melihat pulau itu dari jembatan Sungai Mahakam II. Ini juga maskot Kutai. Penyeberangan mirip jembatan gantung Golden Gate di San Francisco ini dibangun dengan biaya Rp 960 miliar. Panjangnya 1,3 kilometer dan lebarnya 12 meter. Biaya perawatannya Rp 8 miliar setahun.
Kutai Kartanegara adalah ”anak otonomi daerah”. Ketika otonomi diberlakukan pada 2002, pundi-pundi pemerintah daerah bengkak oleh setoran perusahaan minyak dan gas kelas dunia: dari Total, Unocal, hingga Vico. Hasilnya, ketika itu, anggaran belanja kabupaten ini mencapai Rp 1,7 triliun. Padahal, pada 2001, anggaran belanja Kutai masih di peringkat 108 di antara kabupaten di Indonesia, dengan nilai cuma Rp 200 miliar.
Tahun ini anggaran belanja kabupaten seluas 27.263 kilometer persegi dengan penduduk setengah juta jiwa itu Rp 3,7 triliun, hanya terpaut Rp 1 triliun dari anggaran Provinsi Kalimantan Timur. ”Kami memang kabupaten terkaya di Indonesia,” ujar H.M. Irham, anggota Panitia Anggaran DPRD Kutai Kartanegara. Pantaslah Tenggarong gemerlap.
Sayang, Kutai cuma mengkilap di Tenggarong. Di pedalaman kabupaten yang memiliki 18 kecamatan ini, kemiskinanlah yang gampang terlihat. Dengan pendapatan per kapita warga Rp 129 juta per tahun alias Rp 10,8 juta per bulan, jumlah penduduk miskin Kutai terbanyak di seantero Kalimantan Timur. Jumlahnya sekitar 62 ribu jiwa atau 12 persen dari total jumlah penduduk. Salah satu di antaranya Rahmawati.
Pada suatu hari di bulan lalu, murid kelas II SD Negeri 018 Tanah Datar, Kecamatan Muara Badak, itu masuk kelas setengah berlari. Waktu sudah beranjak ke pukul 09.00. Artinya, ia telat sekitar 2 jam. Tapi Rusmiati, tenaga honorer yang menjadi guru kelas I merangkap kelas II di sekolah itu, membiarkannya duduk. ”Yang penting, mereka masuk sekolah,” ujarnya kepada Tempo.
Rahmawati tentu saja boleh terlambat. Ia harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer ke sekolahnya, sebuah bangunan yang mirip kandang ayam.
Bangunan berukuran 4 x 16 meter itu menampung 105 siswa. Dindingnya dari kayu yang keropos di sana-sini. Atapnya terbuat dari seng yang dimakan karat. Lantainya tanah, selalu becek setiap kali hujan turun. Rusmiati mengatakan sekolahnya sudah sering menerima janji akan dibangun. ”Tapi janji tinggal janji,” ujar guru yang belum menerima gaji sejak lima bulan lalu itu.
Menurut Ketua Barisan Oposisi Murni Kutai Kartanegara, Efri Novianto, di seantero Kutai hanya separuh dari sekitar 400 bangunan sekolah yang layak dipakai. ”Yang bagus hanya di Tenggarong,” ujarnya.
Fasilitas kesehatan tak kalah memprihatinkan. Kutai cuma punya sebuah rumah sakit umum, AM Parikesit, di Tenggarong. ”Mungkin pasien keburu mati sebelum dirawat,” ujar Efri.
Koordinator Advokasi dan Investigasi pada Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, A.R. Muttaqien, menengarai ada salah belanja di Kutai. ”Kenapa anggaran itu tak digunakan untuk membangun infrastruktur yang lebih diperlukan?” katanya.
Tapi dugaan ini ditangkis juru bicara pemerintah daerah, Sri Wahyuni. Dia mengatakan penduduk miskin adalah masalah semua kota di dunia. ”Kami sedang dalam proses untuk menanganinya,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, Aji Sofyan, juga tak setuju jembatan ”Golden Gate” dan Pulau Kumala disebut sebagai proyek mercusuar. ”Jembatan itu membuka akses ekonomi ke Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur,” kata dia. Sedangkan Pulau Kumala didirikan untuk mengantisipasi habisnya minyak dan gas. ”Alternatifnya, ya, melalui pariwisata,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo