Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pegawai negeri telah meninggalkan baju safari cokelat. Di lobi kantor pelayanan umum Jembrana, Bali, penampilan seorang petugas front office mendekati teller sebuah bank. Berseragam rok span dan kacu biru, mereka sigap memeriksa bermacam dokumen. Di bawah pendingin ruangan, orang-orang antre, sesuai dengan nomor urut. Sebuah monitor besar menunjukkan nomor orang yang mendapat giliran.
Di kantor itu—sebutan resminya Dinas Inyahud: Informasi, Pelayanan Umum, Perhubungan, dan Data—segala jenis izin dan dokumen penting diterbitkan secara terbuka. Semuanya jelas: ongkos, waktu, dan syarat-syarat, tak ada perbedaan antara aturan dan prakteknya. Situs jembarana.go.id memuat detail informasi seputar kabupaten di ujung barat Pulau Bali itu. Izin usaha, misalnya, keluar dalam sepuluh hari—sepersepuluh rata-rata izin di Indonesia.
”Kalau cuma KTP, tiga hari beres, gratis pula,” kata Dewa Putu Tilem, Kepala Dinas Inyahud, tiga pekan lalu.
Adalah Prof Dr drg I Gede Winasa, 50 tahun, yang berhasil ”menyulap” Jembrana menjadi kabupaten one stop service. ”Sebelum sampai sana, prioritas saya menumpas korupsi,” kata Winasa, Bupati Jembrana yang kini memasuki jabatan periode kedua. Setelah dilantik pada periode pertama tahun 2000, Winasa mengumpulkan ahli dari Universitas Udayana, tokoh masyarakat, dan LSM untuk minta masukan.
Kesimpulannya: perlu tunjangan bagi semua pegawai, dari eselon II-A, yang dijabat sekretaris daerah, hingga pekerja honorer. ”Dulu penghasilan diperoleh sembunyi-sembunyi, sekarang legal,” kata Winasa. Begitu muncul tunjangan, perlahan-lahan pungutan liar sirna. Butuh dua tahun menumpas penghasilan ilegal itu.
Semuanya diawali dengan kondisi serba sempit—serba salah. Winasa mewarisi wilayah berpendapatan cuma Rp 12 miliar dan anggaran (APBD) Rp 269 miliar. Ia berusaha memperbaiki pelayanan publik, tapi dana sebesar itu biasanya habis hanya untuk menutupi kebutuhan rutin. Ia tak berhenti di situ. Langkah pertamanya: menciutkan 13 dinas menjadi tujuh. Dinas yang punya fungsi mirip digabungkan. Inyahud merupakan gabungan tiga instansi. Di luar itu ada juga Dinas Perkutut, yang meliputi pertanian, kehutanan, dan kelautan.
Dari hasil penciutan itu, APBD menghemat Rp 3 miliar setahun. Anggaran proyek disesuaikan dengan harga riil, sehingga separuh dana proyek yang diminta tiap dinas bisa dipangkas. Dana hasil penghematan itu lantas dibelikan premi lewat Jaminan Kesehatan Jembrana. Warga hanya wajib membayar Rp 10 ribu setahun, sedangkan sisanya ditanggung pemerintah—dana awalnya Rp 3,3 miliar yang terus naik mencapai Rp 20 miliar.
Beres dengan kesehatan, ia melangkah ke ranah pendidikan. Kali ini dengan subsidi Rp 90 miliar untuk menggratiskan sekolah, dari SD hingga SMU negeri. Belakangan, pajak sawah juga gratis.
Dan Winasa bergerak terus. Untuk mengatasi 2.500 orang angkatan kerja baru yang lahir setiap tahun, ia menggandeng pengusaha hotel dan peternak sapi dari Jepang. Kebetulan ia pernah tinggal di sana pada 1989-1994, sewaktu mengambil pendidikan keahlian di Hiroshima University. Kini sudah 200 lulusan SMU dikirim setelah diberi pelatihan yang ongkosnya dibayar dengan potongan gaji. Mereka rata-rata mengirim Rp 3 juta sebulan kepada keluarga. Meski begitu, masih ada 6.000 orang—dari 135 ribu orang angkatan kerja—menganggur.
Jembrana melesat cepat. Sebelumnya, ekonomi Jembrana hanya tumbuh 3-4 persen; sekarang telah bergerak dengan kecepatan 7 persen per tahun—mengalahkan daerah lain yang punya anggaran melimpah. Tak aneh, banyak bupati berkunjung ke Jembrana untuk memetik pelajaran. Kini Winasa sedang menularkan kiat-kiatnya kepada istrinya, Ratna Ani Lestari, yang menjadi Bupati Banyuwangi, Jawa Timur.
Jurus jitu yang mirip Jembrana ditempuh Purbalingga. Dengan anggaran hanya Rp 490 miliar, Bupati Triyono Budi Sasongko, 51 tahun, menjadikan kabupaten di barat Jawa Tengah itu loh jinawi. Padahal tak ada retribusi atau kekayaan alam. Purbalingga tak berada di jalur pantai utara Jawa yang ramai. Tapi, di sini tak ada gratisan.
”Tak bagus buat mental masyarakat,” kata Triyo. Bagi-bagi beras untuk keluarga miskin disiasati dengan program padat karya. Setiap empat jam bekerja membuat infrastruktur umum—seperti irigasi atau jembatan—upahnya 2,5 kilogram beras.
Awalnya Rp 2 miliar harus keluar dari APBD untuk membeli beras—di samping Rp 491 juta dari sumbangan warga. Belakangan, duit APBD kian susut dan swadaya justru naik. Cara ini ampuh ketika tahun lalu Indonesia dicengkam paceklik. Beras Purbalingga yang tertahan karena kalah oleh beras impor tetap terserap. Petani tak kehilangan pendapatan, orang miskin tetap bisa makan, infrastruktur juga tergarap. ”Purbalingga memang kreatif,” ini pujian Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia.
Di bidang kesehatan, Triyono juga menerapkan premi. Warga kaya diwajibkan membayar Rp 100 ribu setahun, menengah Rp 50 ribu, dan gratis bagi keluarga miskin. Dari 200 ribu keluarga, 70 persen sudah ikut program ini. Triyono tak membuat rumah sakit mewah dengan fasilitas lengkap. ”Masalah di kabupaten saya soal akses,” katanya. ”Saya pilih mendekatkan pusat kesehatan ke rumah warga.” Kini di tiap desa berdiri satu poliklinik dengan satu dokter dan satu bidan.
Sebelum Jembrana terkenal dengan perizinan satu atap, Purbalingga lebih dulu menerapkannya. Sudah 18 pengusaha Korea dan Cina membuka pabrik rambut dan alis palsu di sana. Industri ini menyerap 26 ribu pekerja.
Wig van Purbalingga itu diekspor ke Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Korea Selatan, dan Timur Tengah senilai Rp 270 miliar per tahun. Meski sumbangan industri rambut terhadap pendapatan asli daerah (PAD) tak terlalu besar, Triyono tak mempersoalkannya. Ia lebih mencatat manfaatnya. ”Satu bulan gaji pekerja itu Rp 13,5 miliar, tak sanggup kalau ditanggung pemda,” katanya. Ekonomi daerah penghasil knalpot itu pun tumbuh 7 persen per tahun, dengan PAD naik dari Rp 8 miliar pada 2000 menjadi Rp 47 miliar tahun lalu.
Menurut Robert Simanjuntak, ekonom UI yang banyak meneliti daerah, dari 460 wilayah tingkat dua, kabupaten yang punya program bagus tak sampai 10 persen. Padahal daerah itu rata-rata punya kas cekak. Kreativitas para bupatilah, kata Robert, yang membuat daerahnya berkilau di era otonomi selepas krisis ini.
Zaman telah berubah. Kesenjangan antara daerah kaya dan daerah miskin kian lebar. Sebelum otonomi (1 Januari 2001), rasio anggaran daerah terkaya hanya tujuh kali daerah termiskin. Kini 15 kali: APBD kabupaten terkaya di negeri ini mencapai Rp 3,7 triliun, sedangkan termiskin Rp 200 miliar.
Sayangnya, dalam pelbagai penelitiannya, Robert menemukan bahwa daerah kaya cenderung menghamburkan duit bukan untuk sektor layanan publik atau subsidi. ”Tujuh puluh persen anggaran habis untuk biaya rutin, seperti gaji dan membangun gedung megah,” katanya. Ya, modal tanpa kreativitas adalah kesia-siaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo