Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI jalan, rumah itu terlihat tenang. Halaman selebar lapangan voli itu sebagian ditumbuhi pohon rindang, sisanya buat pelataran parkir untuk satu mobil. Sekilas tak ada yang mendiami bangunan yang tampak lebih tua dibandingkan dengan rumah di sekitarnya di Jalan Cipinang Raya, Jakarta Timur, itu. ”Sejak empat tahun lalu, saya dan suami tak lagi menempati rumah ini,” kata Antin Sambodo, si empunya rumah.
Di ruang yang seharusnya tempat menerima tamu, berjejer rak setinggi orang dewasa. Isinya keramik dalam pelbagai bentuk: dari cangkir, botol sabun, pigura, vas bunga, hingga kepingan kaligrafi Al-Quran. Masih di ruang sekitar 25 meter persegi itu, terdapat meja yang tingginya selutut orang dewasa, juga dipenuhi keramik. Kali ini ukurannya lebih kecil, antara lain gantungan kunci, kepingan abjad, dan liontin.
Di ruang tengah, botol cat aneka warna berbaris di tepi dinding. Selebihnya dua meja pembuat keramik dan tumpukan tanah liat yang sudah dihaluskan. Di ruangan terbuka di sisi kanan rumah, satu unit oven gas berukuran satu meter persegi serasa mengepulkan uap panas. Inilah bengkel pembuatan keramik mini Antin, 38 tahun. Di rumah yang hanya ditinggali empat pekerjanya itu kini Antin menghabiskan siangnya.
Dengan usahanya itu, Antin tak cuma menambah pundi-pundi rupiahnya. Ia menghidupi empat pekerja bengkel dan seorang penjaga gerai keramiknya di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat. Perkara omzet, Antin enggan menjawab. Tapi, kalau cuma pesanan bernilai puluhan juta rupiah, sudah biasa ia terima. ”Biasanya untuk dibawa ke luar kota,” kata arsitek lulusan Universitas Trisakti, Jakarta, itu. ”Ada juga yang dibawa ke luar negeri.”
Putar haluan dari arsitek menjadi pembuat keramik mungkin tak terjadi kalau bukan lantaran krisis moneter sepuluh tahun silam. Antin, yang ketika itu bekerja di biro arsitektur, diberhentikan karena kondisi kantor nan loyo. Tak ada order, para karyawan hanya datang dan ngerumpi sepanjang hari. Dengan bekal uang pesangon, Antin dan beberapa temannya ikut kursus membuat keramik. Sisa pesangon lalu dijadikan modal usaha.
Meja pemutar keramik pertama ia beli dari guru lesnya, Rp 500 ribu harganya. Tanah liat dibeli patungan dari Sukabumi, Jawa Barat. Dari bekerja sendirian, ia kemudian bisa merekrut ”karyawan”, dan tak lagi menjual ke teman atau kerabat, tapi membuka gerai di pusat perbelanjaan. Ia juga sudah terbiasa mengikuti pameran. Pekan lalu, misalnya, ia memboyong sebagian koleksinya ke arena Pekan Raya Jakarta di Kemayoran.
Antin adalah potret korban krisis yang bangkit, bahkan membuka peluang kerja untuk orang lain. ”Karena terpaksa, banyak yang berhasil, bahkan hidup lebih baik dibandingkan dengan masa sebelum krisis,” kata Denny Herlambang Slamet, Senior Program Officer Swisscontact, lembaga nirlaba bidang pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM).
Betapa tidak, krisis yang menghantam memang luar biasa. Bank Dunia mencatat jumlah penganggur di Indonesia naik empat kali lipat pada pengujung 1998—menjadi 20 juta. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan setiap hari, sepanjang puncak krisis itu, sebanyak 15 ribu orang kehilangan pekerjaan. Lebih dari lima juta yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) ini masuk ke sektor informal, tempat dua pertiga penduduk sudah berada.
Keterpaksaan bertahan hidup pula yang membuat Adam Januri Soleh dan Effendi Matondang banting setir setelah tersapu badai PHK. Adam, 34 tahun, membuka usaha ukir hias kaca dan gelas. Ia merekrut saudara-saudaranya dan beberapa anak muda di sekitar rumahnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Penghasilannya tentu lebih besar dibandingkan dengan gajinya ketika menjadi anggota staf pengurus tiket di sebuah biro perjalanan.
Adapun Effendi, 32 tahun, lebih dulu bersiap. Sebelum diberhentikan, ia belajar membuat miniatur lanskap alam. ”Sewaktu kena PHK, saya tidak sedih. Saya memulai usaha ini bersama teman-teman,” kata bekas karyawan Mandala Air itu. Sekarang, empat penganggur di sekitar tempat usahanya di Cengkareng Timur, Jakarta Barat, menjadi anak buahnya. Tak mau berpuas diri, Effendi berencana membuka showroom di lima wilayah Jakarta.
Budhi Prasetya, Program Assistant Indonesian-Benelux Chamber of Commerce, mengatakan UKM menjadi penopang ekonomi pascakrisis. Tatkala banyak perusahaan besar gulung tikar dan perbankan rontok, sektor UKM berdenyut memutar uang. Tentu saja UKM yang sukses adalah yang lebih mengandalkan kreativitas. ”Sebab, mereka mampu berdiri atau bertahan di masa daya beli masyarakat menurun,” kata Budhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo