Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANAK-anak belasan tahun itu menunjukkan wajah takjub sekaligus sumringah: mereka bersalaman dengan Zinedine Zidane! Dengan mata kepala sendiri, para bocah itu menyaksikan sang idola mempertontonkan sihirnya menggocek bola di lapangan berdebu Desa Kamar Basulia, luar Kota Dhaka, Bangladesh. ”Saya tak pernah berpikir bahwa dia akan bermain di desa saya,” ujar Zakir Hossain, 16 tahun, sambil menggeleng-gelengkan kepala, Selasa pekan lalu. ”Saya masih tak percaya ini benar-benar terjadi.”
Zidane memang sebuah keajaiban, apalagi di mata pesepak bola remaja yang tumbuh di desa-desa kumuh dan sedang mencari identitas. Tapi, lelaki pelontos yang pernah dua kali menjadi pemain terbaik dunia itu hanya bisa dihadirkan berkat sebuah keajaiban lain yang menjadi permata Bangladesh: Muhammad Yunus. Inilah seorang lelaki sederhana yang setiap hari mengenakan grameen check, pakaian tradisional rakyat Bangladesh.
Keduanya bertemu dalam acara peresmian sebuah pabrik yogurt hasil patungan produsen makanan raksasa Prancis, Danone, dengan Grameen Bank pimpinan Yunus. Kedua pihak masing-masing menginjeksikan US$ 1 juta (sekitar Rp 9,1 miliar). ”Tujuannya adalah untuk memproduksi makanan bernutrisi tinggi bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” ujar Yunus.
Masyarakat berpenghasilan rendah memang menjadi fokus perhatian Yunus—profesor ekonomi lulusan Universitas Vanderbilt, Amerika Serikat—selama 30 tahun terakhir. Kiprahnya itulah yang membuat Komite Hadiah Nobel mengganjarnya dengan Nobel Perdamaian, yang diterimanya bersama Grameen Bank pada tahun ini.
Grameen Bank adalah lembaga keuangan rintisan Yunus dengan pendekatan paling revolusioner dalam sejarah perbankan dunia. ”Perdamaian yang sesungguhnya tak akan bisa dicapai jika ada sekelompok populasi dalam jumlah besar yang tak bisa keluar dari jerat kemiskinan. Kredit mikro adalah salah satu cara untuk mengatasinya,” demikian pernyataan resmi Komite, yang dikeluarkan di Oslo, Oktober lalu.
Terpilihnya Yunus membuyarkan spekulasi kencang yang berembus menjelang detik-detik pengumuman, 13 Oktober lalu. Spekulasi itu menempatkan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari sebagai calon terkuat penerima Nobel Perdamaian. Martti berperan besar dalam meredam konflik dan menciptakan perdamaian di Aceh.
Nama Yunus bahkan juga kalah pamor dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain yang terlihat lebih ”riil” bekerja dalam penegakan perdamaian. Mereka antara lain Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam proses perdamaian di Aceh, bekas Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans yang menjembatani hubungan Kamboja dan Vietnam, atau penyeru hak asasi manusia dari Uigur, Cina, Rebiya Kadeer, yang gencar menelanjangi ketidakadilan Beijing terhadap masyarakat Uigur di Xinjiang.
Namun, rupanya pertimbangan Komite menyelusup lebih jauh ke salah satu pilar utama problem perdamaian: kemiskinan. Salah seorang yang paling bahagia dengan keputusan Komite ini tentulah mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton. Dia memang telah lama mengkampanyekan agar Yunus dianugerahi Nobel Perdamaian.
Clinton berseru lewat berbagai wawancaranya, antara lain dengan majalah Rolling Stone maupun dalam otobiografinya, My Life. Bahkan dalam pidatonya di aula Zellerbach, Universitas California, Berkeley, 2002, Clinton menggambarkan Yunus sebagai ”orang yang seharusnya sudah sejak dulu menerima Nobel Perdamaian, dan akan terus saya suarakan sampai Komite Nobel memberikan hadiah itu kepadanya.” Nobel menambah daftar 53 penghargaan internasional yang sudah diperoleh sebelumnya.
Jalan panjang Yunus, pemegang gelar 27 doktor kehormatan, menuju Nobel berawal dari sebuah keprihatinan getir. Setelah menggondol gelar doktor ekonomi pada tahun 1969, ia menjadi asisten profesor ekonomi di Middle Tennessee State University selama tiga tahun. Lalu ia kembali ke negaranya dan mengajar di Universitas Chittagong, wilayah yang juga tempat kelahiran Yunus.
Tak lama setelah itu, Bangladesh dilanda bencana kelaparan panjang. Ratusan ribu penduduk tewas, sementara jutaan lainnya terjerumus ke dalam jurang kemiskinan yang memilukan. Begitu parahnya kondisi saat itu hingga menggugah mantan personel The Beatles, George Harrison, menggelar sebuah konser kemanusiaan bertajuk Bangladesh untuk pe-ngumpulan dana.
Mengingat kembali saat-saat getir itu bisa membuat Yunus tercekat. ”Agar bisa terus hidup, penduduk tak punya pilihan lain kecuali meminjam uang kepada lintah darat dengan kondisi yang mengerikan,” katanya. Sistem perbankan di Bangladesh tak memungkinkan masyarakat miskin mengakses produk-produk perbankan. Maklum, serenceng aturan dan persyaratan tak mungkin dipenuhi kalangan yang nyaris semuanya buta huruf itu. ”Akibatnya, banyak penduduk yang benar-benar menjadi budak para rentenir.”
Suami Afroji Yunus, profesor fisika di Universitas Jahangirnagar, itu lalu membuat daftar 42 desa termiskin di Bangladesh. Dia lalu mengunjunginya satu per satu. Pada 1975, di sebuah desa gurem yang penduduk wanitanya bekerja sebagai penganyam bambu, Yunus memulai percobaan pertamanya. Dia memberikan pinjaman modal kerja, tanpa tetek bengek urusan administratif, dan tak ada perjanjian hitam di atas putih tentang cara dan waktu pengembalian. Poin-poin itulah yang kelak menjadi prinsip Grameen Bank.
Kepada peminjam, dia hanya berpesan agar mereka bekerja keras dan mengembalikan pinjaman ”jika saatnya mampu”. Total pinjaman yang ia berikan saat itu … 27 dolar! (sekitar Rp 243.000 dengan kurs sekarang). ”Mengejutkan sekali melihat bahwa uang sekecil itu ternyata bisa membuat mereka bahagia,” katanya.
Uang pinjaman itu digunakan untuk keperluan produktif sebagai modal pengolahan bambu sebelum dijual. Dengan keuntungan bersih sebesar 5 taka dari penjualan produk bambu (Rp 900), sangat sulit bagi para perempuan itu menghidupi keluarga. Namun, bantuan modal dari Yunus membuat perputaran produksi lebih lancar. Dari kecilnya jumlah bantuan yang diberikan itulah konsep pinjaman mikro (micro loan) secara perlahan menemukan bentuknya.
Tahun itu juga Yunus mengembangkan proyek pra-Grameen yang disebut Tebhaga Khamar (ladang dengan tiga pemilik), yang kelak diadopsi pemerintah sebagai Program Masukan Terpadu (Packaged Input Programme). Untuk membuat program lebih efektif, sebuah dukungan infrastruktur politik lokal menurut Yunus mutlak dibutuhkan. Maka, ia menggulirkan program pendukung, Gram Sarkar (pemerintahan desa), yang sempat dicangkok pemerintah pada tahun 1980 tapi kemudian dibuang oleh rezim sesudahnya.
Tahun 1976, Yunus dan kawan-kawan bergerak lebih jauh di bidang ekonomi dan keuangan mikro dengan mendirikan Grameen Bank (grameen berarti ”daerah pinggiran” atau ”pedesaan”) di Desa Jobra. Yunus dengan sangat berani, namun dilandasi perhitungan ekonomi teliti, menjungkirbalikkan paradigma pengelolaan perbankan yang berlaku selama ini.
Paradigma itu adalah semakin banyak yang Anda miliki, semakin banyak yang bisa Anda dapatkan. Dengan kata lain, semakin sedikit yang Anda miliki atau tak ada sama sekali, Anda pun hanya bisa gigit jari. Sebagai akibatnya, dalam pandangan Yunus, lebih dari separuh penduduk bumi justru mengalami pemiskinan lewat produk-produk keuangan yang disediakan perbankan konvensional.
Gebrakan kedua yang dijalankan Grameen adalah menempatkan kesempatan mendapatkan kredit bank sebagai bagian dari hak asasi manusia. Maka, metodologi yang dijalankan sebelum mencairkan bantuan bukanlah pada seberapa banyak aset calon nasabah, dan jaminan (kolateral) yang bisa ia ajukan. Yunus mengubahnya menjadi seberapa potensial seorang calon nasabah bisa berkembang. Karena itu, pengemis pun berhak mendapatkan kredit—sepanjang mereka tak punya catatan kriminal.
Jurus ketiga yang membuat Grameen terasa asing pada saat itu adalah dalam soal kepemilikan. Sementara bank konvensional biasanya dimiliki kaum berduit dan lelaki, Grameen dimiliki oleh perempuan miskin. Yunus memang amat tajam melihat potensi kaum perempuan sebagai jentera, hingga Grameen memberikan beasiswa pendidikan kepada anak-anak nasabah yang berprestasi tinggi—terutama anak-anak perempuan.
Sampai Agustus 2006, Grameen sudah mengucurkan dana beasiswa sebesar US$ 390 ribu (Rp 3,5 miliar) kepada 31.164 pelajar dari berbagai tingkatan pendidikan. Tahun ini, dana itu dilipatgandakan sampai US$ 700 ribu (Rp 6,3 miliar) yang dialokasikan untuk 27 ribu anak.
Kini setelah 30 tahun berjalan—pemerintah Bangladesh baru mengintegrasikan pola Grameen Bank dalam sistem perbankan mereka pada 1983—Grameen Bank sudah memiliki 2.247 cabang di seluruh negeri. Layanan mereka sudah mencakup 6,6 juta nasabah, 75 ribu di antaranya para pengemis. Lengan bisnisnya menggurita mencakup 17 perusahaan, mulai dari penyediaan telepon seluler bagi pekerja perempuan di daerah terpencil (telephone-ladies) sampai upaya mempopulerkan grameen check, pakaian tradisional Bangladesh yang kini mulai menarik minat perancang dunia.
Lebih dari itu, Grameen Bank mampu ”menyulap” citra orang miskin yang dianggap pemalas, tak bisa dipercaya, tak bertanggung jawab soal keuangan, menjadi sebaliknya. Itu bukan omong kosong, sebab data statistik menunjukkan 99 persen kredit nasabah Grameen dikembalikan tepat waktu. Ini menjadikan Grameen Bank salah satu dari sedikit bank dengan kredit macet terkecil di dunia. Tak mengherankan jika pakar pembangunan Peru, Hernando de Soto, yang baru berkunjung ke Jakarta, menyampaikan pujian khusus untuk Yunus. ”Dia pantas mendapat Nobel,” katanya kepada Tempo.
Jurus-jurus Grameen Bank pun menyebar ke pelosok dunia, termasuk Indonesia. Di sini, pola yang ia kembangkan diadaptasi oleh berbagai kelompok masyarakat maupun kalangan perbankan, utamanya dalam penyaluran kredit mikro kepada masyarakat lapisan bawah. Seperti Yunus, Grameen Bank van Indonesia umumnya sukses.
Kini, 144 juta penduduk Bangladesh menunggu keajaiban demi keajaiban lain yang akan dilakukan lelaki dari Chittagong tersebut. ”Dengan kecepatan pertumbuhan sekarang, kami akan memangkas kemiskinan sampai separuhnya pada tahun 2015, dan menciptakan museum kemiskinan (bagi Bangladesh) pada 2030,” ujar Yunus, yang semasa muda menyabet berbagai penghargaan di panggung teater itu.
Tapi, pernyataan Yunus itu kali ini sama sekali tak terdengar seperti monolog di panggung teater. Ia lebih terdengar sebagai tekad dari seorang pekerja keras yang telah membuktikan keberpihakannya kepada kaum miskin. Rasanya, tak ada yang mustahil bagi orang-orang seperti Muhammad Yunus.
Akmal Nasery Basral
10 Indikator Kemiskinan Dari Grameen
Setiap tahun Grameen Bank melakukan evaluasi tentang apakah kondisi sosial-ekonomi anggota mereka membaik atau tidak. Seorang anggota dinilai telah keluar dari garis kemiskinan jika memenuhi kriteria ini:
- Keluarga mereka hidup di rumah seharga minimal 25.000 taka (sekitar Rp 4,5 juta), atau rumah dengan atap seng, dan setiap anggota bisa tidur di kasur, bukan di lantai.
- Mereka minum air bersih dari sumur, air masak, atau air yang disuling.
- Anak-anak berusia di atas enam tahun sudah masuk sekolah atau menyelesaikan SD.
- Pinjaman minimum mingguan adalah 200 taka (sekitar Rp 36.000).
- Keluarga itu memiliki kakus yang layak.
- Anggota keluarga memiliki jumlah pakaian yang memadai untuk penggunaan sehari-hari, baju hangat untuk musim dingin, dan kelambu untuk melindungi diri mereka dari nyamuk.
- Memiliki sumber-sumber penghasilan tambahan, misalnya dari kebun sayur atau pohon buah, yang bisa digunakan jika mereka membutuhkan tambahan uang.
- Peminjam harus memiliki tabungan pribadi sedikitnya 5.000 taka (Rp 900 ribu).
- Keluarga peminjam tak kesulitan mengkonsumsi makanan tiga kali sehari sepanjang tahun. Tak ada satu pun anggota keluarga yang kelaparan selama periode itu.
- Keluarga peminjam bisa mengurusi problem kesehatan mereka. Jika ada salah seorang anggota yang sakit, mereka mampu mengambil tindakan yang diperlukan di bidang kesehatan.
Payung Usaha Grameen Bank
- Grameen Phone Ltd.
- Grameen Telecom
- Grameen Communications
- Grameen Cybernet Ltd.
- Grameen Software Ltd.
- Grameen IT Park
- Grameen Information Highways Ltd.
- Grameen Star Education Ltd.
- Grameen Bitek Ltd.
- Grameen Uddog (Enterprise)
- Grameen Shamogree (Products)
- Grameen Knitwear Ltd.
- Gonoshasthaya Grameen Textile Mills Ltd.
- Grameen Shikkha (Education)
- Grameen Capital Management Ltd.
- Grameen Byabosa Bikash (Business Promotion)
- Grameen Trust
Apa Yang Membedakan Grameen dengan Bank Konvensional?
- 94 persen ekuitas dimiliki oleh debitor, dan 6 persen sisanya oleh pemerintah.
- Tak perlu ada kolateral untuk setiap peminjaman.
- Sistemnya tak dirancang untuk menyeret debitor yang ngemplang ke meja pengadilan. Karena itu, peminjam tak perlu menandatangani dokumen apa pun.
- Setiap peminjam mesti tergabung dalam kelompok. Namun tanggung jawab pengembalian tetap ada pada sang peminjam, bukan kelompoknya. Anggota kelompok lain hanya bertugas mengingatkan peminjam untuk bertanggung jawab.
- Jumlah peminjam 6,61 juta orang di mana 97 persennya adalah perempuan.
- Tingkat pengembalian pinjaman 98,85 persen.
- Sejak 1995, GB memutuskan untuk tak menerima donor dari mana pun, dalam atau luar negeri. Sumbangan terakhir diterima tahun 1998. Sejak itu, pertumbuhan deposito Grameen lebih dari mencukupi untuk menjalankan dan mengembangkan skema kredit yang sudah dirancang.
- Sejak berdiri pada 1976, Grameen selalu membukukan keuntungan setiap tahun kecuali tahun 1983, 1991, dan 1992. Laporan keuangan diaudit oleh dua perusahaan auditor dengan reputasi internasional di Bangladesh.
- Suku bunga pinjaman sangat rendah dibandingkan dengan angka 11 persen yang dipatok pemerintah untuk bunga kredit mikro. Bunga yang berlaku di Grameen saat ini adalah 8 persen untuk perumahan, 5 persen untuk pinjaman belajar, dan 0 persen (bebas bunga) untuk “anggota yang sedang berjuang (struggling members)” alias pengemis.
- Satu-satunya bank yang membolehkan pengemis sebagai nasabah lewat “Struggling Members Programme” sepanjang mereka tak memiliki catatan kriminal atau terlibat dalam aktivitas ilegal lainnya. Misalnya untuk pinjaman membeli kelambu atau payung, pengemis hanya membayar 2 taka (Rp 360) setiap minggu sampai pinjaman lunas—tanpa bunga. Pinjaman itu harus dibayarkan… tak boleh dari hasil mengemis!
- Yang paling revolusioner adalah bukan nasabah yang mendatangi bank, melainkan para petugas bank yang datang mengetuk pintu rumah nasabah, menanyakan kebutuhan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo