Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjejak Sukses Grameen Bank

Pemberdayaan kaum miskin dengan mengadopsi pola Grameen Bank banyak tersebar di Indonesia. Tingkat keberhasilannya tinggi.

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bu Winih, 45 tahun, tak lagi hanya mengandalkan nafkahnya dari jualan etek, yakni jajanan seperti cenil, getuk, dan gorengan. Kini, warga Desa Banguan, Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur, itu mulai merambah ke peternakan ikan hias untuk menambah penghasilannya. ”Moga-moga bisa berkembang,” katanya berharap.

Bagi perempuan yang sudah lama ditinggal suaminya merantau ke Malaysia ini, menyewa kolam untuk beternak ikan hias seperti lompatan ”karier” bisnisnya. Maklum, sudah sekian lama ia seperti tak beranjak dari sekadar jualan keliling makanan jajan pasar. Modalnya tak pernah berkembang. Mengharap tambahan uang dari suaminya bagaikan menegakkan benang basah. ”Jangankan uang, kabar berita pun tak pernah ia kirimkan,” ujar ibu dua anak itu.

Tapi peruntungannya segera berubah berkat kedatangan Adi Purwanto. Dari pria ini, mula-mula ia mendapat fasilitas pinjaman lunak Rp 150 ribu untuk mengembangkan bakulan etek-nya. Ternyata sukses. Ia pun berdisiplin membayar cicilan utangnya hingga berhak meminjam dana lebih besar lagi. Baru-baru ini Bu Winih meminjam Rp 600 ribu untuk usaha ternak ikan hias tersebut.

Hidupnya pun perlahan berubah. Rumahnya yang dulu berdinding gedek (anyaman bambu) kini sudah ditembok dan berlantai keramik. ”Saya membenahinya perlahan-lahan.”

Siapakah Adi Purwanto yang seolah seperti malaikat penolong itu? Adi adalah petugas lapangan Program Pengembangan Keuangan Pedesaan (P2KP) yang beroperasi di Kecamatan Kedungwaru. Dan bukan hanya Bu Winih yang merasa tertolong oleh program ini, tapi juga masyarakat bawah lainnya.

Program tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya sejak Oktober 2000. Inilah program pemberdayaan kaum miskin di pedesaan, terutama perempuan, yang terkena dampak krisis moneter 1998. Kebanyakan mereka bekerja di sektor informal, seperti penjual sayuran keliling, perajin tempe, peternak, dan sebagainya.

Menurut Suharyono, ketua program, mereka belajar dari pelaksanaan Grameen Bank di Bangladesh. Kebetulan, Djumailah Zain, sejawatnya yang juga dosen Universitas Brawijaya, pernah menerapkan pola Grameen Bank lewat Yayasan Mitra Karya Malang, dan berhasil. ”Dalam waktu kurang dari setahun, 70 persen anggotanya makin sejahtera,” kata Suharyono.

Maka, mulailah LPM menggodok konsepnya dan menetapkan dua kabupaten sebagai lahan garapan, yakni Trenggalek dan Tulungagung. ”Dua daerah ini dipilih karena karakter orangnya yang mudah diajak maju,” kata Suharyono, yang sehari-hari mengajar di Fakultas Administrasi Negara Unibraw itu.

Untuk mendapatkan kredit, pemohon diharuskan membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang. Kredit diberikan kepada anggota kelompok secara bergantian—ketua kelompok mendapat giliran terakhir. ”Setiap kelompok bertanggung jawab atas kredit yang diambil anggotanya,” ujar Suharyono. Jumlah kredit yang diberikan berkisar Rp 200 ribu-750 ribu dengan bunga 24 persen per tahun. Dan angsuran dibayarkan setiap minggu. Tak ada sanksi bagi yang telat mengangsur.

Angsuran itu pun sebenarnya sebagian kembali kepada mereka. Katakanlah seorang anggota mendapat pinjaman Rp 100 ribu yang harus diangsur selama 50 minggu (setahun). Maka, ia harus menyetor angsuran sebesar Rp 2.000 ditambah Rp 600 uang administrasi plus uang tabungan Rp 200 (total Rp 2.800) per minggu. Setelah lunas, pada saat bersamaan ia sudah menabung Rp 10 ribu di akhir tahun.

Sebelum mendapat kredit, anggota mengikuti Rembug Kelompok sepekan sekali. Saat itulah orang-orang P2KP akan memantau kedisiplinan dan loyalitas calon. Di event ini pula kegiatan penyaluran kredit dan pembayaran angsuran dilakukan.

Menurut Gatot Hidajat, koordinator wilayah Tulungagung, selama enam tahun lembaga itu beroperasi di wilayahnya, nyaris tidak ada kasus pengemplangan utang. Jika seorang anggota gagal membayar saat jatuh tempo, biasanya dia akan membayar beberapa bulan kemudian saat sudah memiliki rezeki. ”Semangat para pengusaha kecil ini melebihi konglomerat. Mereka tidak pernah mengemplang utang dan selalu bangkit jika usahanya jatuh,” kata Gatot, yang juga alumni Unibraw jurusan teknologi pertanian.

Tampaknya, pola yang dikembangkan P2KP di-terima masyarakat. Hingga kini mereka sudah merealisasi kredit sampai Rp 3,9 miliar dan angsuran mencapai Rp 3,3 miliar. Mereka pun mampu menjangkau hampir 3.000 anggota dengan jumlah tabungan Rp 76,1 juta.

l l l

Gerakan serupa juga dapat ditemui jauh di Pontianak, Kalimantan Barat. Adalah Yayasan Pancur Kasih yang mengenalkan pembiayaan usaha dengan kredit lunak bernama Credit Union (CU). Usia gerakan ini bahkan jauh lebih tua ketimbang P2KP, yakni sejak 1982. Menurut Ketua Yayasan Pancur Kasih, F.Y. Khosmas, saat ini Credit beroperasi di enam kabupaten/kota dengan jumlah anggota mencapai 50 ribu. ”Realisasi kredit mencapai Rp 310 miliar,” katanya.

Ide pembentukan Credit Union (CU) berawal dari keinginan pengurus untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan staf sekolah di bawah naungan Pancur Kasih. Tak mengherankan, di tahap awal anggota CU hanya 62 orang dari kalangan pegawai atau guru SMP dan SMA St. Fransiskus Asisi. Ternyata gerakan itu berhasil dan muncullah ide agar masyarakat juga bisa menikmatinya. Maka, dibukalah kesempatan bagi masyarakat untuk bergabung.

Untuk masuk menjadi anggota Credit Union tidak sulit. Pada awal berdirinya, nasabah diwajibkan memiliki simpanan pokok Rp 1.000 dan simpanan wajib Rp 200. Kini simpanan pokoknya sudah dinaikkan sampai Rp 1 juta dan simpanan wajibnya Rp 10 ribu per bulan. Dana yang disalurkan untuk nasabah bergantung pada keperluannya, akan tetapi jumlah maksimalnya Rp 75 juta. Untuk nasabah yang permohonannya dikabulkan, uangnya sudah diterima pada hari yang sama tanpa proses berbelit. ”Jangka waktu pinjaman maksimal 5 tahun dan suku bunga 2 persen per bulan.”

Format lunak semacam itu tentu cepat memikat para pengusaha pas-pasan untuk memanfaatkannya. Lihatlah Johan, 38 tahun, seorang pria yang sehari-hari mengawasi delapan anak buahnya di pengepul barang bekas. Johan dulunya adalah seorang pemulung. Sepanjang hari ia menyusuri penjuru Kota Pontianak mengorek-ngorek tempat sampah memunguti barang. Setelah barang terkumpul, ia menjualnya kepada agen penampung di kawasan Siantan. ”Lalu saya masuk menjadi nasabah CU sejak tahun 2003,” ujar Johan.

Dia bergabung dengan Credit setelah mendapat informasi dari kakaknya. Dia terpikat karena untuk meminjam uang di sana tak diperlukan keruwetan birokrasi yang melelahkan. Mereka berdua segera mendaftar ke kantor pusat CU Pancur Kasih di Siantan Tengah, Pontianak Utara. ”Persyaratannya tidak sulit. Saya hanya membayar uang pendaftaran untuk diklat, dan simpanan pokok Rp 250 ribu,” kata Johan.

Setelah mengikuti diklat, pinjaman awal yang diberikan kepada Johan sebesar Rp 1 juta. Sejak itulah ia ”resmi” menanggalkan seragam pemulungnya dan mulai merintis usaha pengepul barang bekas. Dari uang pinjaman Rp 1 juta itu, Johan hanya ”diizinkan” membawa pulang Rp 750 ribu dan sisanya ditabung kembali.

Johan tangkas, hingga enam bulan ke depan dia berhasil melunasi pinjamannya. Dinilai kredibel, maka ketika Johan mengajukan peminjaman yang lebih besar, Rp 5 juta, tak ada yang meragukannya. Pinjaman ini diperlukan Johan untuk menambah modal usahanya, antara lain untuk membeli delapan buah gerobak-sepeda.

Kini, Johan memiliki delapan anak buah—enam pemulung dan dua penyortir barang. Dari usahanya ini, penghasilan kotor Johan mencapai Rp 80 ribu per hari. Angka itu kemudian dibagi-bagi untuk membayar pinjaman dan honor anak buah. ”Sisanya Rp 40 ribu merupakan pendapatan bersih saya. Lumayan, kan, Mas?” ujar Johan seraya tersenyum.

l l l

Sejatinya gerakan pemberdayaan kaum miskin seperti yang dilakukan LPM Universitas Brawijaya dan Yayasan Pancur Kasih itu tersebar di berbagai penjuru Tanah Air, mulai dari Klaten, Bekasi, Semarang, hingga Pontianak. Sebagian besar mengadopsi pola yang diterapkan Grameen Bank. Ternyata hasilnya tak jauh berbeda. Senyum pun mengembang di bibir Johan atau Bu Winih. Jauh di Chittagong, Bangladesh, sang pendiri Grameen Bank pasti juga ikut tersenyum bahagia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus