Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usaha kecil, apalagi yang mikro, memang bukan nasabah yang seksi di mata perbankan. Selain dianggap urusannya jauh lebih ribet, mereka juga tak punya jaminan yang bisa diandalkan jika kreditnya macet. Tak aneh jika jumlah pinjaman yang disalurkan ke usaha kecil dan menengah masih sangat terbatas. Dari 43 juta usaha kecil dan menengah, perbankan Indonesia baru menjangkau 5 jutaan atau hanya 11 persen.
Padahal tingkat kredit seret (non-performing loan) usaha kecil rata-rata lebih rendah ketimbang kredit korporasi. Kredit skala besar ini juga yang pada 1998 lalu membuat perekonomian Indonesia ambruk. Ribuan perusahaan terjerat kredit macet, dan puluhan bank ditutup. Sayangnya, kondisi itu tak dijadikan pelajaran. Usaha kecil tetap saja menjadi anak tiri. Namun, sejumlah bank mencoba menebar jaring di kelompok ini, di antaranya BRI, Danamon, dan Bank Niaga.
Bank Niaga
Proyek uji coba itu digelar di Desa Tanggulangin, Sidoarjo, pada awal 2000. Tujuannya membantu para pengusaha kulit agar mereka bisa mengembangkan sayap usahanya. Inilah cikal-bakal Bank Niaga untuk memfokuskan pemberian kredit pada UKM. Semangat itu akhirnya mengkristal dalam program Kredit Kecil Menengah dan Koperasi (KKMK), yang diluncurkan bank ini pada 2001. ?Hingga saat ini sudah 100 ribu nasabah dengan nilai pinjaman mencapai Rp 9,7 triliun,? kata Firman A. Moeis, Vice President Business Area Manager Bank Niaga.
Tidak hanya itu, dalam perkembangannya Bank Niaga juga membangun sembilan UKM Center guna mendekatkan Bank Niaga pada para nasabah. ?Ini langkah jemput bola,? kata Firman. Menurut dia, masalah klasik yang sering menghantui UKM adalah akses modal, pasar, serta keterbatasan informasi akan produk dan prosedur perbankan.
Soal skema pembiayaan, Bank Niaga menempuh dua cara. Pertama dengan pendekatan personal, Bank Niaga langsung berhubungan dengan nasabah. Dan kedua lewat program kemitraan. Bank Niaga bekerja sama dengan perusahaan besar, baru kemudian memberikan kredit kepada pengusaha kecil. ?Jadi, Bank Niaga berperan sebagai jembatan,? Firman menjelaskan.
Seperti halnya pemberian kredit pada UKM yang dilakukan lembaga keuangan lainnya, Bank Niaga juga memberikan kelonggaran soal kolateral atau jaminan. Di samping itu, Bank Niaga juga bekerja sama dengan sejumlah lembaga penjaminan. ?Ini untuk memudahkan nasabah memperoleh suntikan dana,? kata Firman.
Hingga tahun kelima, Bank Niaga juga telah menjalin kerja sama dengan 185 BPR dengan total penyaluran pembiayaan mencapai Rp 550 miliar. Dengan cara ini, kredit untuk usaha mikro dan kecil berkembang, bank-bank perkreditan rakyat ikut kecipratan.
Bank Rakyat Indonesia
Bank BRI bisa disebut sebagai pelopor penyaluran kredit ke usaha kecil dan mikro. Tercatat pada 2006 ini, 88 persen kredit Bank BRI, atau sekitar Rp 76 triliun, disalurkan ke segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Didirikan oleh Raden Wiriaatmadja, bank ini memulai debutnya sebagai pengelola kas sejumlah masjid di Purwokerto. Uang dari kotak-kotak masjid ini dijadikan modal awal kegiatan simpan-pinjam para anggotanya untuk berbisnis. Praktek ini untuk menghindari jerat rentenir Tionghoa, yang menggurita di Jawa saat itu. Langkah ini ternyata berhasil, modal membengkak dan anggota berlipat. Tak mengherankan jika cabang dan rantingnya menjulur hingga pelosok desa.
Puncaknya, pada awal Orde Baru, bank ini tumbuh menjadi pohon lembaga keuangan yang menjangkau hingga ke desa-desa. Itu tak terlepas dari kebijakan pemerintah yang menjadikan BRI sebagai agent of development untuk berbagai proyek pemerintah, terutama berfungsi sebagai channeling?lembaga penyalur dana kredit?dari pemerintah, terutama untuk program swasembada beras. Maka, lahirlah BRI Unit Desa. ?Berasnya berhasil, tapi kreditnya jeblok,? kata Sulaiman Arif Arianto, Direktur UMKM BRI.
Karena itu, BRI merancang ulang konsep BRI Unit Desa pada 1984. Dari yang awalnya sarat dengan program subsidi dari pemerintah, BRI Unit Desa disulap menjadi unit kerja micro-banking dengan menggunakan pendekatan komersial. ?Sejak beroperasi, BRI Unit Desa telah menyalurkan kredit kepada pengusaha mikro di atas Rp 100 triliun,? Sulaiman menjelaskan.
BRI Unit Desa, belakangan dikenal dengan sebutan BRI Unit, kini tersebar di lebih dari 4.000 desa. Pasar target BRI adalah mereka yang digolongkan sebagai the working poor. Pinjaman untuk kalangan ini maksimal Rp 50 juta. ?Asal bisa berproduksi dan menjual produknya, kami akan langsung berikan pinjaman,? kata Sulaiman.
Penyaluran kredit BRI selama sembilan bulan terakhir, kata Sulaiman, mencapai 14,78 persen. ?Pertumbuhan kredit itu melampaui rata-rata perbankan di Indonesia, yang hanya 4,58 persen dari Desember 2005 sampai Agustus 2006,? kata Sulaiman. Berdasarkan pengalaman BRI, sektor UMKM adalah sektor usaha yang prospektif dan dikenal kebal gempuran fluktuasi perekonomian.
Bank Danamon
Awalnya adalah sebuah riset yang digelar pada penghujung 2003. Seribu pengusaha kecil dari sejumlah pasar tradisional diwawancarai. Hasilnya menunjukkan 94 persen responden mengaku memerlukan pinjaman, tapi hanya 36 persen yang mengambil kredit di bank. Sisanya, mereka meminjam teman, keluarga, koperasi, bahkan lintah darat. ?Ini menunjukkan mayoritas pengusaha kecil tak punya akses ke bank,? kata Loefty Wahyoe, Mass Market Research Head Bank Danamon.
Akses ini menurut Loefty dapat dibelah dua. Pertama, akses produk-mudah dan cepat, serta lokasi harus mendekati komunitas yang tersebar itu. Nah, dengan modal info ini, Bank Danamon meretas program Danamon Simpan Pinjam (DSP) pada Maret 2004. Tonggaknya dengan membuka enam unit DSP yang berkantor di sejumlah pasar di Yogyakarta, Cikampek, Karawang, dan Cikarang. ?Kami memilih pasar karena mayoritas transaksi keuangan mikro ini ada di pasar,? kata Loefty.
Gayung bersambut. Sampai Oktober 2006, jumlah kredit yang mengucur tercatat lebih dari Rp 5,2 triliun, padahal pada Desember 2004 baru Rp 545 juta. Dan selama dua tahun, unit-unit DSP terus bergeliat tumbuh. Tak mengherankan jika pada tahun ini jumlahnya sudah membengkak hingga 693 unit, terserak di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Setiap unit DSP yang berkantor di pasar tradisi-onal itu terdiri dari delapan staf yang direkrut dari lokasi setempat. Para nasabah diseleksi berdasarkan pengetahuan staf setempat terkait dengan rekam jejak niaganya. Yang lolos akan mendapat kartu elektronik berisi cip. Jadi, kendala tulis-menulis bagi sebagian orang dapat terlewati. Setelah menjadi nasabah, para pengusaha mikro dapat mengajukan kredit tanpa mengisi formulir. ?Memberdayakan sektor ini tak mungkin dilakukan dengan persepsi konvensional bank,? kata Loefty.
Contohnya, dalam persepsi bank formal, untuk mendapatkan pinjaman perusahaan-perusahaan kecil ini disyaratkan harus memiliki pajak-NPWP, pembukuan, neraca yang rapi, hingga adanya jaminan. Tapi gara-gara itulah penyaluran kredit ke usaha mikro dan kecil seret. Itulah yang kemudian dihilangkan oleh Danamon. ?Bahkan kami tidak perlu agunan kalau rekam jejak usahanya bagus.?
Terbukti kemudian, jurus itu manjur. Nasabah kecil Danamon terus bertambah. Bahkan, kendati suku bunga Danamon Simpan Pinjam tinggi (rata-rata 33 persen per tahun), konsumen tetap memburu pinjaman di sana. Mereka pun ternyata juga punya catatan pembayaran kredit yang bagus. ?Yang macet hanya tiga persen, katanya. Dibandingkan dengan sektor formal dan kartu kredit, angka kredit seretnya juga jauh lebih baik. Angka kredit seret sektor formal dan kartu kredit masing-masing 4 dan 12 persen.
Kepatuhan para nasabah kredit mikro dalam mengembalikan pinjaman itu lantaran modal kerja dijadikan satu-satunya aset mereka. Hal ini terjadi hampir di seluruh program kredit mikro, termasuk di lembaga keuangan mikro nonbank. ?Pada dasarnya nasabah level ini sangat jujur,? kata Loefty.
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo