Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRISIS ekonomi satu dekade lalu memporakporandakan perbankan. Nasabah kalang-kabut. Likuiditas seret, banyak kredit macet. Bank dengan rasio kecukupan modal di bawah minus 25 persen divonis sekarat. Likuidasi dianggap solusi. Bila nilai modalnya mencapai empat persen, digolongkan sakit. Banyak lembaga keuangan di level ini yang dirawat Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Di Badan Penyehatan, berkumpul sejumlah pejabat keuangan negara, bankir, dan praktisi lain. Di antara para bankir, ada nama Arwin Rasyid, Agus Martowardojo, dan Jerry Ng. Bagi mereka, Badan Penyehatan laksana tempat untuk mengobservasi bobroknya perbankan. "Semua pelanggaran luar biasa dilakukan," kata Arwin.
Krisis 1998 memberikan pelajaran amat berarti. Para bankir belajar berbisnis di industri keuangan dengan lebih profesional. Manajemen risiko jadi acuan. Mereka menebar kepercayaan, meningkatkan pelayanan, membangun komunikasi lebih menawan dengan nasabah.
Hasilnya lumayan. Rasio modal terdongkrak, laba meningkat, jumlah kredit macet menurun. Mereka lebih siap menghadapi krisis, seperti pada 2005 dan 2008. Inilah beberapa bankir bersinar yang turut merawat perbankan Indonesia pada satu dasawarsa terakhir.
Arwin Rasyid MEI 1999. Lelaki itu mulai berkantor di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Arwin Rasyid melihat banyak akrobat pemilik bank. Misalnya, setelah mengeruk dana masyarakat, taipan-taipan itu mengucurkan dana ke perusahaan grupnya. Begitu macet, hanya ditukar dengan aset yang tak laku di pasar. "Ini potret sesungguhnya," kata Direktur Utama CIMB Niaga ini. Menurut pria kelahiran Roma, Italia ini, hilangnya kendali kegiatan itu lantaran tak ada perilaku perusahaan dan supervisi yang baik. Juga karena profesionalitas yang ren-dah. Maka ia diserahi mengelola risiko Asset Management Investment dan Asset Management Credit serta membawahkan Forensic Investigation, hingga menjadi Wakil Kepala Badan Penyehatan. Menduduki tempat itu tentu tak gampang. Pengalaman hampir 20 tahun melanglang di perbankanlah yang membuat ia dipercaya. Kariernya dimulai pada 1980 sebagai Asisten Vice President Bank of Amerika, Jakarta. Setelah tujuh tahun, ia merasa tidak sreg terus mengabdi di lembaga keuangan tersebut. Arwin melirik Bank Duta dan Bank Niaga. Pilihan jatuh ke Niaga. Dibimbing bankir senior Robby Johan, kariernya terus menanjak. Di bank milik keluarga Julius Tahija itu, penyuka squash dan berburu ini bergelut di marketing, korporat, dan sekuritas. Posisi puncak ia gapai sebagai wakil direktur utama pada 1998, sampai ditarik ke Badan Penyehatan setahun kemudian. Bank Danamon dan Bank Negara Indonesia menjadi debutnya setelah itu. Ayah lima anak ini sempat memimpin PT Telkom. Semula banyak orang ragu terhadap kemampuan Arwin memimpin korporasi raksasa milik negara ini. Namun dia jalan terus-sebelum akhirnya mendirikan sebuah private equity, kembali menggeluti bisnis keuangan. Di sini, dia kerap bertemu dengan Khazanah Nasional Berhad, lembaga keuangan Malaysia yang memiliki saham Bank Lippo dan Niaga. Ketika dua bank itu dilebur pada 2008, ia didapuk memimpinnya. Kesempatan ini tak ditampik. "Private equity juga lagi slow down," Arwin memberikan alasan. Kembalilah ia ke "rumah" lamanya. Arwin mendapati karpet, perabot, dan lukisan di lantai 17 Graha Niaga masih seperti belasan tahun silam. Hanya bos besarnya yang berbeda. Target baru Arwin di kantor lama ini adalah menggenjot profesionalisme dan kinerja perusahaan. "Bank asing sangat menghitung return of investment," ujarnya. Dia hendak mewujudkan ambisi CIMB Niaga menjadi bank berkekuatan regional. Sofyan Basir LANGIT Jakarta baru merekah. Ratusan orang dengan bakul di punggung berduyun-duyun mendekati Senayan, Jakarta. Ada yang membawanya dengan sepeda. Seorang pria jangkung berkumis memperhatikan konvoi itu dengan saksama. "Ngenes juga. Aku mau golf, mereka mau dagang," kata Sofyan Basir mengingat kejadian itu pada suatu Ahad pagi. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia ini prihatin lantaran tak semua wong cilik gampang memperoleh modal usaha. Padahal uang yang dibutuhkan kadang tak seberapa, kurang dari sejuta rupiah. Menurut bankir kelahiran Bogor 50 tahun lalu ini, kendala yang kerap dialami adalah akses memperoleh pinjaman. Sofyan bertekad, bank yang dipimpinnya akan makin berbaur dengan kalangan bawah. Caranya: memperkaya produk, memperbesar tenaga pemasaran, dan membiakkan kantor pelayanan di pusat-pusat bisnis, termasuk pasar basah. Nilai kredit akan dipertahankan 80 persen ke usaha mikro, kecil, dan menengah. Hingga Mei lalu, tambahan dana yang tersalur untuk sektor ini mencapai Rp 10,85 triliun bagi sekitar dua juta nasabah. Namun Sofyan-yang pernah memimpin Bank Bukopin-merasa pertumbuhan itu masih kecil. Puluhan juta orang seperti pedagang kaki lima dan asongan belum tersentuh. Amat sedikit lembaga keuangan turut andil. Kredit bermasalah yang berkisar lima persen menjadi alasan mereka menghindar. Dan bila mau membiayai, mensyaratkan agunan. "Buat si Otong Lenong di jalanan, siapa yang mau kasih," katanya. Menurut dia, bisa saja seribu alasan menolak kredit mikro, tapi ada seribu dasar pula untuk memberi. Membuat orang besar menjadi lebih besar sudah biasa. Sofyan berambisi membuat orang kecil menjadi besar karena itu tindakan luar biasa. Komitmen ini tidak muncul tiba-tiba. Pada 1984, saat bekerja di Bank Duta, dia menggeluti pola pembiayaan usaha kecil, menyurvei pengumpul barang bekas selama setahun. Dari agen hingga bos besar dia telusuri. Jadilah proposal kredit usaha kecil dan menengah. Jika dirunut ke belakang, sejak masa sekolah, Sofyan doyan naik gunung. Dia menjumpai beragam realitas manusia-termasuk "kaum kecil" yang telantar.n Agus Martowardojo PERNAH tiga tahun di Bank Mandiri, Agus Martowardojo kembali bergabung ke bank ini pada Mei 2005 sebagai direktur utama. Beban di kursi baru itu jauh lebih berat dibanding sebelumnya. Agus diminta membenahi Mandiri-sebuah badan usaha milik negara-yang tingkat kredit bermasalahnya ketika itu mencapai 25 persen alias lima kali lipat dari semestinya. Tantangan lain adalah memulihkan kepercayaan karyawan tatkala satu per satu anggota direksi berurusan dengan penegak hukum dan masuk bui. Belum lagi soal merger. Mandiri adalah hasil perkawinan empat bank pemerintah, yang belum harmonis. Laba saat itu hanya Rp 600-an miliar, jauh dari keuntungan perusahaan pelat merah lain-yang mencapai triliunan rupiah. "Merger belum memberikan nilai tambah," kata Agus. Ia lantas merumuskan langkah taktis. Pertama, menyamakan budaya kerja: membangun kepercayaan, integritas, fokus pada nasabah, dan profesionalitas. Menurut Agus, karyawan waktu itu lebih birokratis dan tak memberikan solusi. Caranya? Pengantar pagi digelar di tiap unit. Di situ, perilaku positif baru dibentuk. "Misalnya, jika telat, harus bersalaman dengan semua tim," kata Agus. Dari hal seperti ini, timbul rasa kebersamaan, tanggung jawab, dan integritas. Tip lain yang dipakai Agus agar perkawinan bank sukses adalah mengembangkan segmen terpilih serta membuat program aliansi, pengelolaan kredit bermasalah, dan penerapan manajemen risiko. Setelah tiga tahun, hasilnya tak mengecewakan. Kredit macetnya di bawah lima persen dan keuntungan setelah pajak melonjak ke angka Rp 5,3 triliun pada akhir 2008. Cara-cara ini pula yang dilakukan Agus ketika merawat Bank Permata, hasil kawin lima bank pada 2002. Sebagai direktur utama bank tersebut pada saat itu, dia menghadapi beban berat menutup kerugian Permata sebesar Rp 808,2 miliar. Dengan mengelola aset produktif dan mengendalikan operasi secara efisien dan efektif, Permata berhasil membukukan laba Rp 102,29 miliar tahun berikutnya. n Jerry Ng SEKELOMPOK ibu berkerumun di teras sebuah rumah di Legok, Tangerang, pada Selasa akhir Juli lalu. Duduk di lantai, mereka mendengarkan ajaran pria itu dengan antusias. Topiknya soal usaha dan pengelolaan uang. Ibu-ibu inilah yang diharapkan Jerry Ng membangun usaha rakyat. Kelas lesehan ini merupakan pendekatan anyar Bank Tabungan Pensiunan Nasional, yang dipimpin Jerry sejak Juli 2008. Tujuannya agar jarak dengan nasabah makin dekat. Dari acara ini sering terungkap kemauan dan ganjalan si nasabah. Jemput bola adalah strategi Bank Tabungan membidik segmen baru, ibu-ibu rumah tangga. "Mereka pengusaha yang lebih kecil dari mikro," kata Jerry. Menurut lelaki 44 tahun ini, mendalami usaha kecil dan mikro selalu memikat. Ada tantangan membangun sesuatu yang baru. Ketertarikan ini bermula ketika ia membawahkan divisi restrukturisasi perbankan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Salah satu yang direkapitalisasi adalah Bank Rakyat Indonesia. "Melihat bank ini, mata saya terbuka. Daya tahan UKM ternyata amat tinggi." Gairahnya mendalami pasar mikro makin menggebu. Dalam cuti sabatikalnya dari BCA pada 2002, dia mengerjakan penelitian micro banking. Hasilnya antara lain konfirmasi bahwa pangsa pasar begitu besar dengan penetrasi rendah. Anggapan bahwa segmen ini tak menguntungkan dibantah. Untung atau tidaknya bergantung pada cara yang digunakan. Konsep inilah yang Jerry bawa ketika didaulat sebagai Wakil Direktur Utama PT Bank Danamon pada Juni 2003. Produk Danamon Simpan Pinjam sukses. Pertumbuhannya sempat melewati BRI, raja bank mikro. Kunci pokoknya: dengarkan dan pahamilah kemauan nasabah, bukan sebaliknya. Akses ke kredit ia buka lebar. Danamon merambah para pengusaha jalanan. Konsep tersebut ia kembangkan setelah hijrah ke Bank Tabungan Pensiunan Nasional. Perpindahan ini sempat membuat hubungan dua bank itu panas karena Jerry dituduh memboyong anak buahnya. Kepada pasukannya, Jerry memberikan tip untuk mendekati segmen bawah: menyatulah dengan mereka. Kini bankir-bankir Bank Tabungan keluar-masuk pasar becek. "Dengan pakaian kasual, tanpa dasi."
KEMBALI KE RUMAH LAMA
DEMI MEMBESARKAN OTONG LENONG
RESEP SUKSES KAWIN BANK
DI PASAR BECEK, TANPA DASI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo