Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mimpi Mengejar Induk Semang

Bank syariah ngos-ngosan berebut pangsa pasar dengan bank umum. Melampaui prinsip halal atau haram.

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANGAN berukuran seperempat lapangan bola itu tampak sepi, Selasa dua pekan lalu. Hingga pukul sebelas siang, panggilan antrean di konter Bank Muamalat Pusat itu baru sampai nomor 23. Seorang nasabah, Susi, tak perlu menunggu lama untuk bertransaksi. "Di sini, simpanan saya dijamin halal," kata pegawai bank konvensional di Jakarta itu.

Antrean lengang juga tampak saat Tempo mendatangi konter Bank Mandiri Syariah di Jalan Thamrin, Jakarta. Suasana di konter bank syariah pada umumnya memang tidak seramai bank konvensional. Bank Indonesia mencatat, per Mei 2009, jumlah nasabah perbankan syariah baru empat juta orang. Sedangkan nasabah bank umum sudah di atas 100 juta orang.

Masih rendahnya minat masyarakat terhadap bank syariah tecermin pula dari asetnya. Sampai Mei 2009, nilai asetnya baru 2,3 persen dari aset perbankan nasional atau setara dengan Rp 53,2 triliun. "Kepercayaan masyarakat memang belum tergali," Kata Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Ramzi Ahmad Zuhdi.

Kendati begitu, kata Ramzi, pertumbuhan aset bank syariah melonjak dua kali lipat dibanding bank umum. Sampai Mei tahun ini, pertumbuhannya sudah 30-40 persen, sedangkan bank umum hanya 18-19 persen. Setiap bulan, kenaikan asetnya mencapai Rp 1 triliun. Artinya, dana pihak ketiga dan pembiayaan pun naik sebesar itu.

Dibanding di Malaysia, perkembangan bank syariah di Indonesia memang jauh tertinggal. Dengan jumlah penduduk muslim yang tidak sampai 10 persen muslim Indonesia, bank syariah di Malaysia menguasai hampir 80 persen pasar perbankan di sana. Nilai asetnya sampai Mei tahun ini sudah di atas Rp 300 triliun.

Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia Achmad Riawan Amin menunjuk dukungan infrastruktur yang masih minim sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan bank syariah. Termasuk terbatasnya jaringan dan sumber daya manusia.

Saat ini, jumlah bank syariah bisa dihitung dengan jari: Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Bukopin Syariah, dan Bank Rakyat Indonesia. Sebanyak 25 bank, kata Achmad, masih ngekos di induk perusahaannya dalam bentuk unit syariah. Sisanya, 134 bank, berupa bank perkreditan rakyat syariah.

Tahun ini, empat bank rencananya akan memisahkan unit syariahnya menjadi bank umum syariah, yaitu BNI, BCA, Bank Jabar-Banten, dan Bank Panin. Beberapa bank asing juga tertarik terjun ke industri ini. HSBC sudah membuka unit syariahnya sejak 2003. ABN Amro dan Standard Chartered Bank tengah bersiap-siap membuka unit usaha syariah.

Di masa depan, bisa jadi akan semakin banyak pemain baru. Apalagi, menurut Ramzi, Bank Indonesia semakin memperlonggar aturan pendiriannya. Misalnya rencana menurunkan modal minimum pendirian dari Rp 1 triliun menjadi Rp 500 miliar. Daerah juga diperbolehkan memiliki bank syariah. "Pasarnya masih sangat luas," katanya.

Tak kalah penting, kata Ramzi, pemain baru harus memiliki jaringan luas untuk menggapai pasar. Sebab, faktanya, 75 persen pasar di industri ini dikuasai bank dengan karakteristik itu. Bank Syariah Mandiri dengan jaringan induknya menguasai 40 persen pasar. Bank Muamalat, yang merangkul PT Pos Indonesia, menguasai 25 persen. Sepuluh persen sisanya dikuasai unit syariah BNI.

Tapi, menurut Direktur Bank Syariah Mandiri Yuslam Fauzi, jaringan luas saja tidak cukup untuk menjaring nasabah. Bank juga harus mengunggulkan kemudahan dan efisiensi dalam produknya. Yuslam mencontohkan pelayanan mobile banking berbasis GPRS. Mandiri juga menerbitkan kartu debit untuk memudahkan konsumen bertransaksi.

Dengan kemudahan itu, jumlah nasabahnya perlahan-lahan meningkat. Sampai semester tahun ini, asetnya sudah mencapai Rp 19,7 triliun. Sekitar 60 persen pasarnya adalah nasabah yang mencari untung, bukan nasabah loyalis. "Kemudahan dan kenyamanan kunci pelayanan kami," kata Yuslam. Pada akhirnya, bank-bank syariah memang harus berebut nasabah dengan bank umum.

Itu sebabnya Unit Syariah Bank Internasional Indonesia menggaet pasar dengan menanggalkan atribut-atribut syariahnya. Produknya tetap diberi label layaknya bank umum, seperti tabungan, deposito, dan giro. Tujuannya, menurut Kepala Divisi BII Syariah, Chairil A. Azis, untuk memudahkan nasabah. "Penjelasan prinsip syariah kami lakukan langsung dengan konsumen," kata Chairil.

BII Syariah membidik nasabah yang berkocek tebal dengan layanan BII Syariah Platinum Access dan menerbitkan kartu kredit BII Musafir. Dari sisi pembiayaan, bank beraset Rp 343 miliar ini juga bermain di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). "Sembilan puluh lima persen pembiayaan kami salurkan ke UMKM atau komersial," katanya.

Berbeda dengan keduanya, Bank Muamalat tetap konsisten membidik nasabah loyalis. Mereka, kata Asisten Direktur Perencanaan Perusahaan Bank Muamalat Andri Donny, adalah konsumen yang tetap mementingkan unsur halal. Tapi Muamalat terus merilis inovasi produk untuk menggaet mereka. Salah satunya, bank dengan aset Rp 15 triliun per semester pertama 2009 ini bekerja sama dengan PT Pos memasarkan produk unggulannya, Shar-E: tabungan investasi dengan pola bagi hasil atau mudarabah.

Perbedaan strategi dalam menjaring nasabah, menurut Ramzi, bisa mendorong perluasan pasar. Apalagi BI Rate turun terus. Ini membuat bank syariah semakin kompetitif. Dibanding bank umum, keuntungannya lebih besar. Jika bagi hasilnya dikonversi ke bunga, angkanya untuk deposito syariah sekitar 10 persen. Di bank umum, hanya sekitar 6 persen. "Tidak terkena bunga jaminan lagi," kata Ramzi.

Ihwal masih kecilnya pasar bank syariah, Andri Donny menunjuk faktor produk yang tidak kompetitif. Dia mencontohkan adanya pajak ganda produk murabahah-perjanjian transaksi jual-beli. "Kami hanya butuh equal treatment," ujarnya.

Di Malaysia, kata Donny, dukungan pemerintah sangat besar dalam pengembangan bank syariah, termasuk pemberian insentif dan dukungan permodalan. "Di Indonesia, dukungannya masih minim," ujarnya.

Padahal, kata Donny, bank syariah terbukti berperan penting terhadap sektor riil. Ia menyebutkan, rasio pinjaman terhadap simpanan Bank Muamalat di atas 100 persen. Begitu juga dengan bank syariah secara umum. Artinya, semua simpanan disalurkan ke kredit. Sedangkan di bank umum paling banyak hanya 75 persen. "Ini indikator bank syariah menjalankan fungsi intermediasi," katanya.

Belakangan, pengucuran kredit bank syariah memang agak "kendur" akibat krisis global. Mereka memilih menyimpan sebagian dananya di SBI syariah. Toh, tetap saja sampai Mei lalu rasio penyaluran kreditnya di atas 100 persen.

Pengereman itu agaknya juga terkait dengan tingginya kredit seret perbankan syariah. Betul, nilainya per Mei masih 4,77 persen, di bawah batas yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar 5 persen. Tapi angka itu masih lebih tinggi dibanding perbankan konvensional yang hanya 4,14 persen. Tingginya angka kredit macet, tak bisa tidak, memberikan sinyal: tingginya risiko di perbankan syariah. Meskipun hal itu juga mencerminkan dampak krisis terhadap dunia usaha.

Data Bank Syariah (Rp Juta)
Sumber: Bank Indonesia dan Asbisindo

2004
Aset15,235
DPK11,862
Pembiayaan 11,489
FDR: 96,9%NPF: 2,4%

2005
Aset20,879
DPK15,582
Pembiayaan 15,231
FDR : 97,8%NPF : 2,8%

2006
Aset 26,722
DPK20,672
Pembiayaan 20,444
FDR : 98,9% NPF : 4,75%

2007
Aset 36,537
DPK 28,011
Pembiayaan 27,944
FDR : 99,76% NPF : 4,05%

2008
Aset 49,555
DPK 36,852
Pembiayaan 38,194
FDR : 103,65% NPF : 3,95%

2009
Aset 53,194
DPK 40,288
Pembiayaan 40,715
FDR : 01,06% NPF : 4,77%

DPK: Dana pihak ketiga
FDR: Rasio kredit terhadap pinjaman
NPF: Rasio kredit bermasalah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus