PULAU Bali harus diserahkan kepada Mick Jagger sebagai imbalan untuk pertunjukannya di Jakarta. Ini permintaan Mick, setelah kesekian kali dia merasakan nikmatnya liburan di pulau wisata itu. Ia pertama ke Bali pada 1969, dan tinggal di sana sebulan. Lalu datang lagi, dan dia sempat singgah di Jakarta. "Setiap kali melihat Bali, saya selalu berpikir, wah, tempat ini akan menjadi seperti Hawaii," ujarnya. Sambil tertawa, sejenak ia menambahkan, ternyata memang berkembang ke arah itu, tapi tetap masih indah. Kemudian, Bali itu dimintanya sebagai "imbalan", bagaimana pula urusannya? Ketika ini ditanya, Mick ngakak terbahak. "Apa benar saya bilang begitu? Wah, tidak baik, ya? Saya kok tidak ingat? Sebenarnya, itu mungkin merupakan pujian buat Bali," katanya. Setelah tiga bulan bekerja untuk film Ned Kelly di pedalaman Australia, lalu ia tinggal di Bali pada 1969 itu, baginya mirip berada di surga. "Begitu indah, begitu hijau. Dan tidak ada wisatawan lain, atau paling tidak itu di kawasan pantai sekltar hotel tempat tinggal saya," ujarnya. Kedatangannya pada 30 Oktober ini ke Jakarta bagaimana pula bayarannya? Jawabnya ada pada Ono Promotion, si pengundang. Mick Jagger, jebolan dari London School of Economic itu, enggan menyebut angka. "Semua perhitungan dilakukan setelah tur ini berakhir," tangkis Mick. Sementara itu, Rini Noor Fatah, Direktur Utama Ono, juga tak berminat menyebut jumlah persisnya. "Kami memakai sistem bagi hasil dengan Bill Graham Present. Sedangkan honor minimal buat Mick adalah 150 ribu dolar AS," katanya. Bill Graham adalah penyelenggara tur keliling Mick Jagger sejak dari Jepang, Australia, hingga ke Jakarta dan kemudian ke Selandia Baru -- dalam tahun ini. Di Jakarta, Mick bermain solo. Ia tidak didampingi Ron Wood, Charlie Watts, Bill Wyman, dan Keith Richard dalam barisan The Rolling Stones. Dan nanti tak semua lagunya diangkat dari album solonya, Primitive Cool dan She's the Boss. Mick juga sudah berjanji akan membawakan nomor-nomor legendaris seperti Honk Tonk Woman. Selebihnya "Bagaimana keadaan nanti," jawabnya. Kendati tampil tunggal -- yang bagi sebagian penggemarnya barangkali kurang gelegarnya -- nilainya tetap tinggi. "Sebab, Rolling Stones ada karena Jagger. Ia superstar," kata Remy Silado pada wartawan TEMPO Ardian T. Gesuri. Lagi pula, gitaris Joe Satriani dan pemain drum Simon Philips (para pendamping Mick) adalah musikus kelas atas dengan reputasi internasional. Karena itu, Ono lalu mencetak karcis 100 ribu lembar -- walau seribu di antaranya disediakan untuk undangan gratis. Tapi dari yang dijual itu terdiri atas 10%-nya VIP, 60% kelas 1, sisanya kelas II. Titik impas kata Rini Noor, akan tercapai jika 60% tiket laku. Agaknya, Rini tak harus cemas: hingga akhir pekan silam sudah terjual 50%. Lagi, di belakang Ono ada Yayasan Tiara Sejahtera. Yayasan ini, yang bakal mendapatkan imbalan 5% dari nilai karcis yang tercetak untuk kegiatan sosialnya gigih pula membantu penjualan karcis itu. Di balik itu, bahkan dari pelbagai kota seperti Medan, Yogya, dan Surabaya, penggemar Mick Jagger sejak hari-hari ini sudah siap menuju Jakarta. Misalnya, lima orang wartawan muda dari Waspada Medan berangkat bukan meliput, tapi karena cinta pada Mick. Juga dari Bandung, yang boleh disebut pusat penggemar fanatik The Rolling Stones, ribuan orang -- sebagian di antaranya sudah menjadi bapak -- bakal meramaikan Senayan. Justru itu, pengurus Stones Program Radio Generasi Muda, Yosep Sudibyo, mengaku pada Ida Farida dari TEMPO dirinya malah gentar untuk mengorganisasi keberangkatan anggota pencinta Stones di radionya. Karena saking banyaknya mereka. Sedangkan bagi Ono Promotion (berdiri sejak medio 1985), yang sudah piawai sebagai promotor artis lokal sebangsa Godbless atau yang lain, mengundang Mick tak pula mudah. Pengalamannya mendatangkan musikus asing baru kali ini. Sudah sejak November tahun silam ini Noor menemui Bill Graham di Amerika Serikat. Selanjutnya, pihak Bill dan Mick sempat beberapa kali meninjau ke sini: apa Jakarta mampu menyelenggarakan sebuah pertunjukan untuk artis sekaliber Mick Jagger? Syarat dari mereka, seperti dikatakan humas Ono, Sys NS, antara lain kapasitas gedung harus mampu menampung pcnonton minimal 50.000 lepala. Setelah semuanya oke, panitia juga mempersiapkan sistem suara berkekuatan sekitar 300 ribu watt. Sedangkan untuk membangun panggung berukuran 70 X 20 meter (termasuk cat walk untuk kreativitas gerak Mick), Ono menyewa Stadion Senayan selama 10 hari, karena seminggu sebelum pertunjukan panggung itu sudah mulai dibuat. Dan menjelang pertunjukannya akhir pekan ini, sebelum terbang ke Jakarta, Mick Jagger menerima Dewi Anggraeni, wartawan TEMPO di Australia. Dewi, setelah menyaksikan pertunjukan Mick di Melbourne, melakukan wawancara. Petikannya: Apa yang membuat Anda tertarik ke Jakarta? Itu bukan merupakan putusan tersendiri. Ceritanya, kami sedang merencanakan tur ini, dan Australia termasuk dalam agenda. Lantas, mereka (promotor Indonesia Red.) mengatakan, "Kami di sini sudah melihat Stevie Wonder, Whitney Houston dan lainnya. Ayo, datang Anda." Nah, saya pikir, mengapa tidak. Saya senang mencoba tempat baru. Mungkin suasananya agak lain. Pokoknya, saya harap orang-orang Indonesia dapat menikmati pertunjukan kami, dan kami dapat menghibur mereka. Anda menyanyi untuk kelompok umur berapa? Apa Anda mengingat usia penonton ? Kami menyanyi untuk semua orang. Tentu saja, sebagai penyanyi, saya ingin agar orang yang menyukai saya 20 tahun lalu datang lagi. Tapi, jika mereka saja yang datang, nah bayangkan, suasananya jadi seperti pertunjukan lama. Namun, kalaupun itu yang terjadi, saya tetap akan senang. Saya tidak bisa memilih penonton. Tapi saya juga tahu, banyak di antaranya yang sangat belia. Waktu saya di Sydney, saya membawa anak-anak saya ke taman. Seorang anak, kira-kira 11 tahun usianya, tiba-tiba menghampiri saya dan katanya, "Saya ke pertunjukan Anda semalam." Saya tanya, dengan siapa. Dengan ibu? Anak itu menjawab, "Ah, dengan kakak saya. Ibu sudah tua." Ketika saya tanya lagi umur ibunya, ia jawab, "Tiga puluh lima." Itu benar-benar menyenangkan. Berarti saya bisa menghibur segala umur. Banyak penyanyi yang mengeluh, karena penontonnya tidak lebih tua dari dua puluh tahun. Banyak dari mereka hanya memperhatikan rambut si penyanyi, pakaiannya, dan sebagainya. Kadang-kadang kami berpikir, apa mereka menghargai musik kami. Jadi, bagi saya, melihat penonton semua umur merupakan tantangan dan rangsangan. Karena itu, kami berusaha menggunakan seluruh pentas, dan juga video. Anda tampak hangat sekali kepada penonton. Ada suasana ibarat mengandung setrum listrik sehingga mereka seperti kesurupan. Jangan-jangan Anda bisa mempengaruhi mereka untuk. misalnya, masuk jurang? Ha, ha, ha, .... Wah, wah, masa saya akan berbuat begitu? Tapi, ya itulah salah satu kenikmatan mengunjungi pertunjukan hidup. Bersama-sama menikmati sesuatu. Seperti menonton sandiwara, bahkan film. Kita tertawa bersama, menangis bersama, kendati di sebelah kita sebelumnya tidak kita kenal. Kalau kita nonton tivi di rumah, kita tidak merasakan semua itu. Konsep rock Anda? Sebagai komoditi atau sebagai simbol kesadaran generasi baru? Tentu saja bukan sebagai komoditi. Musik rock pada dasarnya adalah hiburan untuk orang-orang muda. Pada mulanya begitu, dan sampai sekarang pun masih begitu. Tapi dalam proses menghibur itu, seorang entertainer dapat memberi rangsangan pada kaum muda untuk memikirkan suatu isu. Kebanyakan musik rock hanya tentang seks, dan hal-hal yang berhubungan dengan seks. Itu sebabnya dimusuhi orang tua? Ya. Tapi ada juga entertainer yang menggunakan musik rock untuk mendorong suatu pemikiran. Sambil mendapatkan hiburan kita juga mulai berpikir. Saya berusaha berbuat itu. Tapi tidak mungkin melakukannya terus-menerus. Sebenarnya, orang datang untuk dihibur, sama seperti orang menonton sandiwara atau film. Itukah sebabnya Anda menolak disponsori perusahaan rokok? Karena Anda berharap dapat mempengaruhi anak-anak muda menjauhi rokok? Oh, itu bukan maksud utama. Begini. Saya merasa, dengan mengadpertensikan rokok saya turut memberi anjuran pada orang-orang untuk merokok Padahal, saya tahu, merokok terang tak baik untuk kesehatan. Umpamanya, merokok menyebabkan lebih banyak kematian daripada AIDS. Menurut saya, dibayar untuk menganjurkan sesuatu yang tidak baik kan agak munafik namanya. Cuma, kalau orang mau merokok, saya tidak akan melarang mereka. Tapi saya tak mau menganjurkannya. Saya sendiri dulu merokok. Tapi saya bukan orang yang fanatik tentang kesehatan. Bagaimana sikap Anda terhadap obat bius, atau ganja, misalnya? Saya kira orang tidak seharusnya dianjurkan mengisap ganja. Tapi, di samping itu saya juga tak setuju bila orang-orang yang mengisap ganja dipenjarakan. Yang penting, mereka diberi penyuluhan mengenai efek obat bius. Sesudah itu keputusan di tangan mereka. Begitu juga dengan alkohol. Saya sendiri tidak mau mengisap ganja. Tapi saya tak mau dipaksa tidak berbuat begini atau begitu. Mengapa Anda memutuskan untuk bersolo ? Waktu itu saya agak capek, karena, sebagai grup, setiap keputusan harus diambil bersama. Seperti mempertahankan kepanitiaan terus-menerus. Saya pikir, mungkin saya lebih senang kalau mencoba bebas, membuat pertunjukan sendiri. Dan, ya, lebih senang (tertawa). Memang, saya kehilangan perkoncoan, camaradene, yang biasa kita alami dalam sebuah keluarga besar. Tapi, di samping itu, saya membuat persahabatan baru. Ya, ada positif dan negatifnya. Entah seberapa besar kemungkinan untuk tampil bersama lagi. Sebagai ayah, apa Anda menekankan agar anak-anak mempunyai kesadaran sosial-politik atau lebih mementingkan sukses di bidang masing-masing? Saya kira, kita harus berusaha menekankan keduanya. Dalam masyarakat Barat umpamanya, tekanan dari sekitar kita ialah supaya kita sukses dalam bidang pilihan kita. Waktu saya kecil, di sekolah selalu mengalami tekanan agar berhasil. Teman-teman juga selalu kompetitif. Susahnya, kalau kita dibesarkan dalam masyarakat yang relatif berkecukupan, agak sulit merasakan dan mengerti penderitaan orang lain. Sebagai orangtua, kita perlu menanamkan kesadaran sosial pada anak-anak. Meskipun kita juga harus berhati-hati agar mereka tak terlalu ekstrem dan merasa bersalah sepanjang hidup. Wah, memang susah jadi orangtua, ya? Pendapat Anda tentang Indonesia? Sangat kaya dengan kebudayaannya yang beraneka. Dan, saya tak tahu apa saya benar, Jawa memegang peran politik yang dominan. Negara Anda besar, meliputi berbagai budaya dan ide politik. Saya bisa mengerti kalau menyatukan semua itu, dalam kesatuan politik, tidak mudah. Sementara itu, Jakarta adalah kota negara berkembang, sibuk, padat, dan orang-orang datang dari pedesaan mengharap jalan-jalannya dilapisi dengan emas. Tapi, ini bukan masalah negara berkembang semata. Di negara-negara Barat, dalam 50 tahun terakhir ini, orang-orang juga pindah ke kota. Seluruh dunia menjadi masyarakat perkotaan. Mohamad Cholid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini