Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pesan masuk ke akun WhatsApp milik Sukandi Ali, jurnalis Sidikkasus, pada Senin, 8 Juli 2024. Menyebut diri sebagai “Y Predator Sapa”, pengirim pesan itu menggunakan foto profil tengkorak serta menyertakan teks bernada ancaman. Sang pengirim pesan meminta Sukandi tak bertindak macam-macam. “Saya tak tahu identitas pengirim pesan itu,” kata Sukandi ketika dihubungi Tempo pada Jumat, 19 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teror yang menghantam pewarta asal Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, itu bukan yang pertama. Enam hari sebelumnya atau pada Selasa, 2 Juli 2024, pesan serupa mampir ke grup WhatsApp “INFO MEDIA HALSEL”. Sukandi tak tahu siapa pemilik akun yang mengirim pesan karena anggota grup itu berjumlah ratusan dari berbagai profesi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Intimidasi terhadap Sukandi muncul setelah dia memberitakan operasi penangkapan kapal milik Korps Kepolisian Perairan dan Udara Kepolisian Republik Indonesia oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut di perairan dekat Bacan Timur, Halmahera Selatan, pada akhir Maret 2024. Kapal itu diduga mengangkut lebih dari 20 ribu liter solar dan hampir 400 ribu minyak tanah.
Pengacara Sukandi, M. Bahtiar Husni, bercerita, tiga prajurit TNI Angkatan Laut menghajar Sukandi setelah warta penangkapan kapal itu tayang. Mereka adalah Letnan Dua Miftahudin, Kelasi Dua Bahari Aris, dan Pembantu Letnan Satu Ramli. “Mereka tak ingin pemberitaan itu muncul ke publik,” ujar Bahtiar. Sukandi menderita luka di punggung dan lengan akibat kekerasan itu. Dia juga mengalami memar di dada dan kepala.
Miftahudin, satu-satunya perwira dalam kasus ini, dijatuhi hukuman penahanan selama dua pekan dan penundaan pangkat selama dua periode serta dilarang mengikuti pendidikan lanjutan selama setahun. Sedangkan Aris hanya mendapat sanksi teguran dan tak boleh mengikuti pendidikan selama setahun.
Bahtiar mempertanyakan keputusan TNI Angkatan Laut yang tak menghukum Ramli. Merespons kejanggalan tersebut, Komandan Detasemen Polisi Militer Pangkalan Angkatan Laut Ternate Mayor Kasno Setyawan mengatakan institusinya sudah memeriksa Ramli. “Yang bersangkutan tak terlibat pemukulan,” tutur Kasno saat dihubungi pada Senin, 22 Juli 2024.
Sukandi adalah satu dari 29 jurnalis yang mengalami kekerasan sepanjang 2024 berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Menurut data yang sama, sebanyak 649 jurnalis mengalami intimidasi dan kekerasan sejak Joko Widodo menjadi presiden sepuluh tahun lalu.
Sebagaimana Sukandi, Victor Mambor juga mengalami teror. Sebuah ledakan terjadi di dekat rumah Victor di Jayapura, Papua, pada subuh di akhir Januari 2023. Tak ada korban dalam peristiwa itu. Polisi memang menyelidiki insiden ledakan itu, tapi belakangan justru menghentikan prosesnya.
Karena itu, Victor—yang meliput untuk media Jubi—mengajukan gugatan praperadilan atas penghentian penyidikan kasus ledakan di depan rumahnya. Ditemui di Jakarta pada Sabtu, 13 Juli 2024, Victor mengaku kesal atas penegakan hukum dalam perkara teror yang menimpanya. Hakim Pengadilan Negeri Jayapura menolak gugatan praperadilan yang dilayangkan Victor. Hakim beralasan alat bukti yang dikumpulkan penyidik tak layak menjadi syarat tindak kejahatan.
Victor C. Mambor. Antara /Alfian
Putusan pengadilan menguatkan sikap polisi yang lamban menangani perkara teror terhadap Victor. Kepala Kepolisian Sektor Jayapura Utara Ajun Komisaris Jan Victor Makanuay menuturkan, institusinya telah menginvestigasi kasus ledakan di depan rumah Victor. “Namun tak cukup bukti sebagai tindak pidana,” ucap Jan.
Victor sejak awal pesimistis penanganan kasusnya akan terang. Dia tetap mendaftarkan gugatan ke pengadilan untuk memberi pelajaran kepada publik bahwa jurnalis harus melawan intimidasi dan teror. “Masak, kita diam?” tuturnya.
Ledakan bom di depan rumah bukan teror pertama yang dialami Victor. Rem kendaraannya pernah dirusak orang tak dikenal pada 2021. Dia juga pernah diancam seseorang melalui sambungan telepon dengan tuduhan mendukung Papua merdeka. “Saya dibilang tidak pro-Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Victor, yang kini membangun pagar tinggi di rumahnya untuk berjaga dari teror.
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Erick Tanjung menyebutkan kekerasan terhadap jurnalis terjadi berulang karena pelaku tak mendapat hukuman setimpal. Dia menjelaskan, penanganan kasus kekerasan yang melibatkan jurnalis sebagai korban justru sering berhenti di tengah jalan. “Jika ada yang kasusnya jalan, pelaku dijerat dengan tindak pidana ringan, bukan Undang-Undang Pers yang hukumannya berat,” ujar Erick.
Penyidik Polresta Jayapura Kota melaksanakan olah tempat kejadian perkara di jalan dekat tempat tinggal wartawan Victor Mambor, 23 Januari 2023. Antara/HO-Humas Polresta Jayapura Kota
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin mengatakan ancaman terhadap jurnalis di era Jokowi tak hanya berupa kekerasan fisik. Jurnalis juga menghadapi serangan siber berupa peretasan dan pengungkapan identitas ke publik. Pemerintah juga merancang regulasi yang mengekang kebebasan pers. Salah satunya larangan penayangan liputan jurnalisme investigasi dalam revisi Undang-Undang Penyiaran.
Pengajar jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, Ignatius Haryanto, menilai sejumlah kebijakan Jokowi tak mencerminkan dukungan terhadap kemerdekaan dalam meliput berita. Dia menyoroti kesulitan wartawan asing mendapat akses peliputan di Papua. Padahal Jokowi pada 2015 pernah mengumbar janji bahwa pemerintah tak akan membatasi akses jurnalis asing dalam meliput di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua.
Pemerintah pun pernah memblokir akses Internet di Papua pada 2019. Kebijakan itu diambil setelah unjuk rasa memprotes kasus rasialisme di Surabaya, Jawa Timur, meluas di sejumlah daerah di Papua. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta belakangan memutus Jokowi melanggar hukum dalam kasus pelambatan akses Internet di Papua.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyebutkan pemerintahan Jokowi berkomitmen menjaga kebebasan jurnalis. “Kalau ukurannya kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers, pernahkah ada instruksi pembredelan pers?” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo