Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Malam Imlek, Hujan Tak Datang

Akibat perubahan iklim, musim jadi tak menentu. Gagal panen di desa, petani mengungsi ke kota besar.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAPUAN, 50 tahun, tak bisa lagi memperkirakan kapan musim hujan akan datang. Dulu, petani di Desa Bulung Cangkring, Kudus, Jawa Tengah ini bisa memastikan bahwa biasanya pada Oktober desanya sudah diguyur hujan—tanda ia bisa mulai menanam padi.

Namun, dalam lima tahun terakhir, musim kemarau bertahan lebih lama. ”Tahun ini, sampai November, hujan juga masih jarang,” katanya. Bulan Januari—biasa dipanjangkan menjadi ”hujan sehari-hari”—matahari tetap terik.

Akibat curah hujan yang tak menentu, petani Bulung Cangkring kerap mengulang proses penyemaian benih. Soalnya, saat penyemaian pertama, hujan yang diharapkan datang tak kunjung sampai.

Kudus saat ini adalah salah satu lumbung padi Jawa Tengah. Tapi sebagaian besar airnya bergantung pada sistem irigasi Waduk Kedungombo. Bila air waduk menyusut, musim tanam terpaksa diundur.

Lalu, ketika musim hujan mencapai puncaknya, sawah-sawah yang kerontang berubah menjadi lautan air akibat banjir. Sekarang, ”Kami tidak bisa lagi panen tiga kali setahun. Dua kali saja hasilnya sudah kurang baik,” kata Sapuan.

Kecilnya aliran air dari sungai irigasi biasanya diatasi dengan cara menyedot air sungai yang tak bisa masuk ke sawah. Namun membeli atau menyewa mesin pompa hanya akan menambah biaya produksi. Dulu, dari setengah hektare sawah, Sapuan mendapat padi 3,5 hingga 4 ton. Uang hasil panen dibelikan beberapa ekor kerbau. Sekarang, karena sering puso dan diserang hama, hasil panennya merosot. Lembu sekarang tak terbeli. ”Hanya pemilik lahan yang luas yang bisa membeli ternak dan motor dari hasil panen,” katanya lirih.

Data hasil panen padi dari Dinas Pertanian Jawa Tengah menegaskan keluhan Sapuan ini. Lembaga itu mencatat, sampai Oktober 2007, total padi puso di provinsi itu mencapai 10 ribu ton—dua kali lipat dibandingkan tahun lalu. Di seluruh Jawa, areal sawah yang puso diperkirakan 300 ribu hektare.

Di antara lima pulau terbesar di Indonesia, Pulau Jawa memang mengalami potensi kehilangan curah hujan yang paling rendah—hanya Banyuwangi yang curah hujannya meningkat. Tapi, karena luas lahannya paling kecil dibanding pulau lain, Jawa mengalami penurunan curah hujan per kilometer persegi relatif yang paling besar. ”Bumi ini sudah tua, Mas, jadi wajar kalau panas,” kata Sapuan.

Jika panas menggila, Sapuan menanami sawahnya dengan kacang hijau atau semangka. Tak seperti padi, kedua tanaman itu tidak membutuhkan terlalu banyak air.” Kalau panennya bagus, hasil penjualannya melebihi padi,” katanya.

Seperti Sapuan, Sarjan, 55 tahun, juga menderita akibat kemarau berkepanjangan. Tinggal dan bertani padi selama hampir 30 tahun di Desa Dukuh Waru, Kudus, tahun ini kemarau mendera sawahnya hingga delapan bulan. Saluran irigasi yang biasanya ramai oleh suara ricik, kini sunyi sepi.

Sawah Sarjan, yang hanya dua petak—setara 2.800 meter persegi—sebagian besar puso. ”Ketika padi mulai terisi bulir beras, pengairan tersendat karena kemarau,” katanya.

Musim kemarau memaksa Sarjan dan sejumlah teman merantau ke Jakarta dan kota-kota besar lain di Jawa. Di kota mereka bekerja serabutan. ”Daripada menganggur di desa,” katanya.

Kisah sedih juga dialami petani di Blora, Jawa Tengah. Ikhwan, petani di Desa Caren di kabupaten itu, menebar benih karena mengira hujan akan turun. Nyatanya, tak setetes pun air yang jatuh. ”Hujan baru muncul ketika benih di persemaian sudah menua,” katanya murung. Ketika mereka mengganti padi dengan jagung, kacang, dan kedelai, malah banjir yang datang. Ihwan mengaku tak punya informasi tentang perubahan musim. ”Selama ini, informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika tidak sampai di telinga kami,” katanya.

Cara tradisional untuk memperkirakan musim—melihat peredaran dan posisi bintang—tak lagi bisa dipakai karena musim sudah berubah. ”Ini terjadi dua tahun belakangan,” kata Ikhwan.

Biasanya Blora tersiram hujan mulai Oktober. Tapi, sampai Desember, mereka belum bisa menanam karena debit air sangat kecil. Padahal benih padinya sudah telanjur tua. Panen tiga kali setahun kini tinggal mimpi. ”Kurangnya air menyebabkan panen gagal dan kualitas padi jelek,” katanya.

Untuk mengatasi kekeringan, kata Ikhwan, para petani biasanya mengambil air dari sungai terdekat dengan menggunakan mesin sedot diesel. ”Tapi biaya bertambah karena harus beli solar.”

Pemerintah Blora sebetulnya sudah membangun embung (kolam penampung air) untuk mengatasi kekurangan air. Namun, kata Ikhwan, air dalam embung ini tidak cukup untuk mengairi sawah. Parahnya lagi, di Blora tidak ada mata air yang besar yang bisa mencukupi kebutuhan air sawah. ”Kami hanya bergantung pada hujan,” katanya. Ia dan petani di Caren berharap pemerintah memberikan penerangan yang cukup tentang perubahan iklim dan cuaca yang terjadi, supaya kerugian mereka tak terlalu besar.

Seperti petani di kawasan lain, petani di Blora juga akan merantau ke kota untuk mencari penghasilan. ”Biasanya menjadi kuli bangunan,” kata Sapuan.

Sapuan berkisah. Dulu ia suka bertaruh menjelang hari raya Imlek: apakah hujan akan turun atau tidak di hari raya Cina itu. Imlek biasanya jatuh antara Desember dan Februari. ”Hujan selalu turun lebat di hari Imlek,” ujarnya. Tapi sekarang berbeda: hujan mangkir di hari suka cita itu...

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus