Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG isya, surat itu tiba di kediaman Presiden Soeharto, Jalan Cendana 10, Jakarta. Adalah ajudan presiden, Kolonel Sumardjono, yang menerimanya dari utusan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita.
Rabu, 20 Mei 1998, langit Jakarta kusut masai. Ratusan ribu warga dan mahasiswa menyemut di depan gedung DPR, Senayan, menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Di Cendana, Soeharto punya firasat tak enak. Surat dari Ginandjar itu tak langsung dibuka, melainkan dibawanya masuk kamar. Tak lama kemudian, jenderal besar itu keluar dengan raut sekusut kertas diremas.
Pesan dari Ginandjar itu memang tidak biasa. Terdiri dari dua lembar, surat itu ditandatangani 14 menteri yang diurutkan sesuai dengan abjad: Akbar Tandjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, Tanri Abeng.
Isinya membuat Soeharto terkesiap. Pada alinea pertama, para menteri meminta Soeharto mundur—meski dengan bahasa yang dihaluskan. ”Kami berkesimpulan bahwa situasi ekonomi kita tidak akan mampu bertahan lebih dari satu minggu apabila tidak diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasi oleh DPR RI dengan pimpinan fraksi-fraksi pada Selasa, 19 Mei 1998,” begitu petikan surat tersebut. Sehari sebelum rapat di parlemen, pemimpin DPR meminta Soeharto mundur ”secara arif dan bijaksana”.
Keempat belas pembantu Presiden yang baru menjabat dua bulan itu juga menolak bergabung dalam kabinet baru hasil reshuffle. Saat itu, Soeharto memang berencana merombak kabinetnya dengan membentuk Kabinet Reformasi.
Menurut Probosutedjo, adik tiri Soeharto, yang saat itu berada di Cendana, sang kakak terlihat gugup setelah membaca pesan itu. Ia tak menyangka menerima surat itu, kata Probo. Sehari sebelumnya, penguasa Orde Baru itu masih berbincang dengan Ginandjar untuk membahas susunan kabinet baru. Ginandjar bahkan mengusulkan beberapa nama menteri yang perlu diganti dicopot dan menyebutkan penggantinya. ”Pak Harto memutuskan mundur setelah membaca surat itu,” kata Probo beberapa hari setelah Soeharto meletakkan kekuasaannya, 21 Mei 1998.
Bagaimana surat itu disusun? Menurut Theo Sambuaga, surat itu dibuat di ruang rapat kecil gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di kawasan Taman Surapati, Menteng, Jakarta Pusat. Di gedung ini pula Ginandjar berkantor sebagai Ketua Bappenas merangkap menteri koordinator.
Awalnya, Ginandjar mengundang para menteri bidang ekonomi melakukan rapat koordinasi. Ada 15 menteri yang hadir: Ginandjar, Akbar, Hendropriyono, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro, Rachmadi, Rahardi, Subiakto, Sanyoto, Sumahadi, Theo Sambuaga, Tanri Abeng, dan Ary Mardjono. Hadir pula Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin.
Tiga menteri absen. Menteri Keuangan Fuad Bawazier tak ada kabar, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Bob Hassan mengaku tidak bisa datang karena penjagaan tentara di Jakarta yang berlapis-lapis. Adapun Menteri Lingkungan Hidup Juwono Sudarsono sedang sakit.
Dalam rapat, para menteri melaporkan terus memburuknya perekonomian. Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto, misalnya, melaporkan berkurangnya cadangan bahan bakar minyak. ”Rapat menyimpulkan perekonomian terus merosot,” kata Theo, yang saat ini Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Tempo. Ginandjar, menurut Tanri Abeng, lalu meminta para menteri ekonomi memusatkan perhatian lebih dulu pada situasi politik. ”Juga bagaimana mengontrolnya,” ujarnya.
Sesaat sebelum menutup rapat pada setengah tiga siang, Ginandjar meminta para menteri tak pulang dulu. Ia mengajak mereka bertemu lagi di ruang rapat kecil, tanpa dihadiri pejabat di bawahnya. ”Kami bicara dari hati ke hati,” kata Theo. ”Pertemuan hanya diikuti para menteri karena itu diskusi informal.”
Para menteri itu lalu membahas perkembangan politik. Sesekali, mereka memelototi layar televisi di ruangan itu yang sedang menayangkan situasi di gedung DPR. Dua hari sebelum rapat itu digelar, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat, Harmoko, terang-terangan meminta Soeharto mundur. Suasana tegang. Beberapa menteri berdiri sambil menarik napas panjang. Menjelang sore, semua sepakat posisi Soeharto seperti di tubir jurang. Menurut Theo, tak ada perdebatan dalam pertemuan itu. Sebagian besar sepakat Presiden sebaiknya menuruti permintaan rakyat, yakni mundur dari jabatannya.
Para pembantu itu lalu merumuskan sikap. Semula digagas untuk membuat pernyataan mundur dari kabinet. Namun, kata Theo, peserta pertemuan menganggap sikap itu tidak tepat. Menjelang magrib, disepakati bahwa mereka hanya menyatakan menolak bergabung dalam Kabinet Reformasi yang sedianya akan diumumkan Presiden esok harinya.
Setelah kesepakatan tercapai, rapat diskors. Ginandjar mengaku meminta Akbar Tandjung membuat konsep surat ke Soeharto. ”Konsep surat yang sudah selesai lalu dibacakan. Setelah disepakati, baru ditandatangani,” katanya.
Dari 15 menteri plus Gubernur BI yang hadir, 14 menteri menandatangani kertas itu sesuai dengan urutan abjad. Syahril menolak meneken karena menganggap Gubernur BI adalah posisi independen. ”Siapa pun presidennya, Pak Syahril akan tetap pada jabatannya,” kata Theo lagi.
Satu lagi yang menolak adalah Ary Mardjono, orang yang dikenal dekat dengan keluarga Cendana. Masih menurut Theo, Sekretaris Jenderal Golongan Karya itu merasa mengkhianati Soeharto bila ikut menolak bergabung dalam kabinet baru. ”Tapi Pak Ary diam saja selama pertemuan, ia hanya berbisik-bisik dengan saya,” kata Theo.
Menurut Tanri Abeng, Ary menolak tanda tangan karena ingin berkonsultasi dulu dengan sejumlah partai. Tanri sendiri mengaku ikut tanda tangan karena Soeharto tak lagi bisa efektif sebagai presiden. ”Dengan demikian, kami juga tak bisa lagi bekerja,” katanya.
Suara mencibir datang dari Fuad Bawazier. Katanya, para menteri yang menandatangani surat itu hanya mencari selamat. ”Biar mereka bisa terpilih di kabinet berikutnya.” Tanri sendiri tak menjawab tegas. ”Saya bukan politisi. Sampai saat ini saya tidak mengerti bagaimana semua ini terjadi,” kata pria yang kini menjadi Komisaris Utama PT Telkom itu. Theo juga tak merasa mengkhianati Soeharto. ”Kami tak memukul dari belakang. Pak Ginandjar waktu itu bilang bahwa pertemuan itu hanya diikuti pribadi-pribadi,” kata Theo.
Apa pun, surat itu akhirnya diteken. Semula mereka berencana menyampaikan hasil pertemuan itu langsung kepada Soeharto. Namun, akhirnya diputuskan untuk menyampaikannya melalui surat.
Menurut Theo, Ginandjar dan Akbar ditunjuk sebagai wakil. ”Mereka berdua menteri paling senior dalam pertemuan itu,” katanya. Namun, kepada Tempo, Akbar mengaku tak pergi ke Cendana mengantar surat itu. ”Saya tak pernah mengantar surat itu ke Cendana,” kata bekas Ketua Umum Partai Golkar itu. Adapun Ginandjar mengakui mengirim orang untuk mengantar surat bersejarah itu. Yang jelas, para peserta pertemuan meninggalkan Bappenas selepas magrib.
Tanri bercerita, sekitar pukul 8 malam ia ditelepon Wakil Presiden B.J. Habibie yang memintanya datang ke rumah dinas Wakil Presiden di Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Di sana, sejumlah menteri yang lain sudah hadir, di antaranya Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Feisal Tanjung dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Haryono Suyono. Menurut Theo, Habibie lalu menjelaskan hasil pertemuannya dengan Soeharto, beberapa jam sebelumnya.
Di situ Habibie bercerita bahwa Soeharto telah memutuskan membentuk Komite Reformasi dan merombak kabinetnya. Soeharto, kata dia, juga berencana mempercepat pemilu. Dalam pemilihan itu, Soeharto menyatakan tak akan mencalonkan diri lagi.
Namun, menjelang tengah malam, Habibie menerima telepon dari Saadilah Mursyid. Menteri Sekretaris Negara itu memberitahukan bahwa Soeharto memutuskan untuk mundur. Saadilah juga menyampaikan pesan Soeharto agar Habibie bersiap diambil sumpahnya sebagai presiden.
Theo menuturkan, para menteri yang hadir di Patra Kuningan langsung memberi selamat kepada mantan Menteri Riset dan Teknologi itu.
Soeharto merasa ditinggalkan oleh para menterinya. Dalam tulisan yang dimuat di situs Internet Soehartocenter.com, ”Deklarasi Surapati” disebut sebagai bagian dari pengkhianatan beberapa menteri yang dibesarkan Soeharto. Habibie juga dianggap ikut bertanggung jawab dalam peristiwa itu.
Beberapa mantan menteri mencoba menjalin silaturahmi lagi dengan keluarga Cendana. Akbar, misalnya, datang ke rumah Soeharto, saat Lebaran. Theo juga selalu datang ketika Lebaran dan saat Soeharto sakit. Tak jelas bagaimana sikap Soeharto terhadap kunjungan tersebut. Boleh jadi, di matanya, ke-14 menteri adalah Brutus yang menikam pada hari terakhir ia berkuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo